"Mereka pasangan yang serasi ya?"
Aku menoleh ke arah Sya, "siapa?"
"Reyhan dengan Vin, kamu gak tau kabarnya, Ra?"
Aku menggeleng, jantungku berdetak tak karuan, ada apa dengan mereka?
"Mereka pacaran, Ra, dari beberapa bulan lalu. Awalnya gak banyak yang tau tapi semakin kesini anak-anak semakin banyak yang tau."
Aku bergeming, mengumpulkan kesadaran. Kesadaran bahwa selama ini aku salah mengira perlakuan baik Reyhan adalah bentuk rasa sukanya padaku. Ternyata dari awal melakukan kebaikan beruntun padaku itupun dia sudah menjalin hubungan dengan Vin. Mataku kali ini terasa panas, beruntung aku dapat menahan semuanya di depan Sya. Berpura-pura baik-baik saja.
Sepulangnya aku sungguh tak dapat mengendalikan diri, menangis menjadi sasaran utama. Menyalahkan diri sendiri yang bodoh, menyalahkan Reyhan yang memang baik kepada semua orang.Â
Hingga hari-hari berikutnya aku masih berduka, menghindari orang-orang, termasuk Reyhan dan Vin. Namun, tak semudah itu menghentikan perasaan yang sudah terlanjur terbuka, pintu itu telah terbuka dan sialnya, perasaan itu telah semakin dalam setiap harinya. Memang benar tak semudah itu. Tak semudah teori yang kuberikan pada teman-teman yang meminta saranku atas hubungan mereka atau atas perasaan mereka yang melukai.
Aku kembali memangis, teringat sebuah perkataan, siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut. Tuhan ingin melihat bagaimana manusia menghadapi posisi tersebut, apakah ia segarang perkataannya tempo dulu atau ia lebih lemah dari yang dipandangnya sebelah mata saat itu. Dan disinilah aku berkubang pada perasaan cinta yang tak seharusnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H