"Tapi Ra." Ia menoleh ke arahku yang tengah waspada jika lagi-lagi ia berniat mendorongku.
"Jika aku berhenti, itu memutus silaturahmi kan. Orang yang memutus silaturahmi tidak akan diterima amalnya dan diancam neraka," imbuhnya bergidik agak ngeri.
Aku memutar bola mata malas, "itu jika silaturahminya bener, lah yang friendzone itu sudah gak bener. Inget laki-laki dan perempuan itu gak boleh terlalu dekat, ada batasan-batasannya. Kenapa kamu terjebak friendzone ya karena kamu sudah melewati batas yang seharusnya. Eh, ujung-ujungnya nyaman, suka dan kamu sendiri yang sakit hati, nangis."Â
"Toh jika kamu ingin selalu ada, selalu membantu, menemani dia ini itu meski hanya via online mendengarkan cerita, bertukar pendapat. Itu berlebihan, itu malah jadi dosa lo kalau kamu melakukannya untuk teman lelaki, lain jika kamu melakukannya untuk temanmu perempuan," kataku semakin menggebu menasehti sesutu yang salah dimataku.
Celah untuk jatuh cinta itu ya manusia itu sendiri yang menciptakannya. Tuhan memang punya andil perihal perasaan manusia tapi andil terbesar dan penentu itu ya manusianya sendiri. Ia membuka pintu, bahkan menyuruh mampir yang masih berjalan  di jalan depan sana.
"Tapi jika itu tujuannya untuk kebaikan masa  salah sih, Ra?"
"Salah lah."
Aku menghembuskan nafas kasar, apa susahnya untuk tidak jatuh cinta. Atau apa susahnya berhenti, terus bangkit jika sudah jatuh. uninstal perasaan. Jika memang tau jatuh cinta semerepotkan itu, seharusnya dari awal sudah mewanti-wanti, hati-hati jika ada sesuatu yang mungkin berusaha mengetuk pintu. Kunci pintu dengan kunci ganda, biarkan orang-orang di luar pintu mengetuk. Toh pintu itu dalam kendali diri sendiri.
"Sudahlah, aku mau balik. capek juga nunggu tapi dosennya gak dateng-dateng."
Aku berdiri melambaikan tangan, yang dibalas lambaian tangan olehnya.
'Aku sungguh malas menganggapi orang-orang lebai yang mengatasnamakan perasaan,' gerutuku dalam hati.