Mohon tunggu...
Lubna Laila
Lubna Laila Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi KPI UIN Saizu Purwokerto 2020

Demisioner Jurnalis LPM Saka, Kader PMII Rayon Dakwah komisariat Walisongo Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Tuna Asmara

4 Desember 2022   02:43 Diperbarui: 4 Desember 2022   02:53 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gembok pintu cuma punya satu kunci, dua tahun lalu masih bisa di buka.

Sampai akhirnya seseorang membuang kunci tersebut ke tengah rawa, tanpa pernah ada duplikat yang mampu menyamainya. Hari ini gemboknya penuh karat, dan pintu masih tertutup rapat

Tapi ini bukan soal pintu.

Tidak sekali dua-kali senior pergerakan mengajak mengopi. Konsep mengopi bagi kami bukanlah berkencan, melainkan diskusi keilmuan, bercerita mengenai mitologi yunani, bedah film Thomas Shalby, memperbincangkan isu kampus terkini, sampai hal serandom topik open mic stand up komedi.

Tergabung dalam organisasi pergerakan tidak selamanya hanya menggeluti perkara sosial politik. Meskipun pada kenyataannya banyak kader pergerakan yang hari ini menjadi pejabat kampus sehingga menggiring opini ke publik bahwa mahasiswa jenis kami adalah cikal bakal oligarki.

Aku sama sekali tidak membenarkan atau menyalahkan. Biarlah perkara itu kembali kepada penilaian subjektif masing-masing civitas akademika. Demi melestarikan ketajaman nalar mereka.

Bicara soal kencan, sebetulnya tidak sedikit pula sahabat-sahabatiku yang terlibat dalam sekte romantisme pergerakan. Sekte ini tidak perlu dimaknai secara fundamental kesakralan, sebab istilah ini tercipta oleh sahabat-sahabati picisan yang mendeklarasikan dirinya ala-ala anak indie yang hobinya mendaki, mengopi, dan membuat puisi.

Salah satu pelakunya adalah Arjuna dan Vanya, Aku mengatakan satu karena mereka telah menyatu dalam satu perasaan yang senada. Yakni sebuah manivestasi dari asmaraloka.

Arjuna adalah sahabatku semenjak maba. Kami dipertemukan dalam forum Mapaba Rayon Dakwah Komisariat Walisongo Purwokerto. Pada saat itu, pandemi sedang ganas-ganasnya, awal mula kami saling terhubung adalah karena isu perempuan bercadar yang memelihara anjing.

Secara tidak sengaja topik itu menjadi awal mula diskusi-diskusi panjang setiap malam. Juna mengaku nyaman dengan pola pikirku yang cenderung sarkatis namun tepat dalam mengiris angel teori setiap perkara realitas.

Aku juga suka cara bicaranya yang terstruktur sehingga mudah untuk dicerna dalam logika, ia mampu menyederhanakan persoalan rumit menjadi hal yang ringan sehingga solusi semakin mudah untuk kelihatan.

Kita telah sepakat untuk menjadi sayap satu sama lain, kita akan terbang menggapai produktivitas tanpa batas, saling mengisi setiap kepakan menuju angkasa meskipun angin-badai selalu berupaya menumbangkan.

***

''Dian, kepribadian kita tuh bertolak belakang banget. Kamu melankolis sempurna, dan Aku senguinis populer,'' celetuk Arjuna suatu ketika.

Kami sedang ngopi di kitra-kitri, mengerjakan artikel ilmiyah untuk persyaratan diklat. Aku tak menanggapinya sama sekali, fokus mengetik, tidak tertarik dengan topik.

''Kamu introvert parah, aku ekstrovert bukan main. Beda banget yah, '' tambahnya lagi.

Malam semakin larut, energiku telah terkuras habis oleh society. Sehingga hanya mangut-mangut menanggapi. Arjuna melirik sekilas, menghela nafas.

''Ohiya, gimana udah nemu bukunya Kalis Mardiasih?'' Arjuna banting setir topik, masih berupaya untuk mengobrol panjang.

Aku menggeleng kecewa ''Di gramedia lagi kosong, ada chanel toko buku lain gak, Jun?''

Arjuna terlihat berpikir sejenak, mengelus dagu dengan jempol dan telunjuk seolah mendalami meneropong wilayah.

''Ada sih, tapi agak jauh. Toko buku bekas tapi, mau ke sana?''

''Boleh, kapan?''

''Lusa gimana? Besok mau ngedate sama Vanya.''

Aku berdecak, mengernyitkan alis. Melirik sekilas ke arahnya, ia memasang kondisi muka polos tak berdosa.

''Aku perempuan independen, kasih tau aja lokasinya ga perlu di temenin,'' ujarku.

Arjuna menggeleng, melambai-lambaikan tangan tanda tidak sepakat.

''Engga boleh, kamu kan gak bisa baca map!'' hardiknya.

Aku menutup telinga tak acuh, apa-apaan Arjuna. Aku kan perempuan merdeka, mana mau didoktrin sedemikian rupa.

''Lagian, kalo kamu diculik gimana?''

''Astagaa, Aku bukan balita kali,'' jawabku sekenanya.

''Cari pacar gih, biar ada yang jagain.''

Lengang sejenak, ini adalah topik paling sensitif sepanjang kami berdiskusi. Bukan sekali-dua kali kami membahasnya, endingnya kami selalu bertengkar tanpa ada kesepakatan apapun.

Aku tak berminat memperpanjang lebih lanjut, hatiku nyeri berdenyut, sebuah trauma kembali menghantamku. Pilu sekali di hati kecilku.

***

Masih sangat pagi untuk sekedar membangunkan diri dari posisi rebah menghanyutkan ini, bagiku alam mimpi lebih indah daripada realitas. Hari ini aku ingin tidur seharian tanpa mengecek ponsel, puasa dari segala social media, bilamana ternyata kejenuhan benar-benar menikam badan, Aku akan bangun untuk membaca novel petualangan. Aku tidak ingin melihat sesuatu yang membakar hati, memilih untuk tidak mengetahui apapun.  Termasuk kebucinan siapapun.

Dua jam tiga puluh dua menit berlalu, ragaku pegal. Sepertinya sudah saatnya untuk bangkit dari ranjang, meskipun rasanya malas sekali untuk mandi hingga mood kembali riang.

Hatiku masih sepilu semalam, kejadian traumatis berkelebatan sangat runyam. Aku terdiam, namun isi kepala semrawutan.

Masih jelas dalam ingatan, moment dua belas tahun lalu. Masa di mana cinta pertamaku, memberikan kekecewaan terbesar yang tak pernah termaafkan.

Dulu, ia adalah hero paling mengagumkan yang kuceritakan pada orang-orang. Aku tulus mencintainya, cinta pertama anak perempuan.

Ia yang pernah kusebut sebagai Ayah. Namun bedebah itu sepertinya sudah tak lagi pantas menyandang gelar demikian.

Ia telah membual banyak hal, bahwa orang baik akan selalu dikelilingi hal yang baik-baik. Bahwa, cinta adalah sumber damai populasi manusia, bahwa keluarga adalah permata paling berharga yang tak tergadaikan apapun. 

''Nak, kelak ketika kamu tumbuh menjadi perempuan jelita yang memikat pria. Jangan pernah mengindahkan hubungan dengan pria yang tidak bisa di pegang kata-katanya,'' pesan bedebah itu.

Aku tidak mungkin pernah bisa lupa atas segala detilitas kata-katanya, berikut segala tabiat-tabiatnya yang ternyata mengkhianati setiap redaksi yang sering ia kampanyekan di setiap menjelang aku terlelap.

Masih teringat.

Senja itu, di pasar manis Banjarnegara.

Dengan mataku yang belum cukup dewasa, bedebah itu bercumbu dengan perempuan berpakaian terbuka. Aku mengamini pesan yang pernah disampaikan, maka aku memutuskan untuk tak lagi mengindahkan hubungan darahku dengannya. 

Detik itu juga, dongeng-dongeng soal pangeran berkuda putih telah kehilangan makna. Aku menjadi membenci alur Cinderella dan Aurora. Aku lebih percaya pada kisah Zeus dan Hera.

Lihatlah, gadis kecil kepang dua yang di dewasakan oleh kebrengsekan realita telah dipecundangi sejak dini. Dan moment itu menjadi awal mula pertengkaran hebat dalam rumahku. Semenjak saat itu, Aku tidak punya definisi pulang selamanya, sekaligus kehilangan daya percaya pada siapa saja. Terutama  kepada pria. 

***

Senja berjuta warna bergelanyutan di angkasa Purwokerto Utara, Aku dan Arjuna berboncangan menuju toko buku bekas guna berburu bukunya Kalis Mardiasih. Agak lain memang, sebelum on the way Vanya berkunjung ke kosanku. Ia tau, kemarin pacarnya tengah lembur semalaman bersamaku. Ia tidak marah sama sekali, barangkali karena Aku bukanlah tipikal perempuan yang mudah saja menyatakan jatuh cinta, sehingga tak dianggap sebagai zona bahaya.

Vanya menawarkan diri menemaniku untuk pergi ke Psikiater. Katanya demi kesembuhan Inner Childku yang terluka, aku menolak tawarannya. Sebab, menurutku Aku belum cukup gila untuk pergi ke sana.

Ia menyerah merayu, sampai pada akhirnya Arjuna datang menjemputku. Aku sungkan untuk pergi ke toko buku. Bagaimana tidak? Seorang pria terang-terangan di depan pacarnya menjemput perempuan lain dengan alasan takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Sekalipun Aku sering mendeklarasikan diri pada mereka bahwa Aku adalah perempuan tuna asmara, tetapi bukan berarti Aku tidak paham mengenai teori asmaraloka. Betapa Aku khatam konsep cinta dalam sudut pandang penyair ternama, mana mungkin Aku tak mengerti bahwa kecemburuan perempuan itu pasti terjadi.

Demi tidak larut dalam perdebatan, Aku memilih meng-iya-kan.

''Dian, kamu tau konsep sandal?'' Arjuna memecah keoverthingkinganku di perjalanan dengan pertanyaan.

Ia melanjutkan ''Sandal itu bentuknya kanan-kiri. Ia diletakan di tempat yang berbeda, namun ia saling mengisi di setiap langkah, sehingga bisa serasi dalam ketidak-serasian.''

Aku mengangguk, meskipun Arjuna tidak mungkin bisa melihatnya.

''Selayaknya senguinis populer dan melankonis sempurna dong yah?'' tanyaku spontanitas.

Itu adalah kepribadian kami berdua, dan pertanyaanku sesungguhnya memiliki makna tersirat yang kukira Arjuna tidak terlalu bodoh untuk menganalisis ke arah mana topik itu di titik beratkan.

''Vanya juga melankolis sempurna, Ann.''

Dan obrolan itu, telah paripurna menguatkan tekadku untuk menjadi perempuan tuna asmara seutuhnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun