Mohon tunggu...
Listian Nova
Listian Nova Mohon Tunggu... Guru - Tukang menghayal dan pemikir ngalor ngidul.

Listian Nova. Penombak bebas (freelancer) yang suka bertualang di berbagai dimensi kata, baik fiksi, opini, sastra, maupun ceracau ngawur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ilmu, Peradaban, dan Guru Swasta

30 Agustus 2022   12:17 Diperbarui: 30 Agustus 2022   12:54 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Cerita Pembuka

Pertengahan Agustus 2021, Kota Hujan

Sore itu mendung dan sejuk, tapi tak mengurangi minat saya pada segelas Iced Matcha Latte. Rekan saya, sebut saja namanya Lebah, belum tampak selesai dengan pilihan minumannya. “On me,” saya bilang, mengingatkan dia kalau kudapan kami sore ini adalah hadiah perpisahan dari saya.

Kawan saya itu akhirnya menulis pesanannya di secarik kertas dan kemudian pergi ke counter. Entah apa yang dipesannya, tapi saya perhatikan raut wajahnya masih  cemberut setelah kembali ke meja. Ia duduk sembari menghela napas panjang.

“Gue kemarin ngadep yayasan lagi,” katanya, “Coba apa jawabannya?”

Saya menaikkan alis. Bibir saya sudah menyatu dengan sedotan.

“Jadi guru tuh harus ikhlas.” Suaranya bergetar saat menirukan atasannya. “Gaji kagak sampe 2 masih disuruh ikhlas!”

Seketika matcha yang melewati lidah saya terasa pahitnya saja. Jujur saya sedikit kaget. Lebah memang sudah lama merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerjanya, tapi ini kali pertama saya melihat dia mengeluh selugas ini. Kami sama-sama seorang guru di sekolah swasta Islam, tapi di tempat yang berbeda tentunya beda pula pengalaman yang kami terima. Menurut pengalaman saya, saya beruntung—eh, bahkan tanpa dibandingkan dengan kawan saya inipun, saya akan tetap bilang bahwa diri saya ini beruntung. Soal gaji, saya memang lebih besar dari Lebah, tapi jujur bukan itu yang membuat saya meraasa beruntung. Saya merasa beruntung sebab saya merasa menjadi manusia utuh selama bekerja di sekolah yang akan saya tinggalkan beberepa pekan ke depan itu. Saya merasa berharga, sebab saya dihargai. Saya merasa kaya, tidak dengan harta, tetapi pengalaman dan inspirasi. Sungguh, jika bisa, saya ingin berlama-lama di sekolah saya mendidik saat itu.

Selanjutnya obrolan kami didominasi curahatan hati kawan saya itu. Soal yayasan, soal orang tua murid, sampai masalah keluarganya. Saya yang mendengarnya merasa campur aduk. Saya ingin berempati, tapi di satu sisi saya ingin sedikit membela diri bahwa tidak semua institusi pendidikan seperti itu. Tapi akhirnya saya urungkan, sebab cerita saya soal pengalaman-pengalaman mengajar saya yang menyenangkan pasti hanya akan jadi garam untuk lukanya—dan tampaknya begitulah kejadiannya saat dia mengeluhkan keadaan ekonominya yang belum sejahtera tapi malah disuruh untuk ikhlas.

Sorry telat, guys. Gila macet banget Bogor.” Kawan saya yang lain datang, sebut saja namanya Merpati. Sama seperti saya dan Lebah, Merpati juga guru swasta. Bedanya, Merpati ini guru swasta sekolah Katolik.

Sambil mengipas-ngipasi dirinya dengan buku menu, Merpati mengeluarkan laptop dari tasnya. Itu HP Pavilion x360, saya bisa tahu sekali lihat sebab sudah lama saya menaruhnya dalam keranjang Tokopedia. Melihat jemari Merpati menari-nari di layar sentuh laptopnya, saya dan Lebah hanya bisa menelan ludah dan menahan ekspresi mupeng. Haha, dasar manusia…

Kira-kira begitulah sedikit gambaran pertemuan terakhir saya bersama sebuah komunitas kecil di Kota Bogor. Entah kenapa yang membekas di benak saya justru bukan isi diskusi kami soal menulis. Justru curhatan Lebah dan reaksi kompak kami melihat laptop Merpati yang, sampai saya terbang ke Borneo, masih saja membayang-bayang. Terlebih, di Pulau Boreno ini, saya malah dipertemukan lebih banyak lagi dengan cerita-cerita yang senada dengan pengalaman kawan saya, Lebah. Ada si A yang mengabdi sekian lama, tapi belum stabil juga keuangannya padahal sudah sekalian usaha sampingan berjualan; si B yang selalu pulang magrib karena harus kerja tambahan di tempat lain; si C yang mengaku stress dengan administrasi sekolah dan sering terbawa emosi sampai di rumahnya; si D yang sekian tahun bekerja belum pernah diberi pelatihan khusus terkait bidangnya; si E yang atasannya sangat ­micro-managing dan miskin apresiasi; si F yang lingkungan kerjanya tidak komunikatif dan merasa selalu di­-gaslighting oleh rekan sejawatnya; si G, si H, si I, dan seterusnya yang tak bisa saya tulis satu per satu. Memang, sadar tidak sadar, saya mencari dan mendengarkan cerita dari orang-orang yang nasibnya mirip dengan Lebah di setiap kesempatan berkumpul, entah dengan komunitas sekolah tempat saya bekerja maupun komunitas lain di luar sana (kata teman saya, bakat input saya memang kuat). Saya mengumpulkan informasi-informasi itu untuk menguatkan empati saya pada Lebah (dan orang-orang dengan pengalaman rasa yang sama), sebab seperti yang saya bilang sebelumnya, pengalaman saya mengajar di Kota Bogor benar-benar menyenangkan.

Saya tidak bisa tidak mereka ulang percakapan saya dengan Lebah dalam kepala dan rasa-rasanya tidak akan hilang adegan itu sampai saya bisa melahirkannya kembali dalam bentuk yang lain, tulisan misalnya. Dan setelah lama tak menulis, akhirnya di momen-momen kemerdekaan inilah sepertinya waktu yang tepat untuk memulai lagi.

—e—

Posisi Ilmu dalam Peradaban, Menurut Saya

Lebih dari 1200 tahun yang lalu, kondisi masyarakat Arab bisa dikatakan berada di titik nadir. Seorang pemuda bernama Muhammad yang merasa resah dengan keadaan tersebut, pergi menyepi pada setiap malam di bulan Ramadhan. Tepat pada malam 17 Ramadan tahun 610 M, Malaikat Jibril mendekap Muhammad saw. yang sedang barkhalwat di Gua Hira, seraya berkata, “Iqra’ (bacalah!). Hingga 2 kali perintah itu dikatakan Jibril, tetapi jawabannya sama: “Aku tidak dapat membaca.”

Lalu Jibril untuk ketiga kalinya mendekap Muhammad dengan kuat seraya berkata: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq : 1-5).

Arti “membaca” dalam surat Al-Alaq tidak semata-mata menerjemahkan arti simbol-simbol berupa aksara, tetapi juga alam dan seluruh pengalaman hidup kita. Saya meyakini, selalu ada makna yang lebih dari sekedar apa yang bisa ditangkap indera manusia, dan kemampuan menangkap serta menerjemahkan makna tersebut adalah membaca. Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, dituliskan bahwa ayat-ayat ini menjelaskan kemuliaan Allah swt. yang mengajarkan manusia akan sesuatu yang belum diketahui mereka. Hal ini berarti Allah telah memuliakan dan menghormati manusia dengan ilmu. Dan ilmu tersebut yang membedakan antara manusia dengan malaikat.

Hal ini menujukkan bahwa kedudukan ilmu dalam agama ini berada pada derajat yang tinggi lagi utama, sebagaimana firman Allah dalam QS Mujadalah ayat 11 bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu.

Saya menyukai cerita-cerita tentang kegemilangan di masa lalu. Sebab dalam pikiran saya yang polos ini, jika sebuah peradaban pernah beridiri demikian gemilang, bukankah kita tinggal melihat pola-pola yang terjadi di masa lalu? Sekarang, marilah kita tengok ke masa lalu, kepada peradaban-peradaban besar di dunia. Sebutlah peradaban Mesopotamia, Mesir Kuno, Lembah Sungai Indus, hingga peradaban-peradaban kaum muslimin seperti Baghdad, Usmani, Andalusia, dan sebagainya. Semua peradaban yang masih menyisakan kisah-kisah dan kebudayaan itu meletakkan ilmu sebagai bagian inti dari peradaban mereka. Betapa banyak kebudayaan, teknologi dan filosofi yang kita rasakan sekarang sebenarnya adalah pengembangan dari ilmu di masa lalu.

Betapa pentingnya ilmu, sebab dengan ilmu, Allah membimbing manusia untuk membedakan dan menentukan mana yang baik dan buruk, yang memelihara dan merusak, yang membunuh dan menghidupkan. Seperti sejarah kelam Abad Pertengahan di benua Eropa, sebuah rentang masa yang disebut dengan dark age. Di masa itu, peperangan di mana-mana, jarak yang miskin dan kaya amat lebar, seseorang dibunuh karena dituduh penyihir dengan pembuktian tanpa dasar ilmiah. Bahkan pada abad ke-13, perburuan kucing dilakukan besar-besaran karena diasosiasikan dengan penyihir. Kurangnya populasi kucing saat itu justru menjadi senjata makan tuan, sebab dengan berkurangnya populasi kucing, populasi tikus meledak. Padahal tikus adalah salah satu agen utama pembawa bakteri Yersinia pestis, bakteri yang menyebabkan penyakit pes.

Sementara itu, di rentang waktu yang kurang lebih sama, wilayah-wilayah kaum muslimin justru mengalami yang namanya golden age, yang mana ilmu pengetahuan berkembang, tentunya tidak hanya ilmu dunia tetapi juga ilmu agama. Ambillah beberapa contoh, di bawah kekhalifahan Abbasyiah, pun di Andalusia, kaum muslimin sangat haus akan ilmu. Berbagai kitab ilmu dari berbagai penjuru di dunia diterjemahkan dan dikembangkan. Berbagai bidang keilmuan berkembang, teknologi dan berbagai bentuk seni dilahirkan, kesejahteraan ekonomi dan social tercapai dengan gemilang. Bahkan kebangkitan Eropa atau yang dikenal dengan istilah renaissance, bermula dari pembelajar-pembelajar yang mengenal buah-buah pemikiran Ibnu Rushdi (Averroes) dari Andalusia yang saat itu menjadi mercusuar ilmu pengetahuan baik di benua Eropa maupun benua Asia; mereka menyadari bahwa untuk membangun peradaban yang baik dibutuhkan ilmu pengetahuan yang tepat guna untuk dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, sehingga bersamaan dengan renaissance itu, terjadi pula sebuah revolusi keilmuan.

Kejadian yang serupa juga terjadi di sini, di Indonesia. Momen kebangkitan nasional tercapai saat pemuda, pelajar dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia menyadari kesamaan nasib mereka, menyadari bahwa mereka punya daya untuk merdeka dan menentukan nasib bangsa sendiri. Momen kebangkitan itu tidak dihantarkan sekedar dengan senjata, tetapi dengan ilmu; dengan gagasan oleh pemuda-pemuda yang tentunya mempelajari pengetahuan terkait kebangsaan. Dan kemudian berlanjutlah momen kebangkitan tersebut hingga tercapailah kemerdekaan kita sebagai bangsa yang berdaulat.

Contoh-contoh sejarah barusan semoga dapat mengingatkan kita akan pentingnya ilmu sebagai pondasi peradaban. Sekarang marilah kita tengok ke masa kini. Peradaban-peradaban besar di dunia yang sekarang berdiri pun masih menjadikan ilmu sebagai bagian dari inti peradaban mereka. Lalu, bagaimana dengan peradaban kita? Peradaban di Indonesia? Sudahkah kita menjadikan ilmu sebagai bagian dari pondasi peradaban kita?

Refleksi yang berikutnya adalah, sudahkah kita menghormati orang-orang yang berkutat dalam bidang pendidikan? Sudahkah kita menunaikan adab yang semestinya kepada mereka? Sebab proses pengembangan ilmu tidak akan berjalan baik tanpa adanya adab yang baik dan benar. (Oh iya, istilah adab yang saya gunakan di sini secara luas, ya, yang sama artinya dengan sopan santun, moral, dan sebagainya.)

Runtuhnya peradaban-peradaban besar tidak lain karena adab yang merosot. Sebab ketika adab tidak lagi menjadi hal penting, ilmu menjadi hal yang tidak perlu juga, sebab tanpa adab, nafsu akan jadi lebih utama daripada ilmu. Kekhalifan Abbasyiah pun runtuh teresebab pemimpinnya dan para petingginya lemah; lebih mengutamakan dunia daripada kemuliaan ilmu. Adab dan moral tidak lagi penting untuk mereka. Alih-alih memecahkan masalah selayaknya kewajiban mereka, mereka justru tenggelam dalam kesenangan duniawi. Dan kejayaan itu runtuhlah saat bangsa Mongol datang menginvasi. Sementara itu, di rentang waktu yang tak terlalu jauh, bangsa Eropa justru semakin bangkit dan maju akibat revolusi keilmuan mereka.

Kemudian lihatlah koruptor-koruptor di Indonesia. Mereka bukanlah orang-orang bodoh, tetapi sayangnya tiada beradab. Dengan ilmu, oknum-oknum itu tahu mana yang baik dan benar, tetapi tanpa adab, mereka akan melakukan hal-hal yang menguntungkan mereka alih-alih hal yang benar.

Berkembangnya ilmu tak bisa lepas dari adab, tidak peduli apapun agamanya. Ilmu dan adab adalah satu-kesatuan yang menjadi inti sebuah peradaban. Dan keberlangsungan peradaban tersebut sangat bergantung dari ilmu dan adab masyarakatnya. Dan masyarakat yang berilmu dan beradab dapat tercapai dengan pendidikan

Refleksi berikutnya, apakah pendidikan sudah menjadi hal penting dalam masyarakat kita, dalam kehidupan kita? Sudahkah murid-muridnya belajar dengan merdeka dan semestinya? Sudahkah orang tua yang menitipkan anak-anaknya ke institusi pendidikan turut serta dalam pendidikan anak? Dan, kembali ke cerita pembuka saya di awal tulisan ini, sudahkah para pendidiknya sejahtera?

Nasib Pendidikan, dan Kenyataan Bahwa Persoalan Guru Sebenarnya Punya Banyak Sekali Dimensi

Sudahkah saya, Anda, kita, sebagai pendidik—sebagai guru—sejahtera?

Sejahtera yang saya maksud di sini adalah ketika seseorang hidup tanpa gangguan atau ancaman yang menghambat kesempatan atau kemampuan seseorang itu untuk berkembang baik dari segi ekonomi, sosial, maupun spiritual. Tidak terbatas pada urusan duit, ya—eh, tapi memang kenapa kalau soal duit?

Sejahtera memang bukan cuma soal uang, tapi ekonomi adalah salah satu indikator termudah untuk mengukur kesejahteraan, karena datanya lebih mudah diakses. Terlebih saya juga tidak suka setereotip bahwa seorang guru tidak boleh ngomongin uang. Entah saya saja atau Anda pembaca juga ada yang merasakan: jika seorang guru berkeluhkesah soal kesejahteraan ekonomi, mayoritas orang akan berkata, “Gurunya saja yang kurang ikhlas!”

Saya tidak berkata bahwa ikhlas tidak akan membuat hidup kita tenang dan sejahtera. Saya justru sangat yakin bahwa jika kita sudah ikhlas, maka semua jadi tidak penting lagi, sebab baik atau buruknya kejadian adalah pilihan terbaik dari Allah. Nah, problem-nya adalah, ikhlas itu tidak mudah. Ikhlas itu sulit, terlebih untuk manusia lemah seperti saya. Sebutlah kawan saya G. Dengan emosi yang lebih meluap dari Lebah, ia bercerita tentang pengalamannya menyiapkan acara perpisahan. Setelah semalaman mendekorasi sendirian, bukannya apresiasi yang ia terima tapi komentar pedas. Konyolnya, komentar tidak perlu itu hanya karena posisi pojok swafoto yang tidak sesuai selera pengkritik. Bagaimana Anda bisa tetap ikhlas? Kalau saya, sih, saya tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak mau. Sebab saya selalu punya pendirian, jika saya bekerja, saya bukan budak. Saya, rekan-rekan, atasan, kami semua setara sebagai manusia, hanya saja kami punya peran yang berbeda.

Kembali ke pembahasan kesejahteraan para guru. Sebenarnya hal ini sudah tercantum dalam UU no.14 tahun 2005 pasal 14 poin (a), bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Menurut UU no.11 tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Secara kasar, saya membuat indikator UU tersebut tercapai dengan baik adalah: 1) upah sesuai atau di atas UMK/UMP; 2) tercukupi sandang-pangan-papan; 3) memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan kesehatan mental; 4) memiliki kesempatan mengembangkan diri sesuai minat & bakat atau memiliki jalur karir yang jelas; 5) bisa menjalankan fungsinya bermasyarakat.

Sekarang, kita lihat kenyataan di lapangan. Bagaimana menurut Anda?

Saya memiliki keluarga besar yang sebagian besar anggotanya mengambil guru sebagai profesi. Mereka yang diakui sebagai PNS, sepengamatan saya, mendapat apa yang tertuang dalam UU no.14 tahun 2005 dan UU no.11 tahun 2009 di atas. Tapi, bagaimana dengan guru-guru non-PNS? Kehidupan guru honorer sudah menjadi rahasia umum. Beban kerja yang super tinggi akan tetapi upah seadanya. Guru sekolah swasta punya nasib yang beragam karena upahnya tergantung pada keuangan. Kemudian ada lagi guru-guru di daerah pelosok, yang kabarnya sering kita lihat lewat berita betapa keadaan kesejahteraan mereka sangat memprihatinkan.

Jujur, sampai beberapa waktu yang lalu, saya masih berada dalam keadaan denial. Saya merasa sangat sejahtera meskipun saya seorang guru swasta. Saya mengajar sebuah sekolah swasta di Kota Bogor kurang lebih 5 tahun lamanya. Awalnya upah yang saya terima memang di bawah UMK setempat, tetapi kemudian berangsur naik. Saya juga merasa sangat berkembang, sebab kami memang secara sengaja dikembangkan oleh yayasan dan lingkungan (murid, orang tua, kolega) mendukung perkembangan itu. Bayangkan saja, dalam kurun waktu 2 tahun saja, saya sudah mendapat berbagai macam pelatihan dan pengayaan; berbagai kesempatan outing dan bahkan kesempatan berbisnis bersama sekolah. Yang paling menyenangkan adalah saya bisa mengitegrasikan minat dan hobi, bahkan filosofi hidup saya ke dalam kegiatan pembelajaran—tak jarang hobi, minat dan filosofi hidup para guru kemudian berkembang menjadi program kelas dan sekolah. Di luar itu semua saya bahkan masih bisa aktif membangun komunitas di luar sekolah. Wow. Betapa tumbuh dan berkembangnya saya di sekolah itu. Jika membandingkan diri saya saat itu dengan diri saya semasa kuliah, perbandingannya seperti bukit dan lembah. Namun kemudian pengalaman menyenangkan saya itu diadu dengan realita. Emosi Lebah yang meledak, lalu ditambah lagi berbagai macam cerita pengalaman tidak menyenangkan yang saya dapatkan dari orang-orang seprofesi (guru sawasta) di tempat kerja saya sekarang membuat saya seperti orang lugu nan bodoh yang tak tahu kehidupan di luar sana.

Sebagian besar guru di Indonesia belum merdeka. Kenyataannya memang begitu, kan? Saya belum dapat menemukan data yang menggambarkan kesejahteraan guru di Indonesia secara keseluruhan, tetapi saya menemukan banyak referensi hasil penelitian tentang kesejahteraan guru swasta di sekolah dan daerah yang spesifik. Dan kesimpulan dari referensi-referensi itu adalah: guru-gurunya belum sejahtera. Bahkan dari pendataan saya pribadi, setidaknya 7 dari 10 orang guru swasta merasa hidupnya belum sejahtera berdasarkan indikator yang saya sampaikan di atas. Ternyata masih banyak guru swasta yang diupah di bawah UMK/UMP, bahkan setelah lebih dari 2 tahun bekerja—bahkan ada yang tidak dapat pesangon padahal sudah lebih dari 10 tahun bekerja. Ternyata masih banyak guru yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Ternyata masih banyak guru yang stress, kebanyakan karena atasan dan kolega yang toxic serta orang tua yang memperlakukan mereka dengan tidak baik. Ternyata masih banyak guru yang tidak punya kebebasan berpendapat dan kesempatan mengembangkan diri. Ternyata, ada beberapa guru yang mendapatkan semua ketidaknyamanan tersebut sekaligus. Yang paling menyakitkan bagi saya, guru dengan respon negatif tersebut semuanya berasal dari sekolah swasta dengan basic Islam. Ironi, mengingat betapa posisi ilmu dalam agama Islam seharusnya berada di tempat yang penting…

Tentu saja penyampaian saya ini sangat layak diragukan. Metodenya hanya sekedar wawancara, datanya juga tidak di-release, pertanggungjawbannya tidak ada, dan barangkali sebagian pembaca meyakini adanya tendensi untuk kelompok tertentu dalam tulisan saya. Tapi biarlah, toh ini saya lakukan untuk membuka mata saya sendiri—syukur-syukur bisa jadi bahan auto-kritik bagi yang bersangkutan. Saya hanya ingin menyadarkan diri saya bahwa julukan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” untuk para guru itu seharusnya tidak diglorifikasi; bahwa seharusnya guru diberikan penghargaan yang layak, terutama oleh kami, umat Nabi Muhammad—nabi yang perintah pertama untuknya adalah “iqro’”.

Dimulai dari yang Kecil

Sesuatu yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil. Hukum alamnya memang begitu. Saat memutuskan untuk menjadi guru, sebenarnya itu hanya langkah kecil saya untuk menempuh perjalanan panjang membangun peradaban. Saya yakin guru lain pun demikian, mungkin berbeda diksi, tapi intinya pasti satu: membangun.

Peradaban dibangun dengan pendidikan. Pendidikan akan dimulai dari diri sendiri, yang nantinya akan mengasah peran sebagai murid, pendidik, dan pengasuh (wali/orang tua). Geliat pendidikan itu, menurut saya, dimulai dari kehidupan sekolah. Dalam kehidupan sekolah, setidaknya ada 3 elemen yang berperan: pertama, murid-muridnya; kedua orangtuanya; ketiga adalah guru-gurunya. Semua sama penting, sama besar pengaruhnya. Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat dan kehidupan dir rumah harus selaras dengan kehidupan sekolah. Seperti kata pepatah “It takes a village to raise a child”—butuh orang sekampung untuk membesarkan (mendidik) anak. Setidaknya itulah yang saya rasakan di sekolah tempat saya mengajar di Kota Hujan dulu… Sedikit nasihat saya untuk murid (anak-anak), orang tua, dan guru yang membaca ini:

Untuk anak-anakku

Sebagai anak, hormatilah kedua orang tua kita. Merekalah yang mendorong kalian melawan kerasnya dunia, sekaligus tempat kalian pulang saat terluka dan lelah. Ibu telah bertaruh nyawa untuk melahirkan kita. Ayah telah berpeluh bersusahpayah, bahkan berdarah-darah untuk menafkahi keluarga. Dengarkanlah nasihat mereka, patuhilah mereka selama itu tidak keluar dari kebaikan.

Sebagai murid, hormatilah guru-guru kalian. Mereka mungkin belum bisa menjadi pendidik terbaik versi kalian, tapi mereka pasti akan melakukan yang terbaik agar kalian menjadi bisa. Hormatilah mereka, sebab berkah sebuah ilmu jauh lebih utama dari ilmu itu sendiri.

Untuk para orang tua

Sebagai orang tua bagi anak, didiklah anak-anak kita dengan kasih dan sayang. Lihatlah anak-anak sebagai diri mereka, bukan sebagai karakter fiksi serba bisa yang kita bayangkan dalam kepala. Orang tua kepada anaknya juga merupakan seorang guru, maka teruslah belajar dan bersabar. Apalagi sesungguhnya tanggung jawab pendidikan anak itu berada di tangan orang tua, dan pada orang tua jugalah pertanggungjawaban itu akan diminta di akhirat kelak

Sebagai orang tua yang menitipkan anaknya ke sekolah, hormatilah para gurunya. Orang tua menjadi jalan lahirnya anak ke dunia, sementara jalannya ke surga seringkali ditunjukkan oleh para gurunya. Bersikaplah lemah lembut kepada guru, sebab sekali lagi, keberkahan ilmu terletak pada adabnya. Sebagaimana kisah Syaikh Abdul Qadir:

Saat itu Syaikh Abdul Qadir dan murid-muridnya sedang makan bersama. Sesuai adab yang berlaku di madarasah itu, maka Syaikh menyelesaikan makanannya terlebih dahulu, kemudian murid-muridnya mulai makan. Saat itu, Syaikh Abdul Qadir telah menyelesaikan makannya dan menyisihkan sebagian daging ayam untuk disantap murid-muridnya.

Salah satu orang tua kemudian melihat hal itu dan berprasangka buruk bahwa murid-murid di madrasaha Syaikh Abdul Qadir diperlakukan layaknya kucing. Prasangka buruk itu dilisankan, dan sampailah pada orang tua, seorang bapak, yang memiliki pengaruh dan kuasa. Sang bapak kemudian menemui Syaikh Abdul Qadir dan berkata: “Saya menitipkan anak untuk belajar ilmu dan adab, tapi kenapa justru diperlakukan seperti kucing?”

Sang Syaikh menjawab singkat: “Maka ambillah anakmu.” Dan dibawalah sang anak oleh sang bapak.

Selama perjalanan, ditanya-tanyalah sang anak oleh bapaknya. Dan ternyata kejadiannya bukanlah seperti yang diceritakan. Bahkan, sang anak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sang bapak tentang syariah dan fiqh dengan amat baik. Maka tersadarlah sang bapak, dan dibawanya anak itu kepada Syaik Abdul Qadir, berharap sang syaikh menerima anaknya kembali.

Sang Syaikh menjawab; “Bukannya aku tidak mau menerima anak itu kembali, tetapi Allah telah menutup futuh (keterbukaan hati) anak itu sebab perlakuan bapaknya yang tiada beradab kepada guru.”

Maka para orang tua, jadikanlah para guru sebagai sahabat, sebagai partner dalam mendidika anak-anak kita.

Untuk para guru, sebuah nasihat panjang…

Sebagai orang yang mendidik murid-murid, didiklah mereka sebaik mungkin. Ajarkanlah kepada mereka cara belajar, bukan sekedar materi belajarnya saja. Ketahuilah bahwa anak-anak bukan kertas putih polos yang bisa kita tulisi semau kita, tetapi seorang insan yang utuh, yang telah Allah berikan ke dalam diri mereka keunikan yang berbeda-beda. Anak-anak ibarat bintang-bintang di langit malam, tugas para guru adalah menyibak segala awan yang menutupi gemerlap bintang itu. Sebab mereka terlahir dalam keadaan fitrah, tetapi pola asuh dan didikan kita yang salah seringkali menutupi itu.

Sebagai pendidik yang dititipkan anak oleh orang tua, janganlah kita merasa rendah diri, terutama ketika berhadapan dengan orang-orang yang berkuasa. Sebab sejatinya guru adalah peran yang amat mulia di mata Allah dan jangan nodai kemuliaan tersebut dengan rasa rendah diri di hadapan manusia.

Sebagai seorang guru, jagalah kemuliaan diri kita. Mengutip nasihat dari gurunda saya, Ust Abdul Rahman, “Yang lebih penting dari materi ajar adalah metodenya; yang lebih penting dari metode ajar adalah gurunya; dan yang lebih penting penting dari seorang guru adalah ruh gurunya.”

Dalam ruh guru inilah kemuliaan seorang guru berada. Jagalah selalu ruh itu, sebab di situlah letak niat dan tekad dalam mendidik. Apabila ruh itu terluka, maka segala ikhtiar mendidik akan menjadi berat, niat akan goyah dan pikiran berkelana ke mana-mana. Apabila ruh guru itu terluka, carilah segala cara untuk mengobatinya. Sebab jika ruh guru itu terluka, bisa jadi nilai ibadahnya juga terluka. Maka betapa ruginya jika ruh guru itu luka, sudahlah pahala tidak kita dapat, materi yang diberikan kepada gruu di negeri inipun, seperti kita tahu, juga tidak seberapa.

Apabila ruh guru itu terluka, carilah segala cara untuk mengobatinya. Jika lingkungan tempat kita mendidik sekarang terus menerus melukai ruh itu, maka pergilah. Pergilah ke tempat yang mengobati lagi menumbuh-kembangkan ruh itu. Sungguh bumi-Nya luas, dan rahmat-Nya meliputi sekalian langit dan bumi. Apalagi kita hanyalah manusia biasa, yang niat dan tekadnya selalu diuji.

Dan ingatlah para guru, sebagaimana para orang tua adalah guru, para guru adalah orang tua—orang tua yang punya kewajiban menafkahi keluarga. Apabila ruh guru kita terluka dan kita mencari nafkah dalam keadaan luka seperti itu, bagaimanakah dengan keberkahan nafkah yang kita berikan? Semoga kita tidak menjadikan terlukanya ruh guru kita sebagai alasan untuk tidak memberikan nafkah terbaik kepada keluarga kita, padahal kita diberi kemampuan untuk mengobati ruh itu dan menjadi sosok guru yang lebih baik lagi. Karena sekali lagi, jika komponen sekolah tak lagi mau memantaskan diri bersama sebagai pondasi peradaban, pergilah. Apalagi, kita bahkan tak perlu berprofesi sebagai guru untuk menjadi guru (untuk mendidik), bukan?

 Wallahu a’lam.

Referensi

https://www.dpr.go.id/jdih/uu

http://www.ibnukatsironline.com/

https://www.researchgate.net/publication/303179563_The_Effective_Reasons_for_ the_Rise_and_fall_of_Abbasids_State

https://www.worldhistory.org/article/1387/cats-in-the-middle-ages/

Salam, Abdus (1994). Renaissance of Sciences in Islamic Countries. p. 9. ISBN 978-9971-5-0946-0

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun