“Tidak? Oh baiklah. Kemari…” Ran masih memandangku dengan tatapan itu. Ia kemudian berjongkok sedikit dan menyentuh darah yang berceceran di lantai dengan jari-jarinya.
“Apa yang sedang kamu…” aku tidak sempat melanjutkan pertanyaanku karena Ran terlanjur berdiri dan perlahan-lahan mengoleskan darah James yang kini berlumuran di jarinya, ke bibirku. Aku terdiam. Matanya masih memandangiku dengan tatapan yang sama.
“Kau tampak lebih cantik jika bibir pucatmu itu diwarnai seperti ini, Rheinara,” ucapnya.
“Tidak, jangan panggil aku dengan nama gadis itu, panggil aku Nugie.”
“Baiklah kalau begitu,” jawab Ran. Kemudian ia mencium bibirku.
Aku jatuh cinta.
Iya, jatuh cinta.
Untuk pertama kalinya aku bisa benar-benar melupakan Rheinara. Aku benar-benar jatuh cinta kepada Ran.
“Gie…” desah Ran pelan setelah ia mencium bibirku. Aku dapat melihat bibirnya juga ikut berlumuran darah James akibat bersentuhan dengan bibirku. Kemudian ia tersenyum, senyum paling indah yang pernah ia lengkungkan. Oh ya, aku baru ingat ada satu pertanyaan yang selalu ingin kutanyakan.
“Di mana Rheinara?”
“Kuterbangkan dia jauh ke jantung bulan mati, bersama secangkir white frappe, tak lupa kubisikkan senandung saxophone Kenny G sebagai kenang-kenangan. Bagaimana menurutmu, Gie? Dia akan bahagia, bukan?”