Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr.
Loganue Saputra Jr. Mohon Tunggu... Farmasis -

Hobi baca, nonton, video game, dan sering kali sedikit narsis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kucing Hitam

10 Agustus 2015   11:35 Diperbarui: 10 Agustus 2015   11:35 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

4 November 1908, Wina, Austria

Aku hanya duduk diantara cat minyak yang belepotan di karpet coklat, memandangi lukisan Tuanku yang terakhir. Lukisan itu judulnya Nude Sel-Portrait with Palette. Lukisan lelaki telanjang yang sedang merana. Aku melengak memperhatikan lukisan tadi lalu kearah tuanku yang membisu di depan cermin. Setetes, dua tetes dan beberapa tetes meresap ke dalam karpet, tetesan cairan merah segar yang berasal dari bekas tusukan pisa di dadanya.

Aku mengeong kearah tuanku,  memanggilnya agar menyadari keberadaanku. Tapi tuanku sudah tidak bergerak lagi, bahkan kedua kakinya sudah tidak menapak lantai. Seperti terbang namun tak bersayap. Aku mengeong lagi dan dia masih saja membisu. Dia benar-benar sudah mati. Pendapatku pada diri sendiri. Lalu aku menatap kearah cermin, melihat begitu hitamnya diriku ini, seperti pembawa kesuraman.

Ini adalah kematian yang kesekian kalinya, seperti sebuah pertanda bahwa ini adalah awal baru bagiku untuk menemukan orang lain yang mau menjadi tuanku. Dan itu perlu waktu puluhan tahun nyawaku bisa saja habis karena terus berkurang. Hidup tak bertuan itu bagaikan berada di ujung jurang tanpa ada akar pohon yang bisa aku pegangi, aku memerlukan pegangan oleh sebab itu aku terus mencari.

11 Januari 1968, Budapest

Ini sudah puluhan tahun setelah  kejadian di Wina. Hari ini hari minggu, sebuah hari yang lebih baik digunakan untuk berlibur dan bersenang-senang melepas penat, namun pada hari ini aku hanya duduk di depan jendela di salah satu apartemen, memandang kesekitar pada kesibukan sekitar yang tidak pernah surut. Sebelumnya aku duduk di atas sofa memperhatikan tuanku yang terlihat gelisah, aku mengerti kegelisahannya itu, itu pasti karena puisi yang ditulis oleh Laszlo Javor. Puisi yang dibuat menjadi lagu sendu nan suram, lagu yang menjadi pertanda kematian kekasih yang dicintainya.

Aku maju sedikit di depan jendela, mendongok ke bawah. Dari ketinggian bisa kulihat tuanku tengkurap di jalan dengan kepala berdarah, aku mengeong berkali-kali memanggilnya namun dia sama seperti tuanku yang dulu, membisu dan tidak menjawab.

Aku meloncat ke atas piano, lalu berjalan di antara tuls-tuls piano, nada acak muncul seperti ucapan selamat tinggal dariku. Kesedihan lagi-lagi membenam dalam dadaku, seperti luka yang tidak pernah kering, terus membaru.

Dan untuk yang kesekian kalinya aku harus mencari tuan baruku.

Masa Kini, Kakunodate, Tokyo

Aku berhitung di pinggir jalan yang sunyi malam itu, hanya suara air sungai hinokinai yang terdengar di telingaku. Sudah sangat lama aku hidup dan sudah banyak juga aku melihat kematian. Aku menghitung nyawaku, mengingat-ngingat kapan saja nyawaku berkurang. Setiap kucing sepertiku memiliki tujuh nyawa, namun tidak semua yang sepertiku memiliki umur yang panjang. Memiliki tujuh nyawa tidak membuat hidup jadi abadi, bahkan terkadang karena merasa memiliki tujuh nyawa, akhirnya nyawa itu jadi di sia-siakan begitu saja, sampai suatu ketika bagi yang tidak menghitungnya dengan benar akan dikejutkan oleh Maut

Maut merupakan sosok yang selalu dekat dengan kehidupan, agar tidak cepat di jemput Maut maka aku  berteman dengan Maut. Aku mengenal Maut pada tahun 1975 di sebuah kapal pengangkut bijih besi bernama Edmund Fitzgerald, aku adalah salah satu penumpang gelap di kapal itu, walau pun sebenarnya tidak ada yang memperdulikan keberadaanku disana. Pada tanggal 10 november 1975 di Great Lakes, ke-29 awak kapal  dan juga aku terjebak dalam situasi mengerikan.

Edmund Fitzgerald terombang ambing tak tentu arah, para awak kapal berusaha untuk mengendalikan kapal tapi gelombang terlalu kuat. Aku berlari ke puncak kapal di bagian haluan, bertahan pada tiang bendera dan antena yang bergoyang diterpa angin. Aku tahu bisa saja petir menyambarku di sana, namun aku lebih memilih tersambar petir daripada tenggelam di telan badai.

Saat itulah aku melihat Maut, dia datang dari langit yang tertutup awan gelap, dia hitam seperti diriku, bahkan lebih hitam mungkin, tapi aku bisa melihatnya, apalagi ketika kilatan petir menyambar beberapa kali. Orang-orang berteriak saat Maut menjemput mereka satu per satu, menarik mereka dengan sebuah kecupan singkat yang dingin. Dan terakhir setelah ke-29 awak tadi sudah dijemput oleh Maut, aku tersisa sendirian.

Kapal tak lama lagi akan tenggelam, aku sangat ketakutan, seluruh tubuhku mengigil, rasa ngeri dan dingin bercampur menusuk tulang tubuhku, apalagi ketika Maut mendekatiku dan menatapku dengan sangat tajam.

“Apa aku akan mati disini?,” tanyaku pada Maut dengan berteriak.

Maut berdiri di depan wajahku sangat dekat, mungkin kira-kira dalam jarak sejengkal orang dewasa. Aku bisa merasakan kedinginan dari mulutnya, serta suara yang keluar seperti bisikan lewat batinku. “Kau tidak akan mati disini,” ucapnya.

Gelombang setinggi 30 kaki menghempas kapal dengan keras, menghantamku hingga terlempar ke dalam air, aku timbul tenggelam, napasku menyesak karena tersedak air, aku mencari pegangan agar bisa mempertahankan diriku, hingga akhirnya aku menemukan kasur yang mengapung bagaikan pramadani. Aku naik ke atas kasur tadi dan menatap Edmund Fitzgerald tenggelam. Ketika aku berpaling ke samping Maut sudah berada di sampingku, entah sejak kapan dia disana.

“Apa kau takut Kuro?,” tanya Maut padaku.

Dengan bibir bergetar aku menjawab.”Aku sangat takut.”

“Aku juga,” ucap Maut membuat aku tak percaya.

Mana mungkin Maut takut hanya dengan hal seperti itu karena dia sendiri jauh lebih mengerikan dari badai sekali pun.

Maut bisa membaca pikiranku dan dia pun berkata lagi. “Kau boleh tak percaya. Bahkan aku takut ketika harus menjemput orang-orang dari dunia ini.”

“Mengapa kau takut?,” tanyaku penasaran.

“Karena mereka tidak punya pilihan dan sebuah kesempatan lagi seperti dirimu untuk memperbaiki segala hidup mereka. Namun  meski pun demikian aku sangat membenci orang-orang yang menentang takdir dan memilih merenggut nyawa mereka sendiri.”

“Aku sering melihat orang-orang yang menentang takdir, hampir semua tuanku melakukan itu, tapi saat mereka melakukannya aku tidak pernah melihat kau datang?.”

Maut seperti tertawa, tapi aku tak yakin bahwa dia bisa tertawa. “Untuk apa aku hadir, jika tugasku mereka lakukan sendiri. Orang-orang itu tidak mengerti bahwa menentang takdir akan jauh lebih menyakitkan daripada ketika aku menjemput mereka, aku lebih lembut menarik ruh mereka walau kadang mereka tetap berteriak mengeluhkan rasa sakitnya, namun setelah itu mereka akan merasa lega yang luar biasa. Berbeda dengan orang yang menentang takdir, mereka memang tidak berteriak penuh rintih, tapi setelah itu mereka akan merasakan sakit yang berkepanjangan, mungkin sakit itu hingga dunia berakhir.”

Aku benar-benar ngeri membayangkannya, rasa sakit yang tidak bisa dihindari hingga dunia berakhir. Dan celakanya dunia masih jauh dari berakhir. Edmund Fitzgerald sudah tidak terlihat lagi, walau air masih menari mengombang-ambing. Perlahan semuanya menjadi tenang hingga badai akhirnya berlalu.

“Maut maukah kau menjadi Tuanku?.” Tanyaku dengan suara pelan, aku takut dia marah.

Tapi Maut sudah menghilang dia sudah tidak ada lagi di sebelahku. Aku ditinggalnya sendiri.

Tapi jika kupikir maut tidak akan mau menjadi tuanku, lagi pula aku akan sangat menyusahkannya dalam melakukan tugasnya. Aku menengadah ke langit mencari Maut yang kurasa sudah kembali ke langit, tapi langit tak bisa di tembus oleh mata, walau kadang terlihat indah apalagi ketika senja penuh rona, langit itu seperti kotak besar yang tidak terhingga besarnya, tempat menyimpan banyak misteri dan juga rahasia.

Aku seperti tersedak ketika menyadari bahwa nyawaku hanya tersisa dua saja, aku duduk di samping trotoar, menatap gedung pencakar langit yang gemerlap di malam hari. Tak biasanya jalan di Kakunodate sesunyi ini, bahkan manusia pun jarang terlihat melintas. Ini semua seperti sebuah pertanda yang aneh.

Karena jalan benar-benar sunyi, aku pun menyebrang tanpa memastikan apa ada mobil yang akan melintas. Lalu dari kejauhan cahaya lampu sorot mobil menangkapku bagaikan seorang aktor di atas sebuah teater pertunjukan, disinari dan terdiam karena tercengang. Tak ada suara klapson yang memperingatiku, mungkin pengemudi mobil itu tidak menyadari bahwa aku berada di tengah jalan dan ketika sudah sangat dekat barulah dia melihat aku. Kedua kaki kulipat dengan sangat dalam, menciptakan gaya pegas yang begitu kuat untuk bisa mendorong tubuhku terhindar dari tabrakan mobil tadi.

Pengemudi membanting stir mobil, mencoba menghindariku, mobilnya membelok ke samping dan menabrak lampu jalan yang langsung bengkok, lampu jalan itu jadi berkedip konsleting dan beberap kali kembang api muncurat dari bola lampu yang terlindungi oleh plastik transparan.

Sedikit pun tubuhku tidak tergores, aku berdiri sambil menoleh kearah mobil yang mulai berasap. Cat mobil yang berwarna merah hati sedikit terkelupas karena benturan keras bagian samping mobil dengan tiang listrik. Bekas ban akibat rem yang tiba-tiba, menciptakan bentuk garis melengkung hingga berakhir di bagian belakang mobil tadi.

Aku berlai mendekati mobil, meloncat lewat kaca depan yang pecah. Seorang perempuan tunduk di depan stir mobil, sabuk pengaman cukup berhasil menahan tubuhnya untuk terpental, namun karena benturan yang cukup keras, tetap saja perempuan sekaligus pengemudi mobil tadi tak lagi bergerak.

“Apa dia mati?,” tanyaku pada diriku sendiri, lalu aku meloncat ke sampingnya dan mengintip dari celah sempit tangannya yang masih memegang stir mobil. Aku bisa merasakan hembusan napasnya, tapi hembusan itu tidak terlalu kuat, malah lemah dari apa yang pernah dijumpaiku selama ini.

Aku melengak ke langit menunggu Maut datang untuk menjemput pengendara mobil tadi, namun cukup lama aku menunggu maut tidak juga kunjung datang. Seorang pengendara mobil yang ingin melintas menyadari kecelakaan itu menepi dan langsung menghubuni polisi. Tak lama kemudian polisi dan ambulance datang. Pengendara perempuan itu masih belum sadarkan diri, saat para petugas medis mengangkatnya ke dalam mobil ambulance aku ikut masuk kesana, bersembunyi di bawah bangku petugas.

Sesampai di rumah sakit perempuan tadi dibawa ke ruang oprasi, aku tak tahu apa yang terjadi di ruang itu karena aku tak bisa masuk ke sana, aku bersembunyi di balik tempat sampah, menunggu apa yang terjadi. Sebenarnya aku menunggu Maut datang, tapi hingga oprasi selesai dan perempuan tadi di pindahkan ke ruangan lain Maut tidak juga muncul.

Dua hari berlalu perempuan tadi belum juga sadarkan diri, dan aku kasihan padanya ketika tak satu orang pun datang menjenguknya. Saat polisi berbincang dengan salah satu petugas medis aku mendengarkan dengan seksama. Tidak ada yang tahu siapa dia, identitasnya juga tidak ada dan mobil yang digunakannya adalah mobil curian.

Tengah malam suasana benar-benar sunyi, suara mesin elektrokardiogram menghitung detak jantung perempuan tadi, menenggelamkan suara jam dinding yang terpajang di samping jendela. Aku meringkuk di bawah tempat tidur mencoba untuk memejamkan mata, sempat beberapa kali aku tertidur namun terjaga kembali.

Aku keluar dari bawah tempat tidur meloncat ke bangku samping tempat tidur, awalnya aku hanya ingin memastikan bahwa perempuan tadi baik-baik saja, namun aku sedikit terkejut karena melihat maut sudah berdiri di seberangku memandang perempuan tadi dengan wajah yang murung.

“Apa kau akan menjemputnya?.” Tanyaku dengan suara pelan.

Maut menoleh kearahku lalu menggelengkan kepalanya.

“Lalu mengapa kau datang kesini?.” Tanyaku lagi heran.

“Karena aku ingin memberitahumu tentang tuanmu ini. Dia sudah membuat aku bingung untuk menentukan.” Jawaban Maut terdengar aneh dan sulit kumengerti.

“Aku tidak mengerti maksudmu?.” Aku hanya terus bertanya. “Dan dia bukan tuanku.” Aku menambahkan.

“Tuanmu ini ingin melakukan bunuh diri, dia sudah merencanakan semuanya. Jelas dia melawan takdir.” Tetap saja Maut menyebut perempuan itu tuanku.

“Tapi dia kan belum mati?.”

“Itulah yang membuat semuanya menjadi rumit,” terasa sebuah keluhan dari kata-kata Maut tadi.

“Aku hanya menjemput orang-orang dari takdir mereka, sedangkan tuanmu ini memang menginginkan kematian dan malah sudah merencanakannya. Aku tidak berhak menjemputnya.”

“Apakah kau tahu kapan dia akan mati?.”

Maut menggeleng. “Seseorang yang melakukan bunuh diri tak bisa ditebak takdir kematiannya, semuanya akan menjadi kacau.”

“Lalu bagaimana kalau dia akan terus hidup setelah kejadian ini?.”

“Maka dia akan bunuh diri.” Jawab Maut dengan cepat.

“Lalu?.”

“Kita harus menentukannya dengan merunut kejadiannya.”

“Apa kau tahu?.”

“Kau masih belum menyadarinya.” Maut seperti tertawa. “Ada banyak hal yang aku ketahui tapi tidak kau ketahui dan demikian juga sebaliknya.”

Aku meregangkan tubuhku dan bersiap-siap mendengar cerita maut.

“Semasa hidupnya tuanmu ini hidup menderita, kedua orang tuanya meninggal saat dia kecil, lalu dia tinggal disebuah keluarga yang kejam kepadanya, berkali-kali dia dilecehkan oleh ayah angkatnya hingga akhirnya dia melarikan diri pada usia 15 tahun. Lari dari kandang singa masuk ke kandang harimau itulah yang terjadi padanya, hidup di jalan, ditemukan oleh seorang perempuan yang pada akhirnya menjadikannya seorang pelacur.”

“Mengapa takdir membawanya ke hidup yang mengerikan?.” Aku sedih mendnegar cerita Maut. “Aku bisa maklum jika dia pada akhirnya menentang takdir.” Lanjutku berpendapat.

“Kau berkata seperti itu karena kau tidak tahu cerita lainnya denga sisi yang berbeda.” Maut memperotesku karena terlalu cepat mengambil kesimpulan. “Tuanmu itu sudah membunuh beberapa orang dengan sangat keji, dia membunuh seorang bayi dengan menenggelamkannya ke dalam sungai, mengorok leher seorang lelaki dengan pisau belati dan meracuni seorang perempuan lalu menggantungnya seolah bunuh diri.”

Aku tercengang tak percaya dengan ucapan Maut yang terasa menohokku.

“Dia menjadi selingkuhan seorang lelaki yang dibunuhnya itu, karena iri dengan istri lelaki tadi maka diracuninya istri kekasihnya itu lalu digantungnya seolah bunuh diri. Sedangkan bayi tadi adalah anak dari istri kekasihnya tadi, karena bingung bayi tadi terus menangis tiada henti maka bayi tadi pun di tenggelamkannya di sungai. Hanya manusia yang berhati iblis bukan yang tega melakukan itu semua. Jadi apa pendapatmu tentangnya setelah mendengar ini.”

Aku tak bisa berucap, aku seperti dikelabui oleh kenyataan.

Maut menutup ceritanya dengan ucapan singkat. “Lalu dia merencanakan bunuh diri.”

Aku terpaku memandangi wajah perempuan tadi, tak ada tindakan yang terasa tepat bagiku untuk hidupnya. “Bagaimana jika kau menjemputnya saja sekarang,” ucapku pada Maut.

Maut menghilang tanpa jejak, dia menghilang bersamaan dengan suara elektrokardiogram yang membentuk satu nada datar, nada kematian.

Jujur, aku merasa diriku seperti bermimpi, tiba-tiba saja aku berada di tempat yang sama, trotoar yang sama dan jalan yang sama sunyinya, aku memandang kesebrang dan muncul perasaan ingin meyebrang. Karena jalan benar-benar sunyi, aku pun menyebrang tanpa memastikan apa ada mobil yang akan melintas. Lalu dari kejauhan cahaya lampu sorot mobil menangkapku bagaikan seorang aktor di atas sebuah teater pertunjukan, di sinari dan terdiam karena tercengang. Tak ada suara klapson yang memperingatiku, mungkin pengemudi mobil itu tidak menyadari bahwa aku berada di tengah jalan dan ketika sudah sangat dekat, dia tetap saja melaju tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun, aku terlindas sangat keras hingga tubuhku terasa gepeng. Entah pengemudi itu melihatku lalu terus menabrakku atau dia memang benar-benar tidak melihatku. Tapi yang aku tahu bahwa pengemudi itu juga akan mati atas rencana bunuh diri yang sudah direncanakannya.

Napasku menyesak, tubuhku tidak bisa bergerak. Perlahan kulengakkan kepalaku ke langit dan kulihat Maut turun menghampiriku.

“Apa kau ingin menjemputku?. Bukankah aku masih memiliki 2 nyawa lagi?.” Tanyaku panik.

Maut seperti tersenyum. “Kucing memang payah dalam soal menghitung.” Ucapnya singkat.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun