“Jadi selama ini lu pura-pura? Terpaksa menyukai kopi, gitu?”
Pelan aku menggangguk lagi.
Aku sudah siap. Apapun reaksinya harus kuterima dengan besar hati. Bahkan jika pria itu memutuskan untuk tidak sudi lagi menemuiku, aku ikhlas. Ra opo-opo lah. Hingga kemudian aku mendengar tawa.
“Selain cakep, ternyata tingkah lu lucu juga, ya, Rin. Enggak nyangka gue.”
Tawa Yon belum habis betul saat dia meneguk lagi kopinya. Dia terbatuk-batuk.
“Astaga.” Yon mengatur nafas meski tawa kecil masih bocor dari mulutnya.
“Gue enggak pernah menuntut siapapun untuk menyukai kopi,” lanjutnya. “Sama seperti hati, kopi pun tidak bisa dipaksakan, Rin. Kepura-puraan tidak akan pernah mendatangkan rasa nikmat. Enggak peduli seberapa sering lu mencoba menyesap kopi ini agar lidah jadi terbiasa dengan rasa pahitnya, kalau dari awal sudah terpaksa maka pahit akan tetap pahit.
“Gue akan tetap menjadi gue walaupun di depan mata ada orang yang enggak mampu menyelami kenikmatan kopi. Kita semua punya selera masing-masing. Sekali lagi, gue dan kopi ini enggak akan pernah memaksa.”
Yon mengangkat gelasnya lagi. Kopinya sekejap lenyap.
“Kopi dan perasaan itu sama. Tidak bisa dan tidak boleh dipaksakan.”
Aku terperanjat saat tiba-tiba Yon menaruh satu tangannya di bahuku. Tangannya yang lain dia arahkan ke sebuah gelas berisi kopi yang belum tersentuh. Yon mengubah nasib larutan hitam itu, memasukkannya ke dalam lambung bukan saluran pembuangan.