Aku memandangi motorku yang berada di barisan dalam, jika mengeluarkannya harus mengeluarkan motor-motor sebelumnya. Dan itu sungguh merepotkan sekali. Untungnya aku bukan perempuan yang lemah meski tubuhku tak juga kekar. Aku meletakkan tas punggung di atas motor milikku. Lalu beraksi untuk memundurkan motor-motor yang menghalangi jalan untuk keluar.Â
"Sini, biar aku aja, Ra."
Aku menoleh, upss, hampir saja tanganku terkena tangannya.
Lelaki itu telah mengambil alih motor yang tadi kupegang. membuatku mundur beberapa langkah, membiarkannya memundurkan motor. Ia adalah teman kelas sebelah yang satu semester lalu pernah sekelompok dalam praktek kerja lapangan.Â
"Motormu yang depan merah itu kan?"
"Iya."
Ini sudah ketiga kalinya teman itu menolongku, meski aku tak memintanya lebih dulu. Besok-besok aku harus meletakkan motorku di tempat yang benar agar tak merepotkan orang lain lagi, apalagi temanku yang ini. Suara beratnya menyadarkan, motorku sudah berada tepat di hadapanku, menuju gerbang keluar.Â
"Terimakasih, Rey," ucapku diiringi anggukan kepala.
Ia hanya mengangguk sekilas, lantas meninggalkanku. segera aku melajukan motor, pulang.
Ada sesuatu yang bergetar halus dalam dada, aku segera mengusirnya jauh-jauh. Menutup celah, melatih fikir bahwa itu hal biasa yang akan dilakukannya pada teman yang dikenalnya.
Rupanya aku salah, dan hal itu benar mengganggu fikirku berhari-hari berikutnya. Saat ia yang tanpa kuminta turut membantuku mengangkat buku-buku atas permintaan bantuan dari penjaga perpustakaan. Membantu untuk menemukan kunci motorku yang terjatuh. Kembali mengeluarkan motorku dari parkiran yang penuh. Seolah ketika aku kesusahan dalam haula kampus, orang itu selalu siap sedia membantu, selalu tau jika aku dalam kesulitan. Dan tanpa basa-basi ia akan mengambil alih apa yang tengah kulakukan.