Seorang buzzer harus memantau pesan-pesan tertentu yang sudah dikoordinasikan untuk dicuitkan setiap waktu di setiap harinya. Jika Ada pesan lawan politik yang menghadang, maka buzzer akan saling menyerang buzzer dari lawan politiknya.
Anda tidak percaya? Coba cek dunia politik Indonesia di Twitter, misalnya. Cek isu konflik Wadas di Kecamatan Bener, Purworejo.Â
Terlepas dari soal salah-benar dan tanpa berpihak, jagat Twitter diramaikan oleh pertarungan antara buzzer pendukung Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) dengan buzzer dari kelompok-kelompok penentangnya.Â
Yang menarik adalah konflik itu menjadi komoditas politik musuh politik Ganjar Pranowo seolah 'bersatu' memanfaatkan isu konflik itu. Padahal mereka berasal dari partai politik dan kandidat-kandidat capres berbeda.
Banyak politisi telah menyewa buzzer, baik dalam kelompok-kelompok kecil yang terkoordinasi dan bisa saja tidak saling kenal di antara mereka.Â
Selain itu, atas nama partai politik maka sekelompok buzzer juga bisa dipekerjakan secara khusus dengan jam kerja sesuai kontrak. Buzzer politik itu pada umumnya memang relawan atau berbayar.Â
Masing-masing bisa terikat pada partai politik dan politisi. Buzzer berbayar itu dikenal dengan istilah buzzeRp atau buzzer rupiah yang awalnya dipandang mendukung pemerintah. Walau dalam perkembangan terkini, hampir semua buzzer politik dapat dikatakan berbayar atau buzzeRp.
2. Kelompok pemenangan atau relawan
Sebelum pemilu, kelompok ini sebenarnya sudah ada. Namanya adalah kelompok demonstrasi atau demonstran sewaan. Anggotanya macam-macam dari yang masih usia sekolah atau kuliah hingga kaum pekerja, dan, tentu saja, pengangguran.Â
Dalam kelompok ini mereka 'bersatu' membela yang bayar. Mereka cenderung tidak (mau) tahu isu Yang sedang mereka perjuangkan atau demokan. Akibatnya, mereka tidak bisa meniawab pertanyaan dari reporter media, khususnya televisi.
Menjelang pemilu, kelompok ini terdiri dari berbagai individu di lapangan dengan loyalitas ke partai politik atau individu tertentu.Â