Cara untuk Tetap Hidup di Tengah Gurun Kekeringan IdeBerfikir Menjadi (Bukan) Sebuah Keharusan
Kapan kita mulai menyadari bahwa kita sedang berfikir, itu pertanyaan pertama. Sebelum menjawab pertanyaan itu, apakah kita sudah benar-benar tau dan memahami; apa itu berfikir? Jika masih bertanya tanya perihal; apa itu berfikir, sepertinya pertanyaan perihal kapan kita berfikir mustahil kita akan menjawab.
Tapi tunggu dulu sepertinya bukan hanya ada dua pertanyaan yang harus segera dijawab, tapi akan ada beberapa pertanyaan susulan lainnya yang akan segera menyeruak mengganggu pikiran kita.
Jika memang kedua pertanyaan awal tersebut tak mampu dijawab untuk saat ini, sepertinya kita akan kesulitan sama sekali untuk menindaklanjuti pembahasan kita mengenai berfikir. Karena akan ada pertanyaan selanjutnya yang akan lebih menyusahkan hidup kita, jika kita tak mampu merumuskan dua jawaban untuk dua pertanyaan diawal. Yaitu bagaimana sebenarnya berfikir? Dan, mengapa kita harus bersusah payah untuk berfikir.
Pernahkah kita berada dalam sebuah situasi percakapan dengan seorang kerabat sahabat atau orang lain yang tak mampu menangkap maksud apa yang dibicarakan. Meskipun bahasa yang digunakan saat bercakap-cakap ketika itu masih menggunakan bahasa yang tak asing bagi telinga kita, yakni Bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang lazim digunakan masyarakat kampung halaman kita.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi dalam otak kita. Sekalipun kita paham betul bahasa yang digunakan, tapi mengapa kita tetap tidak bisa menangkap maksud dari orang yang kita ajak bercengkrama.
Penjelasan dari apa yang sedang terjadi pada kita, yang tak mampu menangkap maksud dari lawan bicara kita adalah karena kita tidak sedang berfikir. Sepertinya kita harus mencocokkan situasi dimana kita tak memahami maksud dari lawan bicara kita seperti kasus diatas dengan  pertanyaan diawal tentang apa itu berfikir dan kapan kita berfikir. Maka jawaban dari kapan kita berfikirpun sepertinya telah terjawab yakni ketika segala hal yang ada di luar diri kita atau kehidupan dengan seisi dunianya, harus (terpaksa ataupun tidak) bersentuhan dengan diri kita.
Sebagaimana yang dipaparkan Budi F. Hardiman dalam pembahasannya tentang hermeneutika, bahwa aktivitas manusia sebenarnya tak lebih dari upaya memaknai atau mencari pemahaman terus menerus. Dapat kita simpulkan jika kapan proses berfikir itu terjadi adalah ketika kita sedang memiliki kepentingan untuk mengerti dan memahami realitas di luar diri kita.
Ketika kita memiliki kepentingan untuk memahami dan mengerti, disaat yang bersamaan kita sebenarnya telah mempersiapkan otak untuk melakukan aktivitas berfikir. Dan cukup sederhana, jika pada suatu ketika kita tak mampu memaknai atau memahami perkataan lawan bicara, sebagaimana kasus diatas bisa diartikan kita sedang tidak memiliki kepentingan dengan realitas yang dimaksud, dalam kata lain kita tidak sedang berfikir.
Akhirnya kita tau kapan kita harus berfikir, setelah kita tahu kapan kita berfikir tak lama lagi kita akan memahami sebenarnya apa itu berfikir. Apakah benar aktivitas berfikir itu terjadi, ketika kita sedang duduk termenung dengan tangan menopang dagu. Ataukah berfikir itu aktivitas yang menghasilkan ekspresi mimik wajah mengkerut dengan tangan yang menggaruk kepala.
Apakah memang demikian seseorang dikatakan berfikir akan tampak sebagaimana ciri-ciri yang nampak seperti menggaruk kepala, tangan yang menopang dagu atau ekspresi mimik wajah mengkerut. Jika memang benar demikian, maka kita tidak akan mampu membedakan seseorang yang sedang sakit perut (mulas) dengan orang yang sedang berfikir. Karena mereka yang sakit perut sepertinya menggunakan ekspresi mimik wajah yang sama seperti orang berfikir yakni mengkerut.
Sama halnya kita tidak akan dapat membedakan mana seseorang yang sedang mengantuk dengan seseorang yang sedang berfikir, karena keduanya sama-sama menopang dagu menggunakan tangnnya. Jika kenyataannya seperti ini masihkah kita akan menyandarkan definisi seseorang yang sedang berfikir dengan indikator atau ciri-ciri yang sama sekali tidak mewakili ciri khas orang berfikir.
Lalu Apa Sebenarnya yang Dimaksud "Berfikir"?
Berfikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak (Sobur, 2011). Kehidupan manusia tidak akan mungkin ada dan bergulir tanpa keterlibatan sistem kerja otak dan mekanismenya, maka begitu jelas jika berfikir menjadi sebuah aspek penting bagi manusia untuk hidup, secara harfiah.
Ketika seseorang mulai berfikir, indikator atau ciri-ciri yang khas dan nampak mewakili dari keterlibatan sesungguhnya adalah munculnya kata-kata, ucapan, kalimat verbal. Atau ketika seseorang itu bereaksi secara langsung dengan bertanya, menjelaskan, dan mengevaluasi (Mundiri, 2014).
Keterlibatan aktivitas otak dalam berfikir membuat manusia memunculkan respon-respon yang beragam bukan hanya sebatas respon secara verbal melainkan secara perilaku seseorang yang sedang berfikir dapat memunculkan berbagai macam bentuk sikap dan tingkah laku. Maka, berawal dari definisi tersebut kita akhirnya dapat membedakan mana perilaku seseorang yang sedang berfikir dan yang sedang sakit perut. Atau seorang yang tengah mengantuk ataupun memikirkan suatu hal.
Begitu mendasar aktivitas otak mempengaruhi manusia dalam berperilaku selama hidup. Berfikir menjadi pangkal dari segala hal yang dikehendaki manusia, ketika berfikir manusia telah membuka peluang pertama untuk memaknai kehidupan atau realitas di luar dirinya. Tak dapat dipungkiri bahwa pertaruhan hidup manusia adalah memaknai realitas kehidupan.
Pada tahap ini aktivitas berfikir akan mengetengahkan dikotomi dari dimensi kehidupan manusia bahwa ada (diri manusia) disatu sisi dan ada (realitas kehidupan nyata) di lain sisi. Dapat disederhanakan secara praksis bahwa aktivitas berfikir, akan menyajikan sebuah tatanan konsep yang meletakkan manusia sebagai subjek terhadap realitas di luar dirinya, atau objek dari realitas di luar dirinya.
Berfikir juga berarti berjerih payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi (Sobur, 2011). Jika meletakkan manusia sebagai subjek dalam aktivitas berfikir, maka manusia akan memasukkan realitas ke dalam dirinya untuk dimaknai sebagaimana peruntukkannya.
Maksud dari kalimat "memaknai sebagaimana yang diperuntukkan" adalah ketika manusia mulai berfikir terhadap realitas diluar dirinya dan menemukan kendala atau masalah substansi dari realitas yang dipikirkannya itu. Maka aktivitas otak dalam berfikir akan berupaya untuk menerjemahkan mana pangkal realitas yang bermasalah? Apa yang melatarbelakangi? Berdampak apa jika tidak ditanggapi? Lalu apa solusinya bila nampak begitu jelas merugikan? Ini yang dimaksud sebagai menghadapi permasalahan.
Bagaimana Memulai Berfikir? Apa Saja Macamnya? Berfikir Apa yang Harus digunakan?
Bagaimana cara untuk berfikir dan berfikir yang bagaimana seharusnya dilakukan oleh seorang manusia sebagai subjek. Ada dua macam berfikir menurut Alex Sobur (2011) yaitu 1) Berfikir Autistik yakni bentuknya seperti menghayal dan fantasi melepaskan diri dari kenyataan hidup. 2) Berfikir Realistik, yakni berfikir secara nalar menyesuaikan dengan dunia nyata (Rahmat, 1994).
Menurut Floyd L. Ruch (1967) ada tiga bentuk berfikir realistik meliputi deduktif, induktif dan evaluatif. 1) Berfikir Deduktif, berlangsung dari berfikir tentang realitas umum menuju realitas khusus. Cara berfikir demikian  berangkat dari fenomena dan peristiwa yang dianggap umum dan dipahami oleh banyak orang, kemudian direduksi hingga sampai menemukan titik temu pada fenomena atau peristiwa yang spesifik atau khusus. 2) Berfikir Induktif, merupakan pola berfikir yang bertolak dari sebuah fenomena dan peristiwa yang spesifik untuk ditarik hingga menghasilkan sebuah konklusi atau kesimpulan yang bersifat umum, dipahami banyak orang. 3) Berfikir Evaluatif, merupakan pola berfikir yang menempatkan pertimbangan segala aspek terhadap objek atau fenomena yang dihadapi. Pola berfikir evaluatif ini tidak bermaksud untuk merumuskan sebuah konklusi yang nantinya menjadi bahan dasar generalisasi.
Namun mencari celah dan kemungkinan-kemungkinan yang sifatnya preventif terhadap konklusi dari fenomena yang menjadi objeknya. Manusia sebagai subjek dalam memahami realitas dunia yang menjadi objek, dapat berangkat dari ketiga macam pola berfikir tersebut. Ketiga pola tersebut memiliki kelemahan juga kelebihan, namun pertimbangan yang demikian bukan berarti meletakkan ketiga pilihan berfikir tersebut pada derajat perbandingan "mana yang lebih efektif?"
ketika diimplementasikan lebih dari itu, ketiga pilihan berfikir tersebut bisa menjadi siasat cara untuk menguliti realitas kehidupan yang sifatnya kompleks. Berfikir telah menjadi pertaruhan paling fundamental bagi manusia. Karenanya, realitas kehidupan yang begitu luas tak terbatas dapat diterjemahkan secara sistematis dan konkret dalam koridor pemahaman manusia yang sifatnya terbatas.
Mengapa kita harus berfikir?
 Merupakan pertanyaan susulan yang terakhir menggiring tanda tanya kita menganai aktivitas berfikir yang hampir saja kita sepakat bahwa tidak lebih penting dari sekedar menghela nafas. Namun urgensi dari berfikir sebenarnya telah jauh diawali oleh beberapa manusia pendahulu kita pada masa para filsuf alam dari Elea. Salah seorangnya bernama Thales (625-545 SM) dengan produk pemikirannya, bahwa segala sesuatu di dunia ini berasal dari air, ia berangkat memahami realitas tidak menggunakan anggapan umum (common sense), namun dengan induktif yang bersifat rasional-logis. Namun kita tidak hendak memahami atau mengkritisi produk pemikirannya, lebih dari itu kita hendak melihat sebenarnya bagaimana seorang Thales berani memulai berfikir mengenai air sebagai sumber dari keberadan dan pembentukkan bumi disaat segala sesuatunya di zaman ketika Thales hidup, kerapkali disandarkan pada yang namanya cara berfikir mitologi atau kepercayaan pada mitos. Keberanian Thales dan buah hasil produk pemikirannya bisa kita proyeksikan sebagai stereotip dari seorang manusia yang memanfaatkan otaknya untuk meneguhkan dirinya (manusia) sebagai subjek, bukan objek sebagaimana paradigma mitos berkehendak.
Jauh setelah zaman Thales ditinggalkan yang mewarisi produk pemikiran yang begitu berharga dan begitu nikmatnya hingga di zaman milenium ketiga kini. Beberapa abad setelah Thales, abad ke-17 cara berfikir Thales dilanjutkan oleh seorang filsuf bernama Rene Descartes dengan diktumnya "Cogito Ergo Sum" artinya aku berfikir maka aku ada. Diktum tersebut meletakkan dasar pengertian bahwa realitas yang abstrak harus dipikirkan agar fungsi subjektifitas manusia menjadi adaptif dalam hidup ini. Rene Descartes merupakan filsuf yang mulai menata dan membukakan pintu yang lengang untuk ruang dialog manusia-manusia setelahnya, dengan produk kerangka berfikir yang metodis sistematis, dengan maksud menciptakan pondasi bangunan ilmu pengetahuan agar realitas yang sifatnya metafisik mampu diterjemahkan dalam kerangka bangunan ilmu pengetahuan yang sistematis, objektif, universal dan empiris.
Cogitu Ergo Sum secara bahasa "Cogito" berarti kepala atau pikiran. "Sum" diartikan hidup. Dan, "Ergo" diartikan aktivitas berfikir atau ilmu pengetahuan. Berangkat dari terjemahkan secara bahasa, dapat disandarkan pada bentuk analogi yang artinya manifestasi manusia yang berpikir dan memiliki produk dari pemanfaatan akal bernama ilmu pengetahuan akan digunakan sebagai pengejawantah realitas kehidupan, yang mana manusia berada didalamnya sebagai subjek. Cukup sederhana memahaminya; dunia kalau tidak terpikirkan olehku (manusia), maka dunia tidak ada.
Jika berangkat menggunakan perangkat berfikir studi tentang perilaku manusia dengan psikologi yang meletakkan pemahaman bahwa jiwa dan tubuh adalah terpisah. Maka proses berfikir yang terjadi pada manusia terletak pada jiwanya. Menurut Rene Descartes, jiwa adalah unsur "aku" dalam diri manusia yang memiliki kesadaran, dinamai olehnya dengan substansi berfikir yang berdiri sendiri dan ditopang oleh kuasa Tuhan. Dan tubuh adalah sebuah perangkat alat atau mesin yang berbeda dari jiwa.
Maka sudah cukup jelas jika aktivitas berpikir manusia menjadi sangat mendasar dari konsep yang telah disepakati diawal bahwa manusia sebagai subjek. Subjek yang meletakkan realitas kehidupan di luar dirinya sebagai objek, yang artinya segala bentuk aktivitas manusia yang sifatnya tampak atau tidak tampak, langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak merupakan hasil dari proses berpikir. Apa yang membuat kita harus berfikir merupakan pertanyaan yang tak kalah fundamentalnya. Ketika kita telah diberi perangkat lunak yang bernama otak dengan segala bentuk kelebihan dan kedahsyatannya, memungkinkan kita untuk memasukkan realitas dunia yang begitu luas tak terbatas untuk dikunyah menjadi enkripsi yang dapat dipahami oleh manusia, atau memerintah tubuh jasadiah kita untuk bertingkah laku sekehendaknya. Adakah pertanyaan lain tentang mengapa manusia harus berfikir jika sebenarnya jawaban dari pertanyaan tersebut sebenarnya telah termaktub dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab, 33: 72 (Bakran, 2012). Karena manusia itu bodoh dan bersikap aniaya. Lantas membuatnya takut untuk terbebani tugas yang berat memanfaatkan seisi alam semesta untuk kemaslahatan. Jika memang Allah SWT telah mengetahui bahwa manusia adalah salah satu mahkluk yang akan menerima beban paling berat yaitu memanfaatkan seisi alam ciptaan-Nya untuk kesejahteraan dan kebaikan sesama mahluk Allah SWT. Sedangkan pada saat yang bersamaan Dia tahu bahwa manusia adalah makhluk paling bodoh dan aniaya. Lantas apakah Allah SWT pada saat yang sama telah keliru untuk menyuruh kita berfikir, setelah memberi kita perangkat lunak paling canggih bernama otak.
Berfikir Dialogis Memulai Berfikir Kritis
Proses berfikir mendapat perhatian yang lebih serius setelah tokoh Psikologi strukturalis bermadzab behavioris mendapat kritik tajam dari madzab ketiga psikologi yang mengatasnamakan diri mereka madzab kognitif. Madzab kognitif menolak mentah-mentah madzab behavioris karena berubah menjadi sangat kolot dengan meniadakan aspek memori, atensi, afeksi, dan berfikir pada manusia. Madzab kognitif menyadari bahwa perilaku manusia tidak hanya sebagai hasil dari pembentukkan atau determinasi dari lingkungan yang mengkonstruk jenis dan bentuk perilaku manusia tertentu (Solso, Maclin & Kimberly, 2007).
Dimulai dengan riset Edward C. Tolman (1886-1959) tentang hewan tikus yang dimasukkan dalam labirin dengan stimulus makanan, lambat laun tikus memahami ada jalan yang lebih cepat untuk menemukan makanan, hal ini menunjukkan bahwa tikus memiliki daya analisis yang cukup sederhana untuk menemukan mana yang dirasa cukup singkat untuk mencapai makanan. Tikus tidak serta merta merasakan rasa laparnya sebagai stimulus untuk segera mencari makanan dengan bergerak ke sembarang arah. Namun tikus mengalami juga proses berfikir dan memori untuk mencapai makanan.
Itu adalah tikus dan tikus adalah hewan, jika hewan saja mampu untuk memanfaatkan fungsi otaknya untuk berfikir menemukan jalan keluar dan menyelesaikan masalah laparnya bagaimana dengan kita, manusia. Tentunya lebih dari itu, karena manusia berfikir tidak hanya sebatas digunakan untuk menyelesaikan permasalahan fisiologis semata yakni rasa lapar, tapi lebih kompleks dari itu, manusia menggunakan otaknya untuk berfikir bagaimana cara untuk dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab kekhalifahan sebagaimana Al-Quran Surat Al-Baqarah 2: 30 tertulis. Bahwa, 1) Manusia mengemban tugas dan tanggung jawab uluhiyah yaitu berhubungan dengan Tuhannya. Kemudian, 2) Tugas Rububiah yakni berhubungan dengan manusia (Bakran, 2001).
Dengan pemberian berupa otak oleh Allah SWT, manusia diharap dapat memanfaatkan fungsi akalnya untuk berfikir mendayagunakan segala bentuk ilmu pengetahuan yang telah dibukakan oleh Allah SWT. Dengan tujuan dapat menjadi khalifah yang bijaksana untuk mensejahterahkan sesama umat manusia dengan cara memanfaatkan seisi alam ciptaan-Nya.
Namun manusia pada titik ini, fungsi berfikir tidak hanya sebatas untuk memahami atau menangkap realitas dalam ilmu hermeneutika, manusia disatu sisi memiliki hal untuk memaknai atau memahami, tapi diisi yang lain manusia memiliki kewajiban untuk melaksanakan. Kewajiban untuk menjelaskan inilah yang menjadi pangkal berpijak manusia untuk berfikir yang tidak serta merta untuk dirinya sendiri, sebagai "pemahaman" semata. Namun berfikir yang nantinya akan disampaikan pula pada orang lain, dalam rangka "menjelaskan". Maka cukup jelas, bahwa tujuan berfikir tidak lain hanya sebagai upaya memenuhi kebutuhan pengetahuan tentang kebijaksanaan.
Bermula dari pemahaman baru tersebut bahwa berfikir tidak sekedar berfikir. Akhir-akhir ini ada semacam kebutuhan untuk meningkatkan taraf berfikir manusia, agar segala bentuk kebaikan dari keberadaan realitas kehidupan ini benar-benar menjadi kebaikan pula setelah diinternalisasikan ke dalam dirinya. Seakan-akan manusia dalam titik tertentu merasa tidak lagi cukup melihat "semata-mata" atau dengan pengamatan secara objektif terhadap benda-benda atau materi-materi di depan kita.
Untuk menjawab keresahan manusia tentang apa yang disebut objektif. Dengan cara pandang yang cukup ekstrem, marilah kita memberanikan diri untuk berfikir dengan cara demikian. Apakah kita pernah menanyakan perihal asal-usul dari sebuah benda di depan kita secara detail. Dengan instrumen pertanyaan; terbuat dari apa benda itu? Bagaimana cara membuat benda itu? Mengapa harus dibuat benda yang seperti itu? Apa sebenarnya benda itu? Fungsinya untuk apa benda itu? jikalau benda itu tidak kita gunakan sebagaimana fungsinya, memangnya kenapa? Seandainya benda itu tidak pernah ada, memang apa ruginya? Kapan waktu yang tepat menggunakan benda itu? Apa bedanya benda yang itu dengan benda yang ini?
Bagaimana? Apakah kita berani mempertanyakan benda-benda di sekitar kita dengan instrumen pertanyaan semacam itu. Bayangkan jika yang kita pertanyakan adalah benda-benda seperti gelas, gajah, sedotan, balsam, resleting, tutup botol, paku payung dan benda-benda fisik lainnya. Sangat mungkin kita bisa menguliti dengan sangat detail dari keberadaan benda-benda tersebut karena nyata dan dapat disentuh oleh indera. Namun, apakah memungkinkan, bila kita mempertanyakan hal-hal yang bukan benda fisik seperti agama, ideologi, tradisi, atau hukum adat, nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Sekalipun tidak dapat dikercap oleh indera, hal-hal demikian juga sangat mungkin untuk dipertanyakan. Kesemuanya itu, mulai dari cara berfikir yang cukup ekstrem, ditambah pula dengan instrumen pertanyaan yang sangat mendetail, tak terkecuali pula dengan objek yang hendak dipertanyakan, adalah bentuk lain dari cara berfikir tingkat tinggi yang dinamakan berfikir kritis.
Kita akan memulai memasuki dikotomi baru mengenai keterampilan berfikir yang akhirnya dikelompokkan menjadi keterampilan berfikir dasar dan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Menurut Costa (1985) yang termasuk keterampilan berfikir dasar meliputi kualifikasi, klasifikasi, hubungan variabel, transformasi, dan hubungan sebab-akibat. Sedangkan keterampilan berpikir kompleks meliputi problem solving, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif dan keterampilan berfikir kompleks ini yang dimaksud dengan berfikir kritis.
Apa itu berfikir kritis? Kita mulai dengan bertanya seperti itu. Secara teoritik menurut Chance (1986) mendefinisikan berfikir kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis fakta, menghasilkan dan mengatur ide-ide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah. Berfikir kritis merupakan cara berfikir yang tak hanya berhenti setelah menemukan satu buah jawaban, untuk satu buah pertanyaan yang dilontarkan diawal. Cara berfikir demikian, memiliki fungsi untuk menemukan kepastian jawaban yang benar-benar mendasar dan tak terbantahkan, meskipun harus diawali rentetan panjang pertanyaan. Karena dengan ditemukannya kepastian jawaban yang murni dan mendasar dari sebuah fenomena, realitas, fakta atau permasalahan yang menjadi objeknya. Maka akan ditemukan pula keputusan, cara, atau solusi apa yang hendak diambil menghadapi objek-objek tersebut.
Dan yang paling penting dari cara berfikir kritis adalah terhindar dari kesesatan atau kesalahan berfikir dalam upaya menemukan keputusan, cara atau solusi yang hendak diambil. Berfikir semacam ini dapat dimulai dengan prinsip-prinsip umum yaitu melihat secara terperinci obyek yang akan dikaji secara objektif dan menghindari cara pandang yang sifatnya subjektif. Hal ini mengantisipasi tertutupnya kebenaran dari objek yang akan dikaji. Jika hal itu terjadi bisa dipastikan tahap-tahap untuk mencari detail selanjutnya dari objek yang dikaji akan tetap samar dan tidak akan mencapai solusi atau tujuan mendasar, karena unsur subjektifitas dalam melihat obyek sangat rentan akan interpretasi yang bukan berasal dari obyek itu sendiri, melainkan dari "pengalaman (pernah)" melihat objek.
Kemudian jangan pernah merasa puas dengan argumen-argumen awal dari penjelasan objek, lantas berhenti setelah mendengar argumen tersebut. Tapi harus terus dikejar kembali dengan mempertanyakan jawaban yang telah muncul. Begitu juga seterusnya. Dan Begitu juga setersunya, untuk tetap mempertanyakan tanpa henti jawaban yang muncul dan tetap menekankan prinsip untuk penuh dengan rasa curiga, keragu-raguan, dan tidak mudah percaya dengan pengamatan atau jawaban awal, sebelum rasa penasaran sirna dari benak hati, dan kebenaran yang asasi atau mendasar tegak berdiri.
Prinsip-prinsip demikian inilah yang akan kita gunakan untuk menafsirkan (dengan sangat keras diperkuat dengan keteguhan hati yang gigih) objek-objek gelas, agama, ideologi, gajah, mobil, jarum, tradisi, atau hukum adat. Yang nantinya dimaksudkan agar menemukan titik terang mengenai kebaikan dan kebenaran yang hakiki dari objek-objek yang dikaji.
Mengapa kita perlu hal-hal semacam ini? Sebenarnya tak lebih dari kebutuhan untuk mencari kebenaran. Jika kebenaran memang tidak pernah akan dimiliki oleh manusia atau makhluk ciptaan-Nya karena hanya Allah SWT sumber dari segala sumber, sumber dari segala yang benar, yang baik dan yang indah. Lantas kenapa Allah SWT menyuruh kita untuk berusaha dengan berfikir secara kritis memanfaatkan segala daya akal yang diberi-Nya, untuk menemukan apa yang sebenarnya benar dan apa yang seharusnya menjadi kebenaran, ketika kita berusaha mencarinya diantara manusia atau mahkluk ciptaan-Nya yang sangat rentan mengaburkan kebenaran.
Berfikir Kritis Sebagai Metode
Dalam berfikir juga termuat kegiatan meragukan, memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah, atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, menimbang dan memutuskan (Sobur, 2011). Berfikir menjadi sebuah kepastian yang mutlak bagi manusia untuk tetap sadar jika masih menjadi bagian dari kehidupan ini. Berfikir secara kritis berarti berfikir lebih serius untuk, memaknai, dan menjelaskan sebuah objek yang dikaji. Mari kita pahami secara singkat apa hakikat dari kata "kritis" yang menjadi penjelas dari diksi "berfikir kritis". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); kritis, berarti bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, tajam dalam menganalisis. Jika disandarkan pada kata; berfikir, maka kerja otak yang berorientasi pada menemukan kesalahan dan kelemahan, tidak mudah percaya dengan yang dilihat, berupaya menganalisis secara tajam dan presisi. Kecenderungan berfikir secara kritis juga telah menjadi keharusan dalam tradisi ilmu filsafat. Bukan berarti menampik ilmu pengetahuan lainnya, namun hanya ilmu filsafat yang masih konsisten dengan keberanian mempertanyakan apa yang biasanya tidak ditanyakan. Kecenderungan seperti ini yang kita maksud sebagai keberanian dalam upaya menemukan kebenaran, mencari kebenaran merupakan orientasi dari manusia dalam hidup. Dan ilmu filsafat merupakan salah satu pintu gerbang untuk menemukan kebenaran (disamping sains dan agama sebagai pintu gerbang menuju kebenaran). Dalam dialektikanya menguliti kebenaran merupakan cara yang menjanjikan, sekaligus solutif bagi kalangan cendikiawan masa kini dalam menemukan kebenaran dari hipotesis yang sempat tertutupi selubung subjektifitas yang rentan bertendensi dengan unsur ideologis-hegemonik.
Kebutuhan untuk tetap sadar sebagai manusia dengan berfikir kritis menjadi nampak koheren dengan tradisi keilmuan filsafat sebagaimana yang disampaikan oleh Frans Magnis-Suseno (2002) bahwa filsafat memang harus mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban-jawaban tidak pernah abadi. Â Karena itu filsafat tak pernah selesai dan tak pernah sampai akhir sebuah masalah. Dengan demikian filsafat bisa dikatakan sebagai seni kritik. Filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah memberikan sesuatu sebagai "sudah selesai", tidak pernah memotong perbincangan, selalu bersedia, bahkan senang untuk membuka kembali perdebatan, selalu dan secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis, antitesis dan antitesisnya antitesis.
Dapat kita korelasikan dengan pemahaman psikologi dalam proses kognisi pada tahapan pemrosesan informasi menurut Jerome Bruner ada tiga tahapan yakni 1) Tahap Informasi, tahap untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru. 2) Tahap Transformasi, tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru ke dalam bentuk baru. 3) Evaluasi, untuk mengetahui apa hasil transformasi pada tahap sebelumnya sudah tepat atau belum (Khairani, 2013). Berangkat dari ketiga tahapan tersebut berfikir kritis yang berorientasi menemukan kesalahan dan kelemahan, tidak mudah percaya, berupaya menganalisis secara tajam berada dalam tahapan kedua yakni tahap tranformasi.
Tahapan dalam melakukan proses berfikir kritis, kita akan coba menggunakan metode Rene Descartes karena dia merupakan peletak batu pertama dasar berfikir yang nantinya menjadi pondasi bangunan ilmu pengetahuan positivis yang menuntut kejelasan konfirmasi oleh indera (empiris). Dia juga yang merumuskan pengertian tentang psikologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai gejala-gejala pemikiran atau gejala-gejala kesadaran manusia terlepas dari badannya. Terlepas dari itu, metode berfikir Rene Descartes merupakan sistematika awal dari cara berfikir kritis.
Tahapan metodenya sebagai berikut: (benda atau realitas) (ukuran gerak dan jumlah tidak ada) (ada, karena aku sedang ragu) (aku ragu karena berfikir) (jadi, aku berfikir ada). Penjelasan Rene Descartes aku berfikir pasti ada dan benar. Jika aku berfikir ada, berarti aku ada, karena yang berfikir itu "aku" (Tafsir, 1993). Bagian yang paling penting dalam berfikir kritis pada metode Rene Descartes terletak pada "meragukan apa yang tampak", ini merujuk pada sifat untuk tidak mudah puas atau berhenti dengan apa yang didapat diawal. Manusia sebagai penentu dari "ada" dan "tidaknya" objek atau realitas yang dilihat. Proses meragukan itu yang menjadi titik tolak yang penting untuk mencari kebenaran dari objek yang kita kaji.
Namun proses berfikir kritis dalam upaya mencapai sebuah kepastian soal ada dan benar sepertinya perlu dipahami akan adanya kaidah-kaidah yang harus dipatuhi. Dalam berfikir manusia harus memperhatikan asas pemikiran yang artinya pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Asas pemikiran ini sangat penting karena mutlak dan salah benarnya pemikiran tergantung terlaksana tidaknya asas-asas ini. Asas pemikiran adalah dasar dari pengetahuan (hasil dari aktivitas mengetahui hingga tidak ada keraguan  lagi) dan ilmu (menuntut kejelasan dari apa yang sudah diketahui sedetail mungkin).
Bentuk-bentuk asas pemikiran meliputi: 1) Asas Identitas artinya memiliki penyebutan khas untuk dirinya sendiri. Contoh; Ini bernama bejo dan dia bernama Supri, keduanya memiliki penyebutan tersendiri yang khas dan tak sama.
2) Asas Kontradiksi artinya. Selalu ada pembeda diantara keduanya dan mustahil keduanya disebut dengan identitas yang sama. Contoh; jika seorang mengaku bernama Bejo, maka Bejo bukanlah Supri.
3) Asas Penolakan artinya antara pengakuan dan pengingkaran, kebenarannya terletak disalah satunya, dan tidak mungkin benar keduanya karena keduanya sangat bertentangan. Â Contoh; Orang ini bernama Bejo, kalau bukan, namanya pasti Supri. Mustahil Bejo menyebut dirinya juga Supri (Mundiri, 2014).
Setelah kita belajar membersihkan realitas yang sudah kita tangkap, ada tahapan paling menentukan seseorang itu telah berfikir sesuai asas-asas pemikiran atau tidak. Yaitu tidak terjadi kesalahan berfikir ketika hendak memberikan penjelasan. Kekeliruan berfikir ini biasa disebut dengan fallacy berikut bentuk-bentuk kekeliruan berfikir yang patut diantisipasi.
JENIS KELIRUNYA
BENTUKNYA
CONTOHNYA
Kekeliruan formal
- Kekeliruan menggunakan empat term
- Orang yang berpenyakit menular harus diasingkan
- Orang berpenyakit panu adalah membuat penularan penyakit, jadi dia harus diasingkan
- Kekeliruan karena kedua term penengah tidak mencakup
- Semua anggota PBB adalah negara merdeka. Negara itu tertentu menjadi anggota PBB karena memang negara merdeka
- Kekeliruan karena proses tidak benar
- Kuda adalah binatang, sapi bukan kuda jadi ia bukan binatang
- Kekeliruan karena menyimpulkan dari dua premis yang negatif
- Tidak satupun barang yang baik itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak murah jadi kesemua barang di toko itu adalah baik
- Kekeliruan karena mengakui akibat
- Bila pecah perang, harga barang-barang naik. Sekarang harga barang-barang naik, jadi perang telah pecah
- Kekeliruan karena menolak sebab
- Bila datang elang maka berlarian, sekarang elang tidak datang, jadi ayam tidak berlarian
- Kekeliruan dalam bentuk disjungtif
- Dia menulis cerita atau pergi ke Surabaya. Dia tidak pergu ke Surabaya, jadi ia tentu menulis cerita
- Kekeliruan karena tidak konsisten
- Anggaran dasar organisasi kita sudah sempurna. Kita perlu melengkapi beberapa pasal agar komplit
JENIS KELIRUNYA
BENTUKNYA
CONTOHNYA
Kekeliruan informal
- Kekeliruan karena membuat generalisir terburu-buru
- Dia orang Islam mengapa membunuh. Kalau begitu orang Islam memang jahat
- Kekeliruan karena memaksa praduga
- Seorang pegawai datang ke kantor dengan luka goresan di pipinya. Seorang menyatakan bahwa istrinyalah yang melukainya karena kurang harmonis hubungannya dengan istrinya. Padahal ada goresan kecil di pagar
- Kekeliruan karena mengundang permasalahan
- Allah itu mesti ada karena ada bumi (disini orang akan membuktikan bahwa Allah itu ada, dengan dasar adanya bumi, tetapi tidak dibuktikan bahwa bumi adalah ciptaan Allah)
- Kekeliruan karena menggunakan argumen yang berputar
- Ekonomi negara X tidak baik karena banyak pegawai yang korupsi. Mengapa banyak pegawai yang korupsi? Jawabannya karena ekonomi negara kurang baik
- Kekeliruan karena berganti dasar
- Ia kelak menjadi mahaguru yang cerdas, sebab orang tuanya kaya
- Kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas
- Bangunan ini sungguh kokoh, sebab Haris mengatakan demikian. (Dokter haris adalah ahli kesehatan, bukan insinyur bangunan)
- Kekeliruan karena mendasar diri pada kekuasaan
- Kau masih juga membantah pendapatku. Kau baru satu tahun duduk di bangku perguruan tinggi, aku sudah lima tahun
- Kekeliruan karena menyerang pribadi
- Dia adalah seorang yang brutal. Jangan dengarkan pendapatnya
- Kekeliruan karena kurang tahu
- Kalau kau tidak bisa membuktikan bahwa hantu itu ada, maka jelas pendapatku benar, bahwa hantu itu tidak ada
- Kekeliruan karena pertanyaan yang ruwet
- Jam berapa kau pulang semalam? (Yang ditanya sebenarnya tidak pergi. Si penanya hendak memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya semalam pergi)
- Kekeliruan karena alasan terlalu sederhana
- Kendaraaan pabrikkan honda adalah yang terbaik, karena paling banyak peminat
- Kekeliruan karena menetapkan sifat
- Daging yang dibeli kemarin adalah daging mentah, jadi hari ini kita makan daging mentah
- Keliruan karena argumen yang tidak relevan
- Pisau silet itu berbahaya daripada peluru, karena tangan kita seringkali teriris
- Kekeliruan karena salah mengambil analogi
- Seniman patung memerlukan bahan untuk menciptakan karya-karya seni. Maka Tuhanpun memerlukan bahan dalam mencipta alam semesta
- Kekeliruan karena mengundang belas kasihan
- Saya sampaikan pada anda (para juri peradilan), bukan untuk kepentingan Thomas Kidd (si penuntut) tetapi menyangkut permasalahan panjang, kebelakang ke masa yang sudah lampau maupun ke depan ke masa yang akan datang, yang menyangkut seluruh manusia di bumi. Saya katakan pada anda bukan untuk Thomas Kidd, tetapi untuk mereka yang bangun pagi sebelum dunia menjadi terang dan pulang pada malam hari setelah langit diterangi bintang-bintang mengorbankan kehidupan dan kesenangannya, bekerja berat demi terselenggaranya kemakmuran dan kebebasan, saya sampaikan pada anda dan anak-anak yang sekarang hidup maupun yang akan lahir.
JENIS KELIRUNYA
BENTUKNYA
CONTOHNYA
Kekeliruan karena penggunaan bahasa
- Kekeliruan karena komposisi
- Baut untuk mesin ini sangat ringan, karena itu mesinnya tentu ringan juga
- Kekeliruan dalam pembagian
- Kompleks ini dibangun di atas tanah yang luas, tentulah kamar-kamar tidurnya juga luas
- Kekeliruan karena tekanan pengucapan
- Kita tidak boleh membicarakan kejelekkan, Â kawan. (yang dimaksud, kita dilarang membicarakan kejelekkan. Tetapi dengan memberi tekanan pada kejelekkan maknanya menjadi lain)
- Kekeliruan karena amfiboli
- Seorang anak muda datang kepada seorang peramal hendak mencari apakah judi untuk pertama kalinya yang akan ia lakukan membuatnya  menang atau kalah. Dan peramalan menjawab, "kamu akan mendapat pengalaman yang bagus," kata si peramal. Berangkatlah si anak muda itu ke tempat judi, namun nyatanya ia kalah. Kemudian si anak muda menanyakan kepada si peramal kenapa ramalannya meleset. Tapi si peramal itu menjawab. "saya benar sebab dengan kekalahan itu anda mendapat pengalaman bagus, bahwa judi itu membuat penderitaan.
- Kekeliran karena menggunakan kata dalam beberapa arti
- Gajah adalah binatang, jadi gajah kecil adalah binatang kecil (padahal gajah kecil bukan berarti gajah itu masuk dalam pengertian binatang kecil)
Â
Ternyata dari kekeliruan berfikir yang dijabarkan diatas jelas membuktikan kebenaran masih butuh pengujian yang sifatnya terus-menerus, tanpa pernah puas dan tanpa henti. Hanya dengan cara berfikir kritis sebuah cara berfikir yang tak serta merta percaya dengan satu buah kemungkinan jawaban. Tujuan berfikir kritis adalah mencari kemungkinan-kemungkinan aspek lain yang membuat kebenaran asasi tertutupi. Maka janganlah merasa cukup dengan sebuah jawaban yang mengklaim sebagai benar dan kebenaran, jika masih menimbulkan tanda tanya dan masih menyisahkan keraguan yang berserakan di ruang benak hati.
Paradigma sebagai Kerangka dan Pondasi Bangunan Epistemologi
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya "The Structure Of Scientific Revolution", yang dipopulerkan oleh Robert Freidrichs (The Sociologi of Sociology; 1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma yaitu 1) Paradigma Metafisik, yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan. 2) Paradigma Sosiologi, yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum. 3) Paradigma Konstrak, sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dan lain sebagainya.
Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter). Sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah "to see the world" semacam kacamata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
Apakah yang Disebut Teori Kritis?
Apa sebenarnya makna "kritis". Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah tajam atau tegas dan teliti dalam menanggapi sekaligus memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari madzab Frankfrut. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari Institut Penelitian Sosial, Universitas Frankfrut Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-Marxis Jerman. Teori kritis menjadi diskusi publik di kalangan filsafat sosial dan Sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu sekolah Frankfrut-paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu sekolah Wina-paradigma neo-positivisme/neo-kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jurgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis teori kritis. Madzab frankfrut mengkarakteristikan berpikir kritis dengan empat hal: 1) Berpikir dalam totalitas (dialektis). 2) Berpikir empiris-historis. 3) Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis. 4) Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality). Diungkapkan George Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi.
- Teori marxian yang deterministik yang menumpukkan semua persoalan pada bidang ekonomi
- Positivisme adalah sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial humaniora katakanlah kritik epistemologi
- Teori-teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo
- Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis, nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi
- Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan
Pengertian Kritik dalam Tradisi Teori Kritis
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideologi atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial, namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat. Teori kritis berangkat dari empat sumber kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx, dan Sigmund Freud.
- Kritik Menurut Kantian (Kelompok penganut pemikiran filsuf Immanuel Kant)
- Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subjektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subjektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis: tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan "isi" pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kritik Kant terhadap epistmeologi bahwa kritik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuan) bahwa rasio dapat menjadi kritik terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi pengadilan tinggi. Kritik ini besifat transendental atau kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menunjuk kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
- Kritik Menurut Hegelian (kelompok penganut pemikiran filsuf Hegel)
- Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu "meta-teori" untuk menguji validitas suatu teori. Menurut pengertian kritis merupakan refleksi diri dalam upaya menempuh pergualatan panjang menuju ruh absolut. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip triangglenya Spinoza. Diktumnya yang terkenal adalah "the rational is real, the real is rational". Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukkan diri rasio dalam sejarah manusia.
- Kritik Menurut Marxisian (kelompok penganut pemikiran filsuf Karl Marx)
- Menurut Marx konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebagai yang berdialektika adalah kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produk penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat). Kritik dalam pengertian Marxisian berarti usaha untuk mengemansiapsi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oleh hubungan kekuatan dalam masyarakat.
- Kritik Menurut Freudian (kelompok penganut pemikiran filsuf Sigmund Freud)
Madzab frankfrut menerima Sigmund Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk. Kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisisnya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh "kesadaan" atau "keinginan" untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya, kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi teori kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologis dianggap sebagai penghianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.
Berdasarkan empat pengertian kritik diatas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip objektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat; 1) Bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. 2) Berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. 3) Tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang objektif.
Tiga Jenis Paradigma Kritis
Paradigma kritis merupakan sebuah sintesis perkembangan paradigma sosial. Wiliam Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma antara lain:
- Paradigma Keteraturan (order paradigm). Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori sturkturalisme fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh ahistori, konservatif, pro stats quo dan oleh karenanya anti perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan; setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.
- Paradigma Konflik (conflic paradigm). Secara konseptual paradigma konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan tidak selalu gradual, namun juga revolusioner. Dalam jangaka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung pangkal kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inheren dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan, konflik menjadi intrumen perubahan
- Paradigma Plural (plural paradigm). Dari kontras atau perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independen, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.
Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga paradigma diatas merupakan pijakan pihak untuk membangun paradigma baru dari optik pertumbuhan teori sosiologi telah lahir paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independen, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atau dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.
Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
- Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan realitas sosial yang hegemonik, dominatif, dan eksploitatif.
- Analisis ekonomi untuk menemukan variabel ekonomi politik baik pada level nasional maupun internasional
- Analisis kritis yang membongkar the dominant ideology baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola eksklusif antara wacana
- Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat
- Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antara tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
Kritis dan Transformatif
Namun paradigma kritis baru menjawab pertanyaan; seperti apa struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme kerja sistem yang menciptakan relasi tida adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut. Strategi mentransfomasikannya, disinilah (term tranfomatif) melengkapi teori kritis. Dalam perspektif tranformatif dianut epistemologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukkan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah, entah kaum miskin kota, buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak dilakukan bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentrasformasikan gagasan dan gerakan  sampai ada wilayah tindakan praksis ke masyarakat model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
- Transformasi dari elitisme ke populisme. Dalam model transfomasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu karakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horizontal
- Transfomasi dari negara ke masyarakat. Model tranformasi kedua adalah transfomasi dari negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teorinya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F Hegel. Hegel memaknai negara sebagai penjelmaan roh absolut yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Karl Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau negara.
- Transformasi dari struktur ke kultur. Bentuk transfomasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupaya kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling besinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.
- Transformasi dari individu ke massa. Model tranformasi selanjutnya adalah tranformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutuhkan kehadiran mahkluk lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para founding father kita tentang adanya hidup bergotong-royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jauh-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (sang nasionalis kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya kekuatan rakyat dalam menyatakan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun.
Paradigma kritis Transformatif (PKT) yang diterapkan oleh Mahasiswa Islam Indonesia?
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat elemen mahasiswa Islam Indonesia dilematis, karena akan ber-manhaj sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penarapan PKT dalam tubuh elemen mahasiswa Islam Indonesia. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berfikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengendalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya, PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT dikalangan mahasiswa Islam Indonesia. Contoh paling konkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari beberapa intelektual Islam, diantaranya Hasan Hanafi dan Mohamad Arkoun.
Mengapa Mahasiswa Islam Indonesia Memilih Paradigma Kritis Tranformatif?
Beberapa alasan mengapa mahasiswa Islam indonesia harus menggunakan PKT sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisis terhadap realitas sosial. Artinya PKT murni digunakan sebagai sarana dan cara berfikir untuk membentuk transformasi yang bersifat subjektif kepada aspek yang sifatnya objek. Bila muncul polemik bahwa PKT dianggap usang lantaran muncul suatu kesadaran bahwa sudah "tidak ada lagi yang patut dikritisi", entah karena pro terhadap pemerintah atau hal lain. Maka, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Islam Indonesia telah dinyatakan mati akal pikirananya. Mengapa? Membakukan suatu ide ata gagasan murni sebagai "produk pemikiran" bukan sebagai "metode berfikir". Yang artinya patut diduga ada suatu kepentingan atau makna lain yang mungkin tidak merujuk ada makna sesungguhnya dari kebradaan produk pemikiran itu sendiri. Atau yang lazim disebut bertujuan secara hegemonik.
Mahasiswa Islam Indonesia patut menggunakan PKT sebagai metode berfikir, mengingat kebutuhan mahasiswa Islam indonesia untuk mampu berpartisipasi dan berkontribusi secara adaptif dalam linkungan sosial masyarakat yang begitu komplek. Dengan tujuan memberikan sumbangsih pada masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang bersama yang lebih baik, sejahtera dan damai.
Pada hakikatnya dengan analisis PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level definisi kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia (mulai dari: ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, bahkan praktik tradisi keagamaan masyarakat). Alasan-alasan tersebut adalah;
- Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan satu titik yaitu budaya masyarakat kapitalisme dan pola berfikir positivistik modernisme
- Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya pluralitas society)
- Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo)
- Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakkan nilai kemanusiaan
Bagaimana Cara Mengaktualisasikan?
Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan , yakni:
- Mengadakan pembongkaran terhadap ideologi. Dengan memberikan kebebasan dari semua rantai penindasan dalam kehidupan ekonomi maupun keimanannya. Pembongkaran-pembongkaran ini kiranya bisa dilakukan dengan berfikir secara kritis terhadap dogma-dogma. Masyarakat tidak begitu saja menerima ajaran agama yang diimaninya, namun bagaimana masyarakat agama juga berhak melakukan tafsiran-tafsiran atas segala nilai dan pranata agama yang selama ini mereka anut. Proses kritisme dan interpretasi atas ajaran agama bukan berarti memberikan peluang untuk menghancurkan agama itu sendiri, namun justru sebaliknya bagaimana agama ditempatkan pada posisi atas agar tidak digunakan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Proses kritik ini tidak saja dilakukann terhadap dogmatisme agama, namun juga budaya, tatanan masyarakat, dan pemikiran sosial yang ada. Dengan berfikir kritis, maka akan terjadi dialektika dan dinamika dalam kehidupan.
- Menyingkirkan tabir hegemonik. Penyingkiran terhadap tabir hegemonik tidak hanya bermuara pada penguasa saja, namun juga tidak menutup kemungkinan pada kalangan masyarakat Islam moderat (Islam Nusantara) atau kelompok masyarakat yang lain untuk mengalokasikan PKT. Tentunya bagi elemen mahasiswa Islam Indonesia harus benar-benar menyatakan sikap perjuangannya untuk melibatkan (involve) langsung dalam membangun bangsa dan negara dengan tetap memperjuangkan kepentingan rakyat banyak
- Semangat religius Islam. Mahasiswa Islam Indoensia dalam membangun semangat kebangsaan dan pluralisme yang tetap berada dalam frame dan semata religiusitas Islam dengan tidak meninggalkan wialyah sakral beragama, namun juga dapat masuk dalam wilayah profan agama. Sehingga dalam perjalanannya tidak akan terbentur dengan kelompok konservatisme yang di dalamnya.
Dan pada akhirnya PKT bisa digunakan sebagai pola pikir dan cara pandang (manhaj al fikr) yang mampu menerjemahkan dan mentransformasikan dalam kehidupan dan kemaslahatan umat agar tercipta kehidupan yang toleran (tassamuh), keadilan (ta'adul), kesetaraan (tawazun), dan idologis (syuro) diantara sesama manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bakran, Adz-Dzaky, Hamdani, M. 2001. Psikoterapi Dan Konseling Islam. Yogyakarta: FAJAR PUSTAKA BARU.
Khairani, Maksum. 2013. Psikologi Belajar. Yogyakarta: Aswaja Pressindo
Kristeva, Nur, S., S. 2012. Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik. Jogjakarta: Eye On The Revolution.
Magnis-Suseno, Franz. 2002. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: KANISIUS.
Mundiri. 2014. Logika. Jakarta: PT. RajaGRafindo Persada
Ritzer, George. 1975. Sociology: A Multiple Paradigm Science. Jurnal The American Sociologist No. 10, 1975
Sobur, Alex. 2011. Psikologi Umum Dalam Pintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia
Solso, L., Robert. 2008. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H