Menurut John Ikenberry (2001), institusi dapat menjadi sumber perubahan ketika aktor-aktor yang berbeda memperjuangkan interpretasi baru dan mengusahakan reformas.
Oleh karena itu, meskipun kemenangan Putin saat ini mengukuhkan status quo otoritarianisme, kita tidak dapat mengabaikan kemungkinan perubahan institusi politik Rusia di masa depan apabila kekuatan-kekuatan pro-demokrasi mampu mengkonsolidasikan diri dan memperjuangkan reformasi institusional yang lebih substantif.
Dari perspektif institusionalisme, kemenangan Putin ini menunjukkan bagaimana institusi politik Rusia telah dibangun sedemikian rupa untuk mempertahankan status quo dan menghalangi perubahan menuju demokrasi yang lebih substantif.
Dengan demikian, kemenangan Putin merefleksikan institusi politik Rusia yang masih didominasi oleh kekuatan otoriter dan belum mampu bertransisi menuju demokrasi yang sebenarnya.
Dalam konteks Hubungan Internasional, kemenangan Putin ini juga berimplikasi pada kebijakan luar negeri Rusia yang cenderung konfrontatif terhadap Barat dan negara-negara liberal demokratis.
Sebagaimana dijelaskan oleh Robert Jervis (1976), struktur internal suatu negara, termasuk institusinya, memiliki pengaruh signifikan terhadap politik luar negerinya.
Dengan institusi politik yang masih didominasi oleh kekuatan otoriter, Rusia di bawah Putin berpotensi untuk terus mengejar kebijakan luar negeri yang ekspansionis dan mengancam stabilitas kawasan. Putin mengakui kecenderungan itu seperti dikatakannya pada pidato kemenangannya, Senin (18/3/2024).
Putin menyebutkan kemenangannya dalam pilpres menunjukkan bahwa Rusia sudah benar dalam menentang Barat dan mengirimkan pasukan ke Ukraina.
Kemenangan itu seolah menjadi alasan pembenar bagi Putin memprioritaskan penyelesaian tugas-tugas yang terkait dengan apa yang dia sebut sebagai "operasi militer khusus" Rusia di Ukraina dan akan memperkuat militer Rusia.
Meskipun demikian, kita juga harus mempertimbangkan bahwa institusi internasional juga dapat mempengaruhi perilaku negara.