Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Bukanlah Paksaan

1 Oktober 2016   12:23 Diperbarui: 1 Oktober 2016   12:29 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mulai terbiasa dengan ruangan ini. Luasnya sih tidak seberapa, bahkan kamarku sepertinya lebih lega dari ruangan ini. Tapi itu tidak mengurangi minatku, malah tampaknya ruangan ini memberikan keleluasaan tanpa batas yang saat ini tengah kuperlukan. Di pantry ini aku bisa menyendiri sesuka hati.

Cangkir, gelas, piring, galon air, teh, gula, mie instan, wastafel, sendok, garpu, dan segala rupa yang berbau dapur adalah penghuni pasti tempat ini. Mungkin televisi 14 inch yang hinggap di pojok atas dinding jadi satu-satunya benda non-dapur yang diizinkan  untuk tinggal di pantry ini. Tiga office boy yang bermarkas di tempat ini selalu sibuk ketika jam makan siang hingga pantry pun sering tak berpenghuni pada waktu tersebut. Makanya kubilang di ruangan ini aku bisa menyendiri seenak mauku. Selain itu, ada hal lain yang menambah kesempurnaan pantry ini.

“Lagi sibuk enggak, Mang Kosim?” pria itu menampakkan dirinya lagi hari ini.

“Eh, Mas Yon,” Mang Kosim tersenyum menyambutnya. “Biasa lah, jam makan siang mah udah pasti sibuk. Kopi yang waktu masih ada, loh. Mau saya bikinin?”

“Sip!” Yonandar menepuk bahu OB itu.

“Dua gelas kopi siap meluncur, Mas.”

Yonandar mengancungkan ibu jari, salut dengan respon OB setengah baya itu. Kurasa di dalam otak Mang Kosim sudah tersimpan komando otomatis yang akan menggerakkan tangannya untuk segera meramu dua gelas kopi setiap kali Yonandar bertamu ke pantry di jam makan siang. Rinciannya, satu gelas untuk Yon dan segelas lagi-sayangnya-bukan untuk Mang Kosim. Itu untukku.

Aku mesti agak menunduk saat Yon menaruh sosoknya tepat di seberang penglihatan. Rasa-rasanya dia duduk seperti tanpa jarak padahal Yonandar ada di sisi lain meja bundar ini.

“Seneng deh gue kalau begini,” katanya sambil pamer senyum. “Punya partner ngopi harian kayak lu.”

Aku membalas dengan lidah terjulur.

Kalau tak salah hitung, hari ini sepertinya tepat dua minggu sejak aku dan Yon berbagi ruang di pantry ini sembari menguras waktu makan siang dengan secangkir kopi. Semua bermula saat aku memilih markas para pesuruh kantor ini sebagai tempat mengisolasi diri. Kalut akibat cinta yang tamat menuntun kakiku ke suatu tempat yang bisa memulihkan ruang-ruang hatiku yang berhamburan. Hingga akhirnya tanpa sadar aku terdampar di pantry kantorku. Apapun yang memanduku hingga sampai ke tempat ini tahu betul kemana langkahku harus diarahkan. Di pantry ini aku bisa menyendiri, meresapi ketenangan sembari perlahan mengeluarkan sisa-sisa uap patah hati ke udara bebas. Dan ketika hatiku sudah bersih kembali, rupanya aku tidak bisa begitu saja meninggalkan ruangan pantry ini. Makanya, jadilah pantry ini tempat wajibku untuk menghabiskan santapan siang sambil menikmati tayangan berita. Selain itu, ada satu hal lagi yang makin membuatku sulit mengabaikan ruangan ini. Satu hal itu sekarang sedang menatapku.

“Wah, gue enggak sangka lu suka kopi juga, Rin.”

Dua bungkusan yang isinya Yon akui sebagai kopi Besemah jadi benda yang dia bawa saat pertama kali aku melihatnya menyambangi pantry ini. Kopi Besemah itu adalah oleh-oleh dari saudaranya yang baru pulang bertualang di tanah Sumatera Selatan. Sama seperti hari ini, waktu itu juga Mang Kosim yang meracik kopinya. Aku tak akan lupa wangi dari bubuk robusta asal lereng Gunung Dempo itu. Aromanya sudah menggelitik hidung bahkan sebelum air panas melarutkannya. Yon menawariku kopi tersebut. Maka sejak  hari itu dua gelas kopi Besemah akan selalu tersaji di pantry ini setiap waktu makan siang.

Kembali lagi ke laki-laki di depanku ini. Yonandar namanya. Cukup panggil dia Yon untuk menghemat nafas. Yon adalah teman sekantorku tapi dari divisi berbeda. Setahuku dia sering cari makan di luar saat jam makan siang. Tapi sejak kedatangannya ke pantry ini bersama dengan dua bungkus kopi itu, Yon jadi lebih sering menguras waktu istirahatnya di sini. Bersamaku.

Biar kuungkap sedikit penampakannya. Tubuhnya tinggi, tegap, dan tampak normal. Maksudku normal adalah Yon tidak cungkring seperti korban kurang gizi dan dia juga tidak punya perut membusung seperti bapak-bapak kurang olahraga. Dia ramah. Tidak pelit senyum. Soal wajahnya...., hmmmm, aku harus bilang apa, ya? Kalau sengaja kubandingkan dengan Jack Gylenhaal atau Bradley Cooper, Yon sudah pasti kalah. Aku tidak mengaatakan dia jelek, lho. Yang bisa kuceritakan berdasarkan sudut pandangku sebagai perempuan adalah Yon diberkahi mata cokelat yang menawan, garis dagu yang tegas, dan kulit wajah tanpa rambut. Yon bilang dia segan jika kumis mulai tumbuh di wajahnya. Katanya sih kegantengan dia bakal pudar kalau barisan rambut mulai merambat di antara hidung dan bibirnya itu. Kesimpulannya: Yon  memang tidak sekeren aktor-aktor Hollywood tapi dia juga tidak pantas kumasukkan ke dalam kelompok pria berwajah di bawah garis pas-pasan. Ganteng banget sih tidak, tapi ya lumayan, lah.

Entah harus kusebut sial atau untung, pertemuan perdana kami di pantry ini harus terjadi saat aku mulai terlepas dari sisa belenggu cinta yang lampau. Yon hadir ketika aku mulai mantap untuk mempersilakan siapapun yang mau mengisi kembali ruang di hatiku.

Dan beginilah jadinya. Hampir setiap hari aku bertandang ke pantry. Dari semula yang hanya ingin menemukan ketenangan sekarang berubah menjadi kebutuhan untuk melewati waktu berdua. Dari yang awalnya hanya berniat membuang gelisah sekarang berganti menjadi penantian akan kehadirannya, yang jika tak kesampaian akan membuatku resah.

Ini bisa saja sempurna. Ini bisa saja menjadi titik balik bagiku yang sudah siap membuka hati kembali. Yon bisa saja menjadi yang berikutnya (dan kalau bisa yang terkahir dan selama-lamanya).

“Silakan, Mas Yon, Mbak Ririn,” tangan Mang Kosim yang berurat meletakkan dua gelas kopi di atas meja.

Ya, ini bisa saja sempurna. Semua bakal sempurna kalau kopi itu tidak hadir di depan mataku lagi.

***

Aku tidak tahu mesti kuapakan minuman hitam ini. Masa aku harus lagi-lagi berbuat mubazir? Yon menyuguhkan ini untukku tapi aku tak pernah menghabiskannya. Saat dasar gelas pria itu tinggal bersisa ampas hitam, gelasku selalu masih penuh. Ketika waktu istirahat akan usai dalam 10 menit dan Yon bangkit dari kursinya sambil melebarkan senyum, aku cuma mampu mengangguk sambil berdusta, “Makasih kopinya, Yon. Besok lagi, ya.”. Lalu setelah keadaan aman, aku segera kabur ke toilet dan membuang kopi yang tak habis itu ke dalam liang jamban.

Dan hari ini akan kulakukan lagi.

Seperti biasa, Yon kembali ke pos kerjanya 10 menit sebelum waktu kerja dimulai kembali. Aku menyusul keluar dari pantry dan mengambil rute yang berbeda. Menuju toilet.

Di dalam bilik toilet aku berusaha melenyapkan gemuruh di dalam kepala. Sampai kapan aku harus menuang kopi ini ke saluran pembuangan. Sampai kapan aku harus terpaksa menyukai sesuatu yang pria itu sukai. Kenapa aku masih mempertahankan kepura-puraan ini hanya supaya pria itu mau menghabiskan waktu makan siangnya sambil berbagi celoteh denganku.

***

Ini adalah hari yang lain. Aku sudah berencana utnuk mengubah sedikit alur kegiatan hari ini. Bagian yang akan kuubah itu adalah mengenai jam istirahat makan siang. Bukan soal apa yang akan kumakan, melainkan akan kemana aku siang ini. Yang pasti satu tempat itu tidak boleh kudatangi. Dan pula aku tidak boleh sampai berpapasan dengan orang itu. Pantry dan Yon sudah kumasukkan ke dalam daftar cekal.

Pantry dan Yon tidak berbuat salah. Dua entitas itu sama sekali tidak melakukan sesuatu yang mengancam hidupku. Tidak secara fisik. Aku perlu menghindari keduanya agar hati ini tetap aman, sentosa, dan terkendali. Itulah kenapa siang ini aku menaruh tubuhku di sebuah kedai makanan yang letaknya lumayan jauh dari kantor. Tapi sejauh apapun aku berusaha luput dari bayangan Yon dan kopinya yang selalu kutelantarkan, perasaanku tetap memberontak. Hati ini kerap mengusik dengan membisikkan ajakan agar aku menemui pria itu lagi. Tapi setelah pertemuan terakhir kami di pantry, nyaliku sudah tinggal ampas.

Begini ceritanya. Pertemuan terakhir itu diawali di tempat yang sama dan terjadi di waktu yang sama pula: pantry, jam makan siang. Prolog kisahnya pun masih itu-itu juga: Yon duduk di depanku dan ada dua gelas kopi Besemah di atas meja. Kukira cerita itu akan berkahir seperti yang sudah-sudah: kami berbicara ngalor-ngidul, Yon menghabiskan kopinya, dan aku kabur ke toilet. Tapi kemudian sesuatu yang berbeda terjadi. Aku tidak menyangka akan menemukan sebuah plottwist hari itu.           

“Rin, gue boleh nanya sesuatu, enggak?”

Untuk seorang perempuan yang sudah sangat berharap, pertanyaan Yon itu jelas sangat provokatif. Saat sepasang lajang sudah banyak menghabiskan waktu bersama dan salah satunya mulai mengutarakan pertanyaan semacam itu, tak heran jika yang ditanya hanya bisa membayangkan satu hal: pengungkapan perasaan.

“Nanya apa, Yon?” tanyaku berusaha terlihat polos.

Yon mengatupkan bibirnya. Rautnya ragu. Dia alihkan pandangannya sebentar. Aku semakin berharap.

“Begini, Rin,” matanya kembali padaku. “Selama ini gue perhatiin kopi lu enggak pernah habis, deh.”

Seakan ada petir tiba-tiba lewat di telingaku.

“Dan juga gue denger ini dari Mang Kosim, katanya setiap hampir selesai jam isirahat lu pergi toilet sambil bawa gelas kopi dan gelasnya langsung kosong begitu lu keluar dari toilet.”

Kelopak mataku melebar seketika.

Yon mendekatkan wajahnya. Aku memundurkan badan.

“Gue bukannya mau menuduh, Rin, tapi......., apa selama ini lu selalu buang kopi dari gue?”

Apa yang bisa kukatakan untuk menjawabnya!? Jantungku mendadak gila, mulutku mengeras, dan waktu seakan membeku. Di depan mukaku Yon menunggu. Meski kulihat garis wajahnya tidak menyiratkan kesal atau marah, aku tetap takut.

“Kalau dugaan gue itu memang benar......,” Yon memberi jeda. “Kenapa segitunya, Rin?”

Detik-detik berlalu tanpa kata. Yon menanti jawaban sementara aku masih merespon dengan bungkam. Aku bisa saja berkelit dengan rupa-rupa jawaban tapi saat itu otakku langsung mati kreatifitasnya. Akhirnya aku bangkit dari tempat dudukku. Nafasku tak karuan. Dalam kondisi tertangkap basah seperti itu yang akhirnya bisa kuperbuat adalah buru-buru mempraktekkan jurus langkah seribu.

***

Seingatku tadi malam aku tidak mimpi yang aneh-aneh. Tidak pula kurasakan tanda-tanda janggal dalam perjalanan ke kantor hari ini. Dan tanpa sempat kusadari ruang pantry mengisi pandanganku siang ini.

“Jadi gue bener, kan?” pria yang mengaku tidak suka kumis tumbuh di wajahnya itu tersenyum. “Lu selalu buang kopinya.”

Aku mengarahkan kepala ke sembarang arah, menghindar supaya pandangan kami tidak saling terkait. Sementara itu di atas meja, kepulan asap tipis naik dari sepasang gelas berisi seduhan robusta lereng Gunung Dempo.

Yon menyesap kopinya. Dia lanjut berbicara

“Sebelumnya gue minta maaf karena udah mencegat lu dan langsung menggiring lu kemari. Tapi, Ririn....., gue perlu mendengar kejujuran sekarang juga.”

Aku ingin kabur lagi seperti waktu itu. Sayang tubuhku terlanjur melekat di kursi pantry ini seolah sudah ada yang melumurinya dengan lem super. Rasa tidak nyaman menyerangku dari segala arah. Aku menyerah, terpaksa.

Perlahan aku membuka suara. Kepalaku tunduk saat  menit-menit di jam makan siang ini kuisi dengan pengakuan dosa. Aku katakan semuanya.

“Kenapa dibuang, Rin? Lu enggak suka?”

Aku mengangguk pelan.

“Kalau enggak suka kenapa enggak bilang.? Kan mubazir jadinya.”

Kepalaku semakin tenggelam.

Bercampur malu aku ungkap seluruh kisah. Kukatakan bahwa selama ini aku selalu menerima tawaran kopi Sumatra Selatan itu agar aku bisa mengisi waktu makan siang berdua dengannya. Aku berpura-pura mengaku sebagai penikmat kopi supaya timbul kesan jika aku dan Yon sudah diciptakan untuk dipersatukan. Dengan memiliki ketertarikan yang sama terhadap kopi, maka nilai tawarku akan semakin memikat di dalam pemikiran pria itu, begitu pikirku.

“Jadi selama ini lu pura-pura? Terpaksa menyukai kopi, gitu?”

Pelan aku menggangguk lagi.

Aku sudah siap. Apapun reaksinya harus kuterima dengan besar hati. Bahkan jika pria itu memutuskan untuk tidak sudi lagi menemuiku, aku ikhlas. Ra opo-opo lah. Hingga kemudian aku mendengar tawa.

“Selain cakep, ternyata tingkah lu lucu juga, ya, Rin. Enggak nyangka gue.”

Tawa Yon belum habis betul saat dia meneguk lagi kopinya. Dia terbatuk-batuk.

“Astaga.” Yon mengatur nafas meski tawa kecil masih bocor dari mulutnya.

“Gue enggak pernah menuntut siapapun untuk menyukai kopi,” lanjutnya. “Sama seperti hati, kopi pun tidak bisa dipaksakan, Rin. Kepura-puraan tidak akan pernah mendatangkan rasa nikmat. Enggak peduli seberapa sering lu mencoba menyesap kopi ini agar lidah jadi terbiasa dengan rasa pahitnya, kalau dari awal sudah terpaksa maka pahit akan tetap pahit.

“Gue akan tetap menjadi gue walaupun di depan mata ada orang yang enggak mampu menyelami kenikmatan kopi. Kita semua punya selera masing-masing. Sekali lagi, gue dan kopi ini enggak akan pernah memaksa.”

Yon mengangkat gelasnya lagi. Kopinya sekejap lenyap.

“Kopi dan perasaan itu sama. Tidak bisa dan tidak boleh dipaksakan.”

Aku terperanjat saat tiba-tiba Yon menaruh satu tangannya di bahuku. Tangannya yang lain dia arahkan ke sebuah gelas berisi kopi yang belum tersentuh. Yon mengubah nasib larutan hitam itu, memasukkannya ke dalam lambung bukan saluran pembuangan.

“Nah, barusan semua keterpaksaan lu udah gue telan habis.” Yon berucap dengan bibirnya yang masih tampak basah gara-gara kopi tadi.

Tangannya bergerak. Lembut dia taruh di kedua sisi bahuku.

Yon berkata, “Jadi, apa kita bisa memulai kembali?”

Buru-buru aku beranjak. Toilet tujuanku. Namun kali ini tidak ada segelas kopi yang kubawa ke sana. Aku hanya butuh cermin di toilet untuk memastikan wajahku tidak berubah merah. Harus kuyakinkan pula bahwa senyum yang terkembang tiba-tiba ini bukan hasil dari keterpaksaan.

Kurasa memang bukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun