Dua jam tiga puluh dua menit berlalu, ragaku pegal. Sepertinya sudah saatnya untuk bangkit dari ranjang, meskipun rasanya malas sekali untuk mandi hingga mood kembali riang.
Hatiku masih sepilu semalam, kejadian traumatis berkelebatan sangat runyam. Aku terdiam, namun isi kepala semrawutan.
Masih jelas dalam ingatan, moment dua belas tahun lalu. Masa di mana cinta pertamaku, memberikan kekecewaan terbesar yang tak pernah termaafkan.
Dulu, ia adalah hero paling mengagumkan yang kuceritakan pada orang-orang. Aku tulus mencintainya, cinta pertama anak perempuan.
Ia yang pernah kusebut sebagai Ayah. Namun bedebah itu sepertinya sudah tak lagi pantas menyandang gelar demikian.
Ia telah membual banyak hal, bahwa orang baik akan selalu dikelilingi hal yang baik-baik. Bahwa, cinta adalah sumber damai populasi manusia, bahwa keluarga adalah permata paling berharga yang tak tergadaikan apapun.Â
''Nak, kelak ketika kamu tumbuh menjadi perempuan jelita yang memikat pria. Jangan pernah mengindahkan hubungan dengan pria yang tidak bisa di pegang kata-katanya,'' pesan bedebah itu.
Aku tidak mungkin pernah bisa lupa atas segala detilitas kata-katanya, berikut segala tabiat-tabiatnya yang ternyata mengkhianati setiap redaksi yang sering ia kampanyekan di setiap menjelang aku terlelap.
Masih teringat.
Senja itu, di pasar manis Banjarnegara.
Dengan mataku yang belum cukup dewasa, bedebah itu bercumbu dengan perempuan berpakaian terbuka. Aku mengamini pesan yang pernah disampaikan, maka aku memutuskan untuk tak lagi mengindahkan hubungan darahku dengannya.Â