4 November 1908, Wina, Austria
Aku hanya duduk diantara cat minyak yang belepotan di karpet coklat, memandangi lukisan Tuanku yang terakhir. Lukisan itu judulnya Nude Sel-Portrait with Palette. Lukisan lelaki telanjang yang sedang merana. Aku melengak memperhatikan lukisan tadi lalu kearah tuanku yang membisu di depan cermin. Setetes, dua tetes dan beberapa tetes meresap ke dalam karpet, tetesan cairan merah segar yang berasal dari bekas tusukan pisa di dadanya.
Aku mengeong kearah tuanku, Â memanggilnya agar menyadari keberadaanku. Tapi tuanku sudah tidak bergerak lagi, bahkan kedua kakinya sudah tidak menapak lantai. Seperti terbang namun tak bersayap. Aku mengeong lagi dan dia masih saja membisu. Dia benar-benar sudah mati. Pendapatku pada diri sendiri. Lalu aku menatap kearah cermin, melihat begitu hitamnya diriku ini, seperti pembawa kesuraman.
Ini adalah kematian yang kesekian kalinya, seperti sebuah pertanda bahwa ini adalah awal baru bagiku untuk menemukan orang lain yang mau menjadi tuanku. Dan itu perlu waktu puluhan tahun nyawaku bisa saja habis karena terus berkurang. Hidup tak bertuan itu bagaikan berada di ujung jurang tanpa ada akar pohon yang bisa aku pegangi, aku memerlukan pegangan oleh sebab itu aku terus mencari.
11 Januari 1968, Budapest
Ini sudah puluhan tahun setelah kejadian di Wina. Hari ini hari minggu, sebuah hari yang lebih baik digunakan untuk berlibur dan bersenang-senang melepas penat, namun pada hari ini aku hanya duduk di depan jendela di salah satu apartemen, memandang kesekitar pada kesibukan sekitar yang tidak pernah surut. Sebelumnya aku duduk di atas sofa memperhatikan tuanku yang terlihat gelisah, aku mengerti kegelisahannya itu, itu pasti karena puisi yang ditulis oleh Laszlo Javor. Puisi yang dibuat menjadi lagu sendu nan suram, lagu yang menjadi pertanda kematian kekasih yang dicintainya.
Aku maju sedikit di depan jendela, mendongok ke bawah. Dari ketinggian bisa kulihat tuanku tengkurap di jalan dengan kepala berdarah, aku mengeong berkali-kali memanggilnya namun dia sama seperti tuanku yang dulu, membisu dan tidak menjawab.
Aku meloncat ke atas piano, lalu berjalan di antara tuls-tuls piano, nada acak muncul seperti ucapan selamat tinggal dariku. Kesedihan lagi-lagi membenam dalam dadaku, seperti luka yang tidak pernah kering, terus membaru.
Dan untuk yang kesekian kalinya aku harus mencari tuan baruku.
Masa Kini, Kakunodate, Tokyo
Aku berhitung di pinggir jalan yang sunyi malam itu, hanya suara air sungai hinokinai yang terdengar di telingaku. Sudah sangat lama aku hidup dan sudah banyak juga aku melihat kematian. Aku menghitung nyawaku, mengingat-ngingat kapan saja nyawaku berkurang. Setiap kucing sepertiku memiliki tujuh nyawa, namun tidak semua yang sepertiku memiliki umur yang panjang. Memiliki tujuh nyawa tidak membuat hidup jadi abadi, bahkan terkadang karena merasa memiliki tujuh nyawa, akhirnya nyawa itu jadi di sia-siakan begitu saja, sampai suatu ketika bagi yang tidak menghitungnya dengan benar akan dikejutkan oleh Maut