Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Putin Menang Lagi di Pemilihan Presiden Rusia 2024

19 Maret 2024   19:53 Diperbarui: 20 Maret 2024   07:01 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 2024, Vladimir Putin kembali menang dalam pemilihan presiden (pilpres) Rusia, sebuah peristiwa yang menandakan kelanjutan dari salah satu rezim politik paling berpengaruh di abad ke-21 ini.

Dalam pilpres 2024, Putin berhasil meraih kemenangan telak untuk periode kepemimpinannya yang keenam. 

Kemenangan ini membuktikan bahwa institusi politik Rusia masih didominasi oleh otoritarianisme yang kental, meskipun ada upaya-upaya untuk membangun institusi yang lebih demokratis.

Kemenangan ini, meskipun diperkirakan oleh banyak pihak, tetap menarik perhatian para ahli hubungan internasional. 

Institusionalisme 

Melalui lensa institusionalisme, kita dapat memperoleh wawasan signifikan tentang bagaimana struktur internal dan lembaga-lembaga Rusia telah memperkuat Putin tidak hanya di dalam negeri tetapi juga dalam kebijakan luar negerinya. 

Institusionalisme merupakan salah satu pendekatan utama dalam studi Hubungan Internasional.

Menurut Robert O. Keohane (1988), institusi dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan (formal maupun informal) yang memandu perilaku; mereka dapat memberikan wewenang dan memberikan sanksi kepada para aktor. 

Institusi dapat berupa organisasi formal seperti pemerintahan, parlemen, atau militer, ataupun norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur perilaku masyarakat.

Dengan cara berpikir itu, institusionalisme membantu menganalisis bagaimana Putin menggunakan lembaga-lembaga negara (domestik) dan internasional untuk mempertahankan kekuasaannya dan memajukan agenda Rusia di kancah global.

Kemenangan Putin menegaskan bagaimana institusi politik Rusia telah dibangun sedemikian rupa untuk mempertahankan kekuasaan rejim yang berkuasa.

Sebagaimana dikemukakan oleh Kathryn Stoner (2012), rezim Putin telah berhasil membangun dan mempertahankan jaringan konstituen yang loyal melalui kontrol atas sumber daya negara dan tekanan yang selektif.

Jaringan ini meliputi elit politik, militer, bisnis, dan media yang terikat pada kepentingan rezim Putin.

Selain itu, rezim Putin juga telah melemahkan institusi-institusi yang dapat mengancam kekuasaannya, seperti partai oposisi, media independen, dan masyarakat sipil.

"Rezim Putin telah menggunakan taktik seperti pembredelan, penyensoran, dan pembatasan terhadap aktivitas organisasi masyarakat sipil untuk meminimalisir ancaman terhadap kekuasaannya" (Way dan Levitsky, 2010).

Kemenangan Putin juga dipandang sebagai hasil manipulasi lembaga-lembaga untuk keuntungan pribadi dan nasional.

Pertama, kontrol terhadap media berperan penting dalam membentuk narasi yang menguntungkan pemerintah, sebuah strategi yang dikritik tetapi efektif dalam mengamankan dukungan publik.

Pemikiran Hall dan Taylor (1996) menjelaskan bahwa lembaga-lembaga politik dan norma-norma masyarakat memainkan peran penting dalam menentukan hasil politik. 

Kedua, sistem politik Rusia, yang kini cenderung otoriter, memperlihatkan bagaimana lembaga-lembaga dapat dikuasai untuk memperkuat kedudukan seorang pemimpin.

Putin telah berhasil menanamkan loyalisnya di posisi kunci, memastikan sedikit hingga tanpa oposisi terhadap kebijakannya baik di dalam maupun di luar negeri.

Berdasarkan exit poll dari lembaga survei Public Opinion Foundation (FOM), Putin mengantongi 87, 8 persen suara dalam pilpres tahun ini.

Angka tersebut mencetak rekor sebagai hasil tertinggi dalam pilpres Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet.

Begitu juga Pusat Penelitian Opini Publik Rusia (VCIOM) yang melaporkan bahwa Putin memperoleh 87 persen suara setelah pilpres digelar selama tiga hari terakhir.

Namun, banyak pengamat independen meragukan keabsahan hasil pemilihan ini.

Organisasi pemantau pemilu OSCE (Organization for Security and Co-operation in Europe) menyatakan bahwa "pemilihan ini tidak memenuhi standar demokrasi yang disepakati, dengan adanya intimidasi terhadap oposisi, penyensoran media, dan pelanggaran prosedural" (OSCE, 2024).

Kritik dari berbagai pemimpin dunia juga menyoroti soal pilpres yang tidak demokratis, cara-cara curang dan manipulasi, dan kekerasan kepada kelompok-kelompok masyarakat. Tujuan pokoknya hanya satu, yaitu kemenangan Putin.

Lembaga internasional 

Dalam konteks internasional, Putin juga telah menunjukkan kemahirannya dalam menggunakan lembaga-lembaga internasional untuk memajukan kepentingan Rusia.

Menurut Ikenberry (2001), struktur internasional dan lembaga-lembaganya memberi kesempatan bagi negara-negara besar untuk mempengaruhi kebijakan global. 

Selanjutnya, Rusia telah menggunakan forum seperti Dewan Keamanan PBB untuk menantang dominasi Barat serta memperkuat posisi geopolitiknya.

Ini menandai penerapan institusionalisme dalam skala yang lebih luas, di mana negara berupaya memanfaatkan lembaga-lembaga global untuk keuntungannya.

Meskipun demikian, institusionalisme juga mengakui bahwa institusi dapat berubah secara gradual seiring dengan pergeseran kekuatan politik dan ekonomi.

Menurut John Ikenberry (2001), institusi dapat menjadi sumber perubahan ketika aktor-aktor yang berbeda memperjuangkan interpretasi baru dan mengusahakan reformas.

Oleh karena itu, meskipun kemenangan Putin saat ini mengukuhkan status quo otoritarianisme, kita tidak dapat mengabaikan kemungkinan perubahan institusi politik Rusia di masa depan apabila kekuatan-kekuatan pro-demokrasi mampu mengkonsolidasikan diri dan memperjuangkan reformasi institusional yang lebih substantif.

Dari perspektif institusionalisme, kemenangan Putin ini menunjukkan bagaimana institusi politik Rusia telah dibangun sedemikian rupa untuk mempertahankan status quo dan menghalangi perubahan menuju demokrasi yang lebih substantif.

Dengan demikian, kemenangan Putin merefleksikan institusi politik Rusia yang masih didominasi oleh kekuatan otoriter dan belum mampu bertransisi menuju demokrasi yang sebenarnya.

Kebijakan luar negeri 

Dalam konteks Hubungan Internasional, kemenangan Putin ini juga berimplikasi pada kebijakan luar negeri Rusia yang cenderung konfrontatif terhadap Barat dan negara-negara liberal demokratis.

Sebagaimana dijelaskan oleh Robert Jervis (1976), struktur internal suatu negara, termasuk institusinya, memiliki pengaruh signifikan terhadap politik luar negerinya.

Dengan institusi politik yang masih didominasi oleh kekuatan otoriter, Rusia di bawah Putin berpotensi untuk terus mengejar kebijakan luar negeri yang ekspansionis dan mengancam stabilitas kawasan. Putin mengakui kecenderungan itu seperti dikatakannya pada pidato kemenangannya, Senin (18/3/2024).

Putin menyebutkan kemenangannya dalam pilpres menunjukkan bahwa Rusia sudah benar dalam menentang Barat dan mengirimkan pasukan ke Ukraina.

Kemenangan itu seolah menjadi alasan pembenar bagi Putin memprioritaskan penyelesaian tugas-tugas yang terkait dengan apa yang dia sebut sebagai "operasi militer khusus" Rusia di Ukraina dan akan memperkuat militer Rusia.

Meskipun demikian, kita juga harus mempertimbangkan bahwa institusi internasional juga dapat mempengaruhi perilaku negara.

Robert Keohane dan Lisa Martin (1995) menggambarkan bahwa institusi internasional dapat menjadi sumber informasi yang kredibel, mengurangi biaya transaksi, menetapkan agenda, dan memberikan peluang untuk menyelesaikan perselisihan. 

Oleh karena itu, keterlibatan Rusia dalam institusi internasional seperti PBB, G20, dan organisasi regional dapat menjadi sarana untuk memoderasi kebijakan luar negerinya dan mendorong Rusia untuk lebih terlibat dalam kerja sama internasional.

Analisis kemenangan Putin dalam pemilihan presiden Rusia 2024 melalui lensa institusionalisme mengungkapkan dua kenyataan paradoks.

Di satu sisi, menangnya Putin merupakan indikasi kuat dari sustainabilitas kontrol personalnya terhadap lembaga dalam membentuk politik domestik dan luar negeri.

Hingga saat ini, kontrol itu menegaskan bagaimana Putin mengkonsolidasikan kekuasaannya dan memposisikan Rusia sebagai kekuatan global.

Di sisi lain, teori institusionalisme juga menawarkan kemungkinan institusi itu membawa perubahan domestik di Rusia.

Masalahnya adalah kenyataan mengenai keberlanjutan kekuasaan Putin lebih dominan ketimbang peluang-peluang perubahannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun