Saya tidak berkata bahwa ikhlas tidak akan membuat hidup kita tenang dan sejahtera. Saya justru sangat yakin bahwa jika kita sudah ikhlas, maka semua jadi tidak penting lagi, sebab baik atau buruknya kejadian adalah pilihan terbaik dari Allah. Nah, problem-nya adalah, ikhlas itu tidak mudah. Ikhlas itu sulit, terlebih untuk manusia lemah seperti saya. Sebutlah kawan saya G. Dengan emosi yang lebih meluap dari Lebah, ia bercerita tentang pengalamannya menyiapkan acara perpisahan. Setelah semalaman mendekorasi sendirian, bukannya apresiasi yang ia terima tapi komentar pedas. Konyolnya, komentar tidak perlu itu hanya karena posisi pojok swafoto yang tidak sesuai selera pengkritik. Bagaimana Anda bisa tetap ikhlas? Kalau saya, sih, saya tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak mau. Sebab saya selalu punya pendirian, jika saya bekerja, saya bukan budak. Saya, rekan-rekan, atasan, kami semua setara sebagai manusia, hanya saja kami punya peran yang berbeda.
Kembali ke pembahasan kesejahteraan para guru. Sebenarnya hal ini sudah tercantum dalam UU no.14 tahun 2005 pasal 14 poin (a), bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Menurut UU no.11 tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Secara kasar, saya membuat indikator UU tersebut tercapai dengan baik adalah: 1) upah sesuai atau di atas UMK/UMP; 2) tercukupi sandang-pangan-papan; 3) memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan kesehatan mental; 4) memiliki kesempatan mengembangkan diri sesuai minat & bakat atau memiliki jalur karir yang jelas; 5) bisa menjalankan fungsinya bermasyarakat.
Sekarang, kita lihat kenyataan di lapangan. Bagaimana menurut Anda?
Saya memiliki keluarga besar yang sebagian besar anggotanya mengambil guru sebagai profesi. Mereka yang diakui sebagai PNS, sepengamatan saya, mendapat apa yang tertuang dalam UU no.14 tahun 2005 dan UU no.11 tahun 2009 di atas. Tapi, bagaimana dengan guru-guru non-PNS? Kehidupan guru honorer sudah menjadi rahasia umum. Beban kerja yang super tinggi akan tetapi upah seadanya. Guru sekolah swasta punya nasib yang beragam karena upahnya tergantung pada keuangan. Kemudian ada lagi guru-guru di daerah pelosok, yang kabarnya sering kita lihat lewat berita betapa keadaan kesejahteraan mereka sangat memprihatinkan.
Jujur, sampai beberapa waktu yang lalu, saya masih berada dalam keadaan denial. Saya merasa sangat sejahtera meskipun saya seorang guru swasta. Saya mengajar sebuah sekolah swasta di Kota Bogor kurang lebih 5 tahun lamanya. Awalnya upah yang saya terima memang di bawah UMK setempat, tetapi kemudian berangsur naik. Saya juga merasa sangat berkembang, sebab kami memang secara sengaja dikembangkan oleh yayasan dan lingkungan (murid, orang tua, kolega) mendukung perkembangan itu. Bayangkan saja, dalam kurun waktu 2 tahun saja, saya sudah mendapat berbagai macam pelatihan dan pengayaan; berbagai kesempatan outing dan bahkan kesempatan berbisnis bersama sekolah. Yang paling menyenangkan adalah saya bisa mengitegrasikan minat dan hobi, bahkan filosofi hidup saya ke dalam kegiatan pembelajaran—tak jarang hobi, minat dan filosofi hidup para guru kemudian berkembang menjadi program kelas dan sekolah. Di luar itu semua saya bahkan masih bisa aktif membangun komunitas di luar sekolah. Wow. Betapa tumbuh dan berkembangnya saya di sekolah itu. Jika membandingkan diri saya saat itu dengan diri saya semasa kuliah, perbandingannya seperti bukit dan lembah. Namun kemudian pengalaman menyenangkan saya itu diadu dengan realita. Emosi Lebah yang meledak, lalu ditambah lagi berbagai macam cerita pengalaman tidak menyenangkan yang saya dapatkan dari orang-orang seprofesi (guru sawasta) di tempat kerja saya sekarang membuat saya seperti orang lugu nan bodoh yang tak tahu kehidupan di luar sana.
Sebagian besar guru di Indonesia belum merdeka. Kenyataannya memang begitu, kan? Saya belum dapat menemukan data yang menggambarkan kesejahteraan guru di Indonesia secara keseluruhan, tetapi saya menemukan banyak referensi hasil penelitian tentang kesejahteraan guru swasta di sekolah dan daerah yang spesifik. Dan kesimpulan dari referensi-referensi itu adalah: guru-gurunya belum sejahtera. Bahkan dari pendataan saya pribadi, setidaknya 7 dari 10 orang guru swasta merasa hidupnya belum sejahtera berdasarkan indikator yang saya sampaikan di atas. Ternyata masih banyak guru swasta yang diupah di bawah UMK/UMP, bahkan setelah lebih dari 2 tahun bekerja—bahkan ada yang tidak dapat pesangon padahal sudah lebih dari 10 tahun bekerja. Ternyata masih banyak guru yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Ternyata masih banyak guru yang stress, kebanyakan karena atasan dan kolega yang toxic serta orang tua yang memperlakukan mereka dengan tidak baik. Ternyata masih banyak guru yang tidak punya kebebasan berpendapat dan kesempatan mengembangkan diri. Ternyata, ada beberapa guru yang mendapatkan semua ketidaknyamanan tersebut sekaligus. Yang paling menyakitkan bagi saya, guru dengan respon negatif tersebut semuanya berasal dari sekolah swasta dengan basic Islam. Ironi, mengingat betapa posisi ilmu dalam agama Islam seharusnya berada di tempat yang penting…
Tentu saja penyampaian saya ini sangat layak diragukan. Metodenya hanya sekedar wawancara, datanya juga tidak di-release, pertanggungjawbannya tidak ada, dan barangkali sebagian pembaca meyakini adanya tendensi untuk kelompok tertentu dalam tulisan saya. Tapi biarlah, toh ini saya lakukan untuk membuka mata saya sendiri—syukur-syukur bisa jadi bahan auto-kritik bagi yang bersangkutan. Saya hanya ingin menyadarkan diri saya bahwa julukan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” untuk para guru itu seharusnya tidak diglorifikasi; bahwa seharusnya guru diberikan penghargaan yang layak, terutama oleh kami, umat Nabi Muhammad—nabi yang perintah pertama untuknya adalah “iqro’”.
Dimulai dari yang Kecil
Sesuatu yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil. Hukum alamnya memang begitu. Saat memutuskan untuk menjadi guru, sebenarnya itu hanya langkah kecil saya untuk menempuh perjalanan panjang membangun peradaban. Saya yakin guru lain pun demikian, mungkin berbeda diksi, tapi intinya pasti satu: membangun.
Peradaban dibangun dengan pendidikan. Pendidikan akan dimulai dari diri sendiri, yang nantinya akan mengasah peran sebagai murid, pendidik, dan pengasuh (wali/orang tua). Geliat pendidikan itu, menurut saya, dimulai dari kehidupan sekolah. Dalam kehidupan sekolah, setidaknya ada 3 elemen yang berperan: pertama, murid-muridnya; kedua orangtuanya; ketiga adalah guru-gurunya. Semua sama penting, sama besar pengaruhnya. Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat dan kehidupan dir rumah harus selaras dengan kehidupan sekolah. Seperti kata pepatah “It takes a village to raise a child”—butuh orang sekampung untuk membesarkan (mendidik) anak. Setidaknya itulah yang saya rasakan di sekolah tempat saya mengajar di Kota Hujan dulu… Sedikit nasihat saya untuk murid (anak-anak), orang tua, dan guru yang membaca ini:
Untuk anak-anakku