Kejadian yang serupa juga terjadi di sini, di Indonesia. Momen kebangkitan nasional tercapai saat pemuda, pelajar dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia menyadari kesamaan nasib mereka, menyadari bahwa mereka punya daya untuk merdeka dan menentukan nasib bangsa sendiri. Momen kebangkitan itu tidak dihantarkan sekedar dengan senjata, tetapi dengan ilmu; dengan gagasan oleh pemuda-pemuda yang tentunya mempelajari pengetahuan terkait kebangsaan. Dan kemudian berlanjutlah momen kebangkitan tersebut hingga tercapailah kemerdekaan kita sebagai bangsa yang berdaulat.
Contoh-contoh sejarah barusan semoga dapat mengingatkan kita akan pentingnya ilmu sebagai pondasi peradaban. Sekarang marilah kita tengok ke masa kini. Peradaban-peradaban besar di dunia yang sekarang berdiri pun masih menjadikan ilmu sebagai bagian dari inti peradaban mereka. Lalu, bagaimana dengan peradaban kita? Peradaban di Indonesia? Sudahkah kita menjadikan ilmu sebagai bagian dari pondasi peradaban kita?
Refleksi yang berikutnya adalah, sudahkah kita menghormati orang-orang yang berkutat dalam bidang pendidikan? Sudahkah kita menunaikan adab yang semestinya kepada mereka? Sebab proses pengembangan ilmu tidak akan berjalan baik tanpa adanya adab yang baik dan benar. (Oh iya, istilah adab yang saya gunakan di sini secara luas, ya, yang sama artinya dengan sopan santun, moral, dan sebagainya.)
Runtuhnya peradaban-peradaban besar tidak lain karena adab yang merosot. Sebab ketika adab tidak lagi menjadi hal penting, ilmu menjadi hal yang tidak perlu juga, sebab tanpa adab, nafsu akan jadi lebih utama daripada ilmu. Kekhalifan Abbasyiah pun runtuh teresebab pemimpinnya dan para petingginya lemah; lebih mengutamakan dunia daripada kemuliaan ilmu. Adab dan moral tidak lagi penting untuk mereka. Alih-alih memecahkan masalah selayaknya kewajiban mereka, mereka justru tenggelam dalam kesenangan duniawi. Dan kejayaan itu runtuhlah saat bangsa Mongol datang menginvasi. Sementara itu, di rentang waktu yang tak terlalu jauh, bangsa Eropa justru semakin bangkit dan maju akibat revolusi keilmuan mereka.
Kemudian lihatlah koruptor-koruptor di Indonesia. Mereka bukanlah orang-orang bodoh, tetapi sayangnya tiada beradab. Dengan ilmu, oknum-oknum itu tahu mana yang baik dan benar, tetapi tanpa adab, mereka akan melakukan hal-hal yang menguntungkan mereka alih-alih hal yang benar.
Berkembangnya ilmu tak bisa lepas dari adab, tidak peduli apapun agamanya. Ilmu dan adab adalah satu-kesatuan yang menjadi inti sebuah peradaban. Dan keberlangsungan peradaban tersebut sangat bergantung dari ilmu dan adab masyarakatnya. Dan masyarakat yang berilmu dan beradab dapat tercapai dengan pendidikan
Refleksi berikutnya, apakah pendidikan sudah menjadi hal penting dalam masyarakat kita, dalam kehidupan kita? Sudahkah murid-muridnya belajar dengan merdeka dan semestinya? Sudahkah orang tua yang menitipkan anak-anaknya ke institusi pendidikan turut serta dalam pendidikan anak? Dan, kembali ke cerita pembuka saya di awal tulisan ini, sudahkah para pendidiknya sejahtera?
Nasib Pendidikan, dan Kenyataan Bahwa Persoalan Guru Sebenarnya Punya Banyak Sekali Dimensi
Sudahkah saya, Anda, kita, sebagai pendidik—sebagai guru—sejahtera?
Sejahtera yang saya maksud di sini adalah ketika seseorang hidup tanpa gangguan atau ancaman yang menghambat kesempatan atau kemampuan seseorang itu untuk berkembang baik dari segi ekonomi, sosial, maupun spiritual. Tidak terbatas pada urusan duit, ya—eh, tapi memang kenapa kalau soal duit?
Sejahtera memang bukan cuma soal uang, tapi ekonomi adalah salah satu indikator termudah untuk mengukur kesejahteraan, karena datanya lebih mudah diakses. Terlebih saya juga tidak suka setereotip bahwa seorang guru tidak boleh ngomongin uang. Entah saya saja atau Anda pembaca juga ada yang merasakan: jika seorang guru berkeluhkesah soal kesejahteraan ekonomi, mayoritas orang akan berkata, “Gurunya saja yang kurang ikhlas!”