“Jadi gue bener, kan?” pria yang mengaku tidak suka kumis tumbuh di wajahnya itu tersenyum. “Lu selalu buang kopinya.”
Aku mengarahkan kepala ke sembarang arah, menghindar supaya pandangan kami tidak saling terkait. Sementara itu di atas meja, kepulan asap tipis naik dari sepasang gelas berisi seduhan robusta lereng Gunung Dempo.
Yon menyesap kopinya. Dia lanjut berbicara
“Sebelumnya gue minta maaf karena udah mencegat lu dan langsung menggiring lu kemari. Tapi, Ririn....., gue perlu mendengar kejujuran sekarang juga.”
Aku ingin kabur lagi seperti waktu itu. Sayang tubuhku terlanjur melekat di kursi pantry ini seolah sudah ada yang melumurinya dengan lem super. Rasa tidak nyaman menyerangku dari segala arah. Aku menyerah, terpaksa.
Perlahan aku membuka suara. Kepalaku tunduk saat menit-menit di jam makan siang ini kuisi dengan pengakuan dosa. Aku katakan semuanya.
“Kenapa dibuang, Rin? Lu enggak suka?”
Aku mengangguk pelan.
“Kalau enggak suka kenapa enggak bilang.? Kan mubazir jadinya.”
Kepalaku semakin tenggelam.
Bercampur malu aku ungkap seluruh kisah. Kukatakan bahwa selama ini aku selalu menerima tawaran kopi Sumatra Selatan itu agar aku bisa mengisi waktu makan siang berdua dengannya. Aku berpura-pura mengaku sebagai penikmat kopi supaya timbul kesan jika aku dan Yon sudah diciptakan untuk dipersatukan. Dengan memiliki ketertarikan yang sama terhadap kopi, maka nilai tawarku akan semakin memikat di dalam pemikiran pria itu, begitu pikirku.