Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Move On

2 Agustus 2023   21:23 Diperbarui: 13 Agustus 2023   21:08 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi patah hati. (Dok Shutterstock/wing-wing via Kompas.com)

Empat tahun berlalu tak banyak yang berubah dari kota tua ini. Pohon beringin tua di depan sana juga masih berdiri kokoh, meski mungkin saja empat tahun terakhir angin menggodanya begitu gencar. 

Sayangnya, tak jua membuatnya roboh. Kafe ini juga masih sama seperti empat tahun lalu saat aku terakhir kali berkunjung. Berkunjung untuk mengucapkan selamat perpisahan pada seseorang.

Seseorang yang hari ini akan kembali kutemui untuk mengucapkan kata selamat yang lain. Seseorang yang sudah sejak lama kukenal dengan baik, bukan dari penuturan orang lain melainkan penuturannya sendiri. Ah, setelah empat tahun terakhir tak bertemu akan seperti apa pertemuan yang kami rencanakan hari ini.

"Mau pesen apa, Kak?"

Aku menyebutkan salah satu minuman, pramusaji itu mengangguk mengiyakan. Sembari menunggu tak ada salahnya menengguk segelas kenangan itu seorang diri.

Bagaimana rasanya dicintai balik? Semenyenangkan itu kah? Mungkinkah hal itu seindah prosa yang banyak dituliskan para pujangga. Atau mungkinkah seberwarna sebuah lukisan yang dilukis sebagai bias akan buncahnya sebuah perasaan.

Seindah dan semenyenangkan apapun itu, hanya pemiliknya yang tahu. Kau mungkin tahu jawabannya, nanti akan kutanyakan jika kau sampai dihadapan.

Benar saja, pintu kafe yang terbuka menampilkan sosok yang kini semakin terlihat berwibawa dibandingkan dengan empat tahun. Aku reflek melambaikan tangan, kau menyambut dengan senyum sumringah dan mata berbinar.

Tebakanku benar, kau akan menggunakan stelan lengkap jas hitam di pertemuan kali ini. Kau memberitahu, akan langsung pergi begitu rapat di kantor selesai. Seniat itukah kau meminta bertemu saat tahu aku kembali ke kota tua ini. Seniat itukah kau meminta ucapan selamat dariku, wahai.

"Kau makin kusut, Ra. Apa studi S2 dan pameran lukisanmu sejahat itu, heh?"

Kau mengulurkan tangan tertawa, menjabat tanganku lantas menariknya mengepalkan tangan, beradu tinju. Turut memanggilku heh, sebagaimana yang sering kulakukan untuk memangil kau.

"Kau terlihat meyakinkan sekali sekarang, pantas saja..."

Kau tergelak lebih dulu, menahanku untuk melanjutkan kalimat. Kau pasti tahu apa terusan dari kalimat yang akan kuucapkan.

"Kau tak memesankan minuman untukku?" Kau bertanya menyerobot gelas yang sedari tadi menatapku hangat meski dalamnya dingin. Kau menengguknya, tak merasa perlu berdosa sama sekali.

"Kau masih saja belum move on dari minuman ini," tandas kau mengembalikan gelas yang isinya tinggal separuh itu kehadapanku. Kau melambaikan tangan ke arah pramusaji, memesan dua minuman juga kudapan pendampingnya.

"Kali ini aku yang traktir," kataku menyilangkan tangan di depan dada. "Beberapa lukisanku terjual dengan harga yang lumayan fantastis," lanjutku sedikit menyombongkan diri.

"Tidak, tidak, aku yang minta bertemu, jadi aku yang traktir. Lagi-lagi aku memenangkan tender perusahaan," kau berbisik tak kalah sombong.

"Berkali-kali memenangkan tender tapi tak pernah sekalipun membeli lukisanku, teman macam apa itu, heh?"

Kau tergelak, berdalih susah sekali menghubungiku. Bahkan sempat berpikir kau akan kehilanganku. Ah, kehilangan, kehilangan seperti apa yang kau maksud itu. Kehilangan tempat yang akan membuatmu merasa lebih baik saat tumpang tindih keburukan itu menerpa. Atau kehilangan sesuatu yang selama ini tak pernah kau sadari keberadaannya.

"Mana undangan spesial untukku?" tanyaku tak sabaran, "undangan untuk orang spesial harusnya spesial sih," ledekku menatap kau yang buru-buru ingat apa tujuanmu meminta bertemu. Mengeduk isi tas, kau serius sekali.

"Terima kasih untuk doanya, Ra. Terima kasih telah memberikan kata-kata positif yang selalu membuatku yakin untuk memperjuangkan cinta itu," kau menyerahkan undangan dan sebuah paperbag.

"Ini bahan baju untuk seragam keluarga, aku sungguh tahu bagaimana selera baju-bajumu tapi ya kali aku akan buat kaos oblong. Kau buat sendiri lah rancangannya sesuai yang seharusnya."

Kali ini aku ikut tergelak, benar juga. Aku memang lebih menyukai memakai kaos, dengan variasi bermacam-macam jaket sebagai luaran. Hanya untuk acara-acara tertentu aku memakai gaun, salah satunya adalah acara pernikahan.

"Bagaimana rasanya ketika cinta itu akhirnya terbalaskan, setelah semua yang kau lalui dia memutuskan untuk mencintai balik, menerima lamaran dan mau menikah dengan kau?" kali ini aku benar-benar kembali seperti dulu.

Kembali membuka tanya untuk mendengar lebih banyak dari apa yang ingin kau katakan, tentang apapun. Termasuk tentang perempuan itu. perempuan yang kau sukai. Perempuan yang kau perjuangkan bertahun-tahun terakhir.

"Kau coba lihat mataku, Ra. Karena mata adalah jendela hati, kau mungkin akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu. Kau tahu siapa aku lebih dari siapapun, aku tak pandai berkata-kata layaknya dia, juga tak pandai mengekspresikan diri lewat karya sepertimu. Yang pasti senang lah," jelas kau, memelototkan mata kearahku. Mungkin agar aku dapat melihat jelas apa yang akan dibiaskan oleh sorot itu.

"Dilihat-lihat sorot mata itu tak bahagia, heh."

Kau menarik diri, menghempaskan diri pada senderan kursi. " Itu karena hari ini aku bertemu dengan kau,.."

"Jadi kau tak suka bertemu denganku, mengapa minta bertemu? bisa saja kau titipkan undangan ini pada yang lain, heh," pungkasku

"Nah, nah kan, belom-belom sudah kena omel."

Aku mendengus

"Kau masih saja belum berubah, heh, tukang nyolot."

Aku kembali mendengus

"Jadi bagaimana orang yang kau suka dulu, itu heh? Empat tahun terakhir kau sudah melupakannya atau kau juga bernasib sama sepertiku, orang itu juga luluh lantas menyukaimu balik?" kau bertanya ingin tahu, atau hanya mau tahu seperti biasanya.

"Kalau aku bernasib sama seperti itu, kenapa pula aku bertanya apa rasanya disukai balik, heh?"

Kau menggaruk kepalamu yang mungkin betulan gatal, benar juga.

"Kau tak memperjuangkannya, Ra. Tak mengungkapkannya. Bagaimana ia tahu dan bagaimana perasaanmu akan terbalas?"

Aku mendengarkan tanpa berniat memotong.

"Kau itu terlalu menjunjung tinggi budaya bahwa lelaki yang harus memulai duluan, padahal apa salahnya perempuan yang memulai duluan. Kalau kau ucapkan, siapa tahu orang yang kau sukai dulu itu juga menyukaimu." Kau bertutur masih menggebu-gebu seperti dulu, saat kau memintaku sedikit berbagi cerita untuk mengimbangi kau yang banyak sekali bercerita.

"Kau melupakan detail cerita milikku, heh?" potongku tak sabaran, kau selalu saja menyalahkanku.

"Buktinya dia dulu juga mencintai yang lain, akhirnya setelah bergulirnya waktu ia luluh, ia melihatku sebagi orang yang amat tulus mencintainya, yang akan memperjuangkannya apapun yang terjadi. Seperti katamu, jika diadu malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya." Kau tergelak di ujung kalimat, mungkin ingat bagaimana aku mengucapkan kalimat itu dulu, saat kau menghampiriku dengan wajah murung kau ditolak perempuan itu.

"Sudahlah, aku juga sudah move on dari orang itu. dia juga sudah bahagia dengan pilihannya."

"Pilihannya?" kau bertanya memastikan pendengaranmu tak salah. Aku mengangguk.

"Dia sudah menikah?"

"Hem, akan." Lagi aku mengangguk.

"Kau sungguh tak akan memberitahuku siapa orangnya?"

"Untuk apa?" tanyaku sanksi, seperti biasanya.

"Untuk dokumentasi. Ayolah, toh kau juga sudah melupakan orang itu."

Aku bergeming, masih memandangnya lekat. Semua sudah berlalu, sebagaimana dulu aku tak pernah mengharapkan apa-apa atas perasaan yang kumiliki, untuk saat ini juga sama. dikatakan atau tidak dikatakan itu tak akan merubah apa-apa.

"Kau mau tahu orangnya?"

"Hem," kau mengangguk antusias. Sedari dulu kau memang selalu penasaran siapa sosok yang berhasil meluluhkan hatiku yang katamu sekeras batu itu. seperti apa orang yang cukup berani membuatku melukiskan lukisan muram saat sedih dan membuat lukisan begitu hidup saat tengah bahagia.

"Kau orangnya."

Kau tergelak, "tak usah bercanda, trik itu hanya agar aku tak terus-terusan bertanya siapa orangnya kan?" lanjutmu kembali menenggak minuman di hadapan.

"Benar, cinta memang bodoh bukan. Mendengar ceritamu tentang perempuan itu, menasihatimu tentang pantang menyerah, doa-doa yang kupanjatkan untuk kau dan perempuan itu. memberimu trik-trik agar disukai oleh perempuan itu. soal itu aku tulus melakukannya. Aku masih menganut teori bahwa cinta memang begitulah, terkadang berbalas sisanya tidak. Terkadang memiliki separuhnya hilang untuk diikhlaskan. Cinta memang memberi, memberi ruang untuk melihatnya dari sisi yang berbeda."

"Kenapa aku tak memberitahu siapa orangnya, ya karena kau lah orangnya, bod*h."

Hening

"Maaf, Ra, kau pasti tersiksa selama ini,..."

"Ssst," aku memotong ucapan, kembali tergelak memukul bahu kau mengusir aroma canggung yang menelingkupi kafe.

"Itu masa lalu, heh. Kau sudah bahagia dengan perempuan itu, begitu juga aku. Kau tetap bisa mencariku kapan saja, kau tetap bisa mengandalkanku seperti biasanya, terimakasih telah menganggapku keluarga," lanjutku lagi.

"Padahal kau yang awalnya mengajariku tentang kekeluargaan." Kau berkata lagi.

"Benar, aku dulu sungguh percaya bahwa lelaki dan perempuan bisa bersahabat tanpa melibatkan perasaan khusus, nyatanya teori itu terbantahkan saat denganmu, tapi semoga setelah ini, kekeluargaan kita semakin erat. Kau kenalkanlah aku pada perempuan itu, nanti kukenalkan juga pada lelakiku."

Kau tersenyum, "maaf, Ra," lirihmu

"Kau tak perlu minta maaf, heh. Semua yang kau tahu hari ini tak akan merubah apa-apa kedepannya, penyesalan, rasa bersalah harusnya tak pernah ada. Selamat atas pernikahan kalian, aku pastikan datang dengan kado terbaik."

Kau mengangguk

"Ingat kau berutang ucapan selamat padaku," godaku.

Handpohone di saku jaket hitamku berdering, kali ini senyumku mengembang lebih lebar. Ternyata rasanya selega ini.

"Aku harus pulang, sampai nanti di hari pernikahanmu," ucapku mulai berdiri, mengulurkan tangan yang segera kau sambut.

"Mau ku antar, Ra?"

Aku menggeleng, tergelak. Melambaikan tangan dengan layar handphone yang masih menyala, menampilkan nama seseorang yang tengah memanggil.

"Apa dia seorang pelukis juga?" kau bertanya setelah memahami satu hal.

"Sayangnya bukan, dia manusia biasa yang akan kujadikan menyukai lukisan sebagai konsekuensi telah menyukai seorang pelukis," gelakku melangakah keluar kafe, soal bayar membayar biarlah menjadi urusan manusia itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun