"Tips agar tak terjebak dalam friendzone sih, Ra?" tanya salah seorang teman padaku saat aku tengah memerhatikan orang-orang yang berlalu lalang di ruang tunggu  dosen.
"Gak usah berteman."
Demi mendengar jawabanku, seseorang itu mendorongku. Hingga aku nyaris terjengkang, sebab tubuh yang terlalu ringkih. Mungkin angin saja bisa menerbangkannya dengan mudah.
"Tapi bener juga sih, harusnya memang aku gak berteman dengan dia. Ujung-ujungnya aku yang baper."
Aku mengangguk, setelah memastikan posisiku aman terkunci di kursi plastik, kokoh. "Begitulah aku memang selalu benar," imbuhku jumawa.
temanku menghela nafas, "Tipsnya berhenti, Ra?" tanyanya lagi.
"Ya tinggal berhenti. Kamu tau di mana letak remnya?"
Temanku menggeleng, "justru karena aku tidak tau makanya aku bertanya, Ra."Â
"Remnya ada ditanganmu sendiri, injak dan tahan rem itu. Jangan malah tarik terus tuas kemudinya. Berhenti saat itu juga, apa susahnya berhenti dari pada kamu yang terus-terusan sakit hati."
"Tapi ini bukan naik kendaraan, Ra. Ini hubungan antara dua manusia yang, ah gitulah  susah, susah banget pokoknya," sahutnya sedikit frustasi.
Aku dapat membayangkan jika fikirannya tengah kacau karena tak mudah mengendalikan diri saat jatuh cinta pada sahabat baik sendiri. Semakin dipendam semakin menggebu, jika diungkapkan iya jika perasaan itu terbalas jika tidak, resiko kehilangan sahabat baik tergambar jelas di depan mata.Â
"Tapi Ra." Ia menoleh ke arahku yang tengah waspada jika lagi-lagi ia berniat mendorongku.
"Jika aku berhenti, itu memutus silaturahmi kan. Orang yang memutus silaturahmi tidak akan diterima amalnya dan diancam neraka," imbuhnya bergidik agak ngeri.
Aku memutar bola mata malas, "itu jika silaturahminya bener, lah yang friendzone itu sudah gak bener. Inget laki-laki dan perempuan itu gak boleh terlalu dekat, ada batasan-batasannya. Kenapa kamu terjebak friendzone ya karena kamu sudah melewati batas yang seharusnya. Eh, ujung-ujungnya nyaman, suka dan kamu sendiri yang sakit hati, nangis."Â
"Toh jika kamu ingin selalu ada, selalu membantu, menemani dia ini itu meski hanya via online mendengarkan cerita, bertukar pendapat. Itu berlebihan, itu malah jadi dosa lo kalau kamu melakukannya untuk teman lelaki, lain jika kamu melakukannya untuk temanmu perempuan," kataku semakin menggebu menasehti sesutu yang salah dimataku.
Celah untuk jatuh cinta itu ya manusia itu sendiri yang menciptakannya. Tuhan memang punya andil perihal perasaan manusia tapi andil terbesar dan penentu itu ya manusianya sendiri. Ia membuka pintu, bahkan menyuruh mampir yang masih berjalan  di jalan depan sana.
"Tapi jika itu tujuannya untuk kebaikan masa  salah sih, Ra?"
"Salah lah."
Aku menghembuskan nafas kasar, apa susahnya untuk tidak jatuh cinta. Atau apa susahnya berhenti, terus bangkit jika sudah jatuh. uninstal perasaan. Jika memang tau jatuh cinta semerepotkan itu, seharusnya dari awal sudah mewanti-wanti, hati-hati jika ada sesuatu yang mungkin berusaha mengetuk pintu. Kunci pintu dengan kunci ganda, biarkan orang-orang di luar pintu mengetuk. Toh pintu itu dalam kendali diri sendiri.
"Sudahlah, aku mau balik. capek juga nunggu tapi dosennya gak dateng-dateng."
Aku berdiri melambaikan tangan, yang dibalas lambaian tangan olehnya.
'Aku sungguh malas menganggapi orang-orang lebai yang mengatasnamakan perasaan,' gerutuku dalam hati.
Aku memandangi motorku yang berada di barisan dalam, jika mengeluarkannya harus mengeluarkan motor-motor sebelumnya. Dan itu sungguh merepotkan sekali. Untungnya aku bukan perempuan yang lemah meski tubuhku tak juga kekar. Aku meletakkan tas punggung di atas motor milikku. Lalu beraksi untuk memundurkan motor-motor yang menghalangi jalan untuk keluar.Â
"Sini, biar aku aja, Ra."
Aku menoleh, upss, hampir saja tanganku terkena tangannya.
Lelaki itu telah mengambil alih motor yang tadi kupegang. membuatku mundur beberapa langkah, membiarkannya memundurkan motor. Ia adalah teman kelas sebelah yang satu semester lalu pernah sekelompok dalam praktek kerja lapangan.Â
"Motormu yang depan merah itu kan?"
"Iya."
Ini sudah ketiga kalinya teman itu menolongku, meski aku tak memintanya lebih dulu. Besok-besok aku harus meletakkan motorku di tempat yang benar agar tak merepotkan orang lain lagi, apalagi temanku yang ini. Suara beratnya menyadarkan, motorku sudah berada tepat di hadapanku, menuju gerbang keluar.Â
"Terimakasih, Rey," ucapku diiringi anggukan kepala.
Ia hanya mengangguk sekilas, lantas meninggalkanku. segera aku melajukan motor, pulang.
Ada sesuatu yang bergetar halus dalam dada, aku segera mengusirnya jauh-jauh. Menutup celah, melatih fikir bahwa itu hal biasa yang akan dilakukannya pada teman yang dikenalnya.
Rupanya aku salah, dan hal itu benar mengganggu fikirku berhari-hari berikutnya. Saat ia yang tanpa kuminta turut membantuku mengangkat buku-buku atas permintaan bantuan dari penjaga perpustakaan. Membantu untuk menemukan kunci motorku yang terjatuh. Kembali mengeluarkan motorku dari parkiran yang penuh. Seolah ketika aku kesusahan dalam haula kampus, orang itu selalu siap sedia membantu, selalu tau jika aku dalam kesulitan. Dan tanpa basa-basi ia akan mengambil alih apa yang tengah kulakukan.
Sesuatu yang halus menyusup dalam diri. Suatu yang muncul dengan intensitas yang cukup sering itu kurasakan mencongkel celah pertahan yang kubuat kokoh selama ini. Mulai meniatkan untuk tak lagi menempatkan motor pada posisi yang paling mudah dijangkau, melainkan sudut tersulit. Karena yakin bantuan itu akan datang, dan itu boleh jadi menjadi kesempatanku dan dia.Â
Dari bantuan-bantuan kecil yang ia lakukan membuatku semakin percaya diri bahwa ia menyukaiku. Setidaknya begitu, jika tidak untuk apa ia melakukan hal-hal seperti itu yang dapat dibilang tak ada guna untuknya.
Aku mulai merangkai-rangkai sesuatu yang berkelindan dalam benak dan fikirku. Tak jarang aku tertangkap basah tiba-tiba tersenyum sendiri. Apa yang kufikirkan? jelas sekali itu tentang dia. Sesuatu yang kusadari adalah perasaan cinta yang tumbuh dari bantuan-bantuan yang konsisten dilakukan.
"Eh, Sya, Ra, mau nemui dosen juga?"Â
"Eh, iya. Sudah nemui tadi."
"Mau langsung balik?"
"Eh, Belum. Masih ada perlu," jawabku menyembunyikan rona pipi yang semakin memerah.Â
Sebenarnya aku bertahan di tempat tunggu hanya untuk melihatnya. Setelah mendengar salah seorang teman yang berbicara bahwa hari itu juga jadwal bimbingannya. Dan apa yang ditanyakannya tadi? soal balik, apa ia akan terus membantuku mengeluarkan motor dari parkiran lagi dan lagi.Â
"Ra, eh ngapa senyum-senyum sendiri," sapa Vin yang baru datang menepuk pundakku.
"Liat Reyhan gak?"
"Ke ruang Pak Ardian, Vin," terangku dan Sya yang disahuti anggukan kepala dari Vin. Segera gadis dengan perawakan tinggi itu menyusul setelah berpamitan duluan denganku dan Sya.Â
"Mereka pasangan yang serasi ya?"
Aku menoleh ke arah Sya, "siapa?"
"Reyhan dengan Vin, kamu gak tau kabarnya, Ra?"
Aku menggeleng, jantungku berdetak tak karuan, ada apa dengan mereka?
"Mereka pacaran, Ra, dari beberapa bulan lalu. Awalnya gak banyak yang tau tapi semakin kesini anak-anak semakin banyak yang tau."
Aku bergeming, mengumpulkan kesadaran. Kesadaran bahwa selama ini aku salah mengira perlakuan baik Reyhan adalah bentuk rasa sukanya padaku. Ternyata dari awal melakukan kebaikan beruntun padaku itupun dia sudah menjalin hubungan dengan Vin. Mataku kali ini terasa panas, beruntung aku dapat menahan semuanya di depan Sya. Berpura-pura baik-baik saja.
Sepulangnya aku sungguh tak dapat mengendalikan diri, menangis menjadi sasaran utama. Menyalahkan diri sendiri yang bodoh, menyalahkan Reyhan yang memang baik kepada semua orang.Â
Hingga hari-hari berikutnya aku masih berduka, menghindari orang-orang, termasuk Reyhan dan Vin. Namun, tak semudah itu menghentikan perasaan yang sudah terlanjur terbuka, pintu itu telah terbuka dan sialnya, perasaan itu telah semakin dalam setiap harinya. Memang benar tak semudah itu. Tak semudah teori yang kuberikan pada teman-teman yang meminta saranku atas hubungan mereka atau atas perasaan mereka yang melukai.
Aku kembali memangis, teringat sebuah perkataan, siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut. Tuhan ingin melihat bagaimana manusia menghadapi posisi tersebut, apakah ia segarang perkataannya tempo dulu atau ia lebih lemah dari yang dipandangnya sebelah mata saat itu. Dan disinilah aku berkubang pada perasaan cinta yang tak seharusnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H