Prinsip-prinsip demikian inilah yang akan kita gunakan untuk menafsirkan (dengan sangat keras diperkuat dengan keteguhan hati yang gigih) objek-objek gelas, agama, ideologi, gajah, mobil, jarum, tradisi, atau hukum adat. Yang nantinya dimaksudkan agar menemukan titik terang mengenai kebaikan dan kebenaran yang hakiki dari objek-objek yang dikaji.
Mengapa kita perlu hal-hal semacam ini? Sebenarnya tak lebih dari kebutuhan untuk mencari kebenaran. Jika kebenaran memang tidak pernah akan dimiliki oleh manusia atau makhluk ciptaan-Nya karena hanya Allah SWT sumber dari segala sumber, sumber dari segala yang benar, yang baik dan yang indah. Lantas kenapa Allah SWT menyuruh kita untuk berusaha dengan berfikir secara kritis memanfaatkan segala daya akal yang diberi-Nya, untuk menemukan apa yang sebenarnya benar dan apa yang seharusnya menjadi kebenaran, ketika kita berusaha mencarinya diantara manusia atau mahkluk ciptaan-Nya yang sangat rentan mengaburkan kebenaran.
Berfikir Kritis Sebagai Metode
Dalam berfikir juga termuat kegiatan meragukan, memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah, atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, menimbang dan memutuskan (Sobur, 2011). Berfikir menjadi sebuah kepastian yang mutlak bagi manusia untuk tetap sadar jika masih menjadi bagian dari kehidupan ini. Berfikir secara kritis berarti berfikir lebih serius untuk, memaknai, dan menjelaskan sebuah objek yang dikaji. Mari kita pahami secara singkat apa hakikat dari kata "kritis" yang menjadi penjelas dari diksi "berfikir kritis". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); kritis, berarti bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, tajam dalam menganalisis. Jika disandarkan pada kata; berfikir, maka kerja otak yang berorientasi pada menemukan kesalahan dan kelemahan, tidak mudah percaya dengan yang dilihat, berupaya menganalisis secara tajam dan presisi. Kecenderungan berfikir secara kritis juga telah menjadi keharusan dalam tradisi ilmu filsafat. Bukan berarti menampik ilmu pengetahuan lainnya, namun hanya ilmu filsafat yang masih konsisten dengan keberanian mempertanyakan apa yang biasanya tidak ditanyakan. Kecenderungan seperti ini yang kita maksud sebagai keberanian dalam upaya menemukan kebenaran, mencari kebenaran merupakan orientasi dari manusia dalam hidup. Dan ilmu filsafat merupakan salah satu pintu gerbang untuk menemukan kebenaran (disamping sains dan agama sebagai pintu gerbang menuju kebenaran). Dalam dialektikanya menguliti kebenaran merupakan cara yang menjanjikan, sekaligus solutif bagi kalangan cendikiawan masa kini dalam menemukan kebenaran dari hipotesis yang sempat tertutupi selubung subjektifitas yang rentan bertendensi dengan unsur ideologis-hegemonik.
Kebutuhan untuk tetap sadar sebagai manusia dengan berfikir kritis menjadi nampak koheren dengan tradisi keilmuan filsafat sebagaimana yang disampaikan oleh Frans Magnis-Suseno (2002) bahwa filsafat memang harus mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban-jawaban tidak pernah abadi. Â Karena itu filsafat tak pernah selesai dan tak pernah sampai akhir sebuah masalah. Dengan demikian filsafat bisa dikatakan sebagai seni kritik. Filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah memberikan sesuatu sebagai "sudah selesai", tidak pernah memotong perbincangan, selalu bersedia, bahkan senang untuk membuka kembali perdebatan, selalu dan secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis, antitesis dan antitesisnya antitesis.
Dapat kita korelasikan dengan pemahaman psikologi dalam proses kognisi pada tahapan pemrosesan informasi menurut Jerome Bruner ada tiga tahapan yakni 1) Tahap Informasi, tahap untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru. 2) Tahap Transformasi, tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru ke dalam bentuk baru. 3) Evaluasi, untuk mengetahui apa hasil transformasi pada tahap sebelumnya sudah tepat atau belum (Khairani, 2013). Berangkat dari ketiga tahapan tersebut berfikir kritis yang berorientasi menemukan kesalahan dan kelemahan, tidak mudah percaya, berupaya menganalisis secara tajam berada dalam tahapan kedua yakni tahap tranformasi.
Tahapan dalam melakukan proses berfikir kritis, kita akan coba menggunakan metode Rene Descartes karena dia merupakan peletak batu pertama dasar berfikir yang nantinya menjadi pondasi bangunan ilmu pengetahuan positivis yang menuntut kejelasan konfirmasi oleh indera (empiris). Dia juga yang merumuskan pengertian tentang psikologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai gejala-gejala pemikiran atau gejala-gejala kesadaran manusia terlepas dari badannya. Terlepas dari itu, metode berfikir Rene Descartes merupakan sistematika awal dari cara berfikir kritis.
Tahapan metodenya sebagai berikut: (benda atau realitas) (ukuran gerak dan jumlah tidak ada) (ada, karena aku sedang ragu) (aku ragu karena berfikir) (jadi, aku berfikir ada). Penjelasan Rene Descartes aku berfikir pasti ada dan benar. Jika aku berfikir ada, berarti aku ada, karena yang berfikir itu "aku" (Tafsir, 1993). Bagian yang paling penting dalam berfikir kritis pada metode Rene Descartes terletak pada "meragukan apa yang tampak", ini merujuk pada sifat untuk tidak mudah puas atau berhenti dengan apa yang didapat diawal. Manusia sebagai penentu dari "ada" dan "tidaknya" objek atau realitas yang dilihat. Proses meragukan itu yang menjadi titik tolak yang penting untuk mencari kebenaran dari objek yang kita kaji.
Namun proses berfikir kritis dalam upaya mencapai sebuah kepastian soal ada dan benar sepertinya perlu dipahami akan adanya kaidah-kaidah yang harus dipatuhi. Dalam berfikir manusia harus memperhatikan asas pemikiran yang artinya pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Asas pemikiran ini sangat penting karena mutlak dan salah benarnya pemikiran tergantung terlaksana tidaknya asas-asas ini. Asas pemikiran adalah dasar dari pengetahuan (hasil dari aktivitas mengetahui hingga tidak ada keraguan  lagi) dan ilmu (menuntut kejelasan dari apa yang sudah diketahui sedetail mungkin).
Bentuk-bentuk asas pemikiran meliputi: 1) Asas Identitas artinya memiliki penyebutan khas untuk dirinya sendiri. Contoh; Ini bernama bejo dan dia bernama Supri, keduanya memiliki penyebutan tersendiri yang khas dan tak sama.
2) Asas Kontradiksi artinya. Selalu ada pembeda diantara keduanya dan mustahil keduanya disebut dengan identitas yang sama. Contoh; jika seorang mengaku bernama Bejo, maka Bejo bukanlah Supri.