4. Lembaga survey politik
Hingga saat ini, surveyor atau lembaga survei politik semakin mendapat tempat di hati publik, khususnya partai politik dan politisi. Apapun alasannya mereka hanya ingin partai politiknya atau pilihan presidennya menang. At all cost.
Bahkan dengan berbagai macam tipuan dan manipulasi publik, para politisi mempertunjukkan akrobat politiknya mengaku menang. Mereka tidak mengakui lembaga penyelenggara pemilu dan calon lain yang menangkan Pilpres. Akibatnya, mereka ini mengamini lembaga survei politik apapun yang membela kemenangan mereka.
Bayangkan kejadian-kejadian itu bakal terulang lagi di Pilpres 2024. Dengan besarnya kemungkinan pengulangan itu, pemilu dan Pilpres 2024 bakal dibanjiri lembaga-lembaga survey politik jadi-jadian atau abal-abal dan beberan atau independent.Â
Asosiasi Lembaga Survey Indonesia diperkirakan akan berpikir ulang meniadakan lembaga abal-abal itu karena berhadapan langsung dengan partai politik.Â
Bahkan, konon, partai politik mulai mempersiapkan lembaga survei politiknya sendiri. Lembaga ini tentu saja tidak akan independen karena cenderung mendukung apa kata bos politiknyaÂ
Secara umum, keempat pekerjaan itu bisa muncul di tingkat organisasi atau partai politik dan politisi secara personal. Kedua aktor politik bisa secara langsung maupun tidak langsung membuka lowongan pekerjaan itu.Â
Yang paling menarik dari keempat pekerjaan itu tentu saja adalah uang atau cuan. Bagi yang dekat dengan politisi atau calon politisi, cuan bisa sangat besar. Semakin dekat biasanya semakin besar cuan itu.Â
Besar tidaknya cuan juga bergantung pada tinggi atau rendahnya posisi pada pekerjaan. Posisi kepala atau ketua atau koordinator bisa mendapatkan uang lebih besar ketimbang anggota.
Pada partai politik (parpol) besar dan tajir, pekerjaan itu bahkan juga ada di faksi-faksi politiknya. Pengelompokan-pengelompokan di dalam partai politik mau tidak mau membutuhkan keempat pekerjaan itu. Kemungkinan itu bisa terjadi di parpol semacam Partai Golkar.Â
Parpol ini dikenal dengan faksi-faksi politik, misalnya kelompok Jusuf Kalla (JK), Luhut Binsar Panjaitan (LBP), dan Airlangga Hartarto. Faksi lain yang bermuara di Akbar Tanjung dan Agung Laksono tampaknya sudah tidak kuat lagi pada pemilu 2024 nanti.