3
PUISI RADIT
USAI ku jelajahi sebuah ruangan yang gelap gulita tanpa setitikpun cahaya. Kini yang aku bisa lihat adalah sebidang benda yang berwarna putih. Rupanya aku sudah berbaring di ranjang dan ketika aku buka mata, kulihat langit-langit ruangan yang berwarna putih, sepertinya aku sudah berada di klinik sekolah.
"Prinsa! Kamu udah sadar, Prin?" Beberapa saat kemudian Rinta muncul dari balik pintu dan langsung berlari kecil ke arahku.
"Kok aku bisa di sini sih?" Tanyaku penasaran sambil mencoba membetulkan posisiku untuk duduk dan Rinta mambantuku.
"Aku juga tidak tahu. Tadi ada yang telfon aku, ngasih tahu kamu yang ada di sini."
"Siapa Rin?"
      "Aku juga tidak tahu, pakai nomor privat, suara cowok deh."
      "Apa mungkin dia Radit ya?"
      "Kok otak kamu langsung tertuju ke Radit gitu, sih?"
      Ah, entahlah. Bagaimana pula kabar Radit setelah beberapa hari ini sudah tidak lagi berkomunikasi?
      Beberapa jam kemudian aku diizinkan untuk pulang. Di rumah, kerjaanku cuma tidur-tiduran aja di kamar. Tetiba mama teriak.
      "Prin! Ada tamu yang nyariin kamu tuh!"
      "Siapa, Ma?"
      "Tidak tahu katanya temen kamu."
      Aku bangkit dari kamar menuju teras depan, kedua cowok itu sedang duduk.
      "Maaf! Kalian ini siapa?" Sapaku. Kedua orang itu berdiri melihatku.
      "Kenalin......." dia menjulurkan tangannya. Dan akupun menjabatnya, "Nama aku Radit"
      "Serius kamu? Radit dari Kalimantan itu?"
      "Iya...dan ini temen aku Eno."
      "Kok kamu bisa nyampe ke sini sih?" Tanyaku  heran.  Â
      Dan berceritalah kami seolah sahabat yang sudah terpisah lama. Oh ya! Kalian tentu ingin tahu penilaianku terhadap Radit ini kan? Dia ini tinggi, sektar 170 cm deh. Tubuhnya kekar tapi tidak gemuk. Rambutnya cepak, penggemar warna hitam. Tatapanya tajam, keren, tapi kalau menurutku, antara Radit sama Eno lebih cakep Eno deh.
Merekapun bersedia menginap ketika aku tawari. Segeralah aku bergegas ke dalam rumah untuk membicarakannya dengan Mama, ada paviliun kosong sebelah rumah yang bisa dipakai tapi masih harus sedikit dibersihkan karena sudah lama tidak dipakai.
***
      Fajar baru saja terbit. Tapi Radit dan Eno sudah menggedor-gedor pintu kamarku, membuat aku dan Rinta yang kuundang turut menginap semalam, kelabakan untuk bangun. Padahal aku dan Rinta sudah sepakat hibernasi, ngebangkong di minggu pagi ini.
      "Bangun cepetan, kita jogging, mumpung masih pagi. Sekalian kamu nunjukin ke kita sekitar sini," Eno beralasan.
      "Aaa.....males, masih ngantuk, semalem aku tidur jam 3."
      "Katanya baru sakit, jangan tidur terus dong, olah raga biar sehat."
Eno dan Radit tak mau mengerti. Mereka tetap memaksa, ya sudah, ku turuti saja. Selepas mandi, kami berempat langsung menyisir jalan sekitar komplek  yang masih cukup lengang untuk lari-lari kecil menikmati udara segar pagi hari. Dan pagi ini, aku baru tahu kalau Radit dan Eno itu mahasiswa. Mereka sedang skripsi dan kedatangan mereka ke kota ini untuk menyelesaikan skripsi mereka. Tidak jelas skripsi apa yang mereka buat. Tapi yang jelas mereka bakal super sibuk.
Aku dan Radit duduk di trotoar jalan. Cuma berdua. Sedang Eno dan Rinta entah kemana tadi. Tiba-tiba Hp ku memekik, itu dari Rinta, katanya dia dan Eno sudah balik duluan. Rinta keseleo dan Eno mengantarkan. Ah, dasar Rinta ada saja alasannya. Â Â
***
      Sekolah lagi, berjibaku lagi dengan perasaa takut. Di depan kelas aku dan Rinta bertemu dengan Radit.
      "Udah sembuh?" Tanyanya dengan tanpa ekspresi.
      "Tau dari mana?"
      "Dari anak-anak."
      "Thanks perhatiannya."
      Lalu kutarik tangan Rinta untuk pergi meninggalkan Radit.    Â
 "Aku yakin Radit masih sayang sama kamu dan kamu masih sayang juga kan sama dia? Mending kamu bicarain baik-baik  deh sama dia. Diantara kalian belum ada kata putus kan?"
      Boleh juga. Ide mutusin Radit sekarang juga.
      "Radit! Tunggu" Kuhampiri ia.
      "Kenapa?"
      "Sebenarnya kamu itu  orang kayak gimana sih? Perasaan tiap aku marah kamu tidak pernah mau minta maaf. Sudah 2 minggu ini kamu tidak mau bicara denganku lagi."
      "Kamu mau putus dari aku?"
      "Iya."
      Perasaan apa ini? Kemudian rasa sesal menyerbu. Ada perasaan tidak rela jika kali ini aku dan dia benar-benar harus berakhir sekarang. Nafasku seperti sesak mendengar pertanyaan Radit yang to the point, padahal dari tadi itukan yang aku harapkan.
      "Mau gimana lagi, kamu tidak bisa mempertahankan aku untuk tetap disampingmu kan? Jadi sekarang kita temen aja yah?" Ku angkat tangan jari kelingkingku.
      "Okey." Radit membalas.
      "Aku... aku pergi dulu ya. Rinta udah nungguin. Bye."
Radit! Sorry karena hubungan kita harus berakhir dengan cara yang seperti ini. Sebenarnya aku tidak tega kalau ingat semua kenangan manis bersamamu. Tapi terlalu lama aku kau diamkan tanpa alasan yang jelas juga bukan hal yang menyenangkan.
      "Prinsa! Aku cuma pengen ngasih ini." Radit menyerahkan sebuah amplop warna biru muda padaku.
      "Anggap saja pemberianku ini adalah pemberian sesaat sebelum kita putus." Ucapnya dengan bersanding senyum manis, meski masih terlihat dipaksakan. Aku balas senyumnya disertai anggukan.
      "Oh ya! Aku minggu depan berangkat ke Itali."
      "Olimpiade internasional ya?"
      "Iya!"
      "Good Luck!"
      "Thanks!"
***
      Waktu aku disuruh ngambil peralatan untuk praktikum di Lab. Fisika, tanpa sengaja aku bertemu dengan Radit. Tampaknya ia benar-benar bersemangat untuk menjajal kemampuannya di tingkat internasional. Semoga kamu menang, Dit. Radit menoleh ke arahku. Dia tersenyum renyah. Aku membalasnya. Kejadian yang seperti ini, seakan-akan kembali saat aku dan Radit belum saling mengenal dulu, saling pandang dan saling senyum. Benar ya, mantan akan terlihat lebih menarik ketimbang saat masih pacaran.
      Ku tinggalkan Lab. Fisika, begitu kubuka pintu, tampak di hadapanku Rades berdiri seperti iblis. Hampir barang-barang di tanganku terjatuh.
      "Boleh aku bantu?" Tanya Rades membuntutiku.
      "Aku bisa sendiri kok. Aku lagi buru-buru."
      "Aku minta maaf."
      "Tumben seorang Rades minta maaf?"
      "Tau ah! Capek ngomong sama kamu."
      "Emang siapa yang nyuruh kamu ngomong?"
      "Kok kamu gitu sih?"
      "Kenapa? Kamu tersinggung?" Aku melenggang pergi meinggalkan iblis satu ini.
      Aku benar-benar heran dengan perilaku Rades tadi. Entah iblis macam apa yang telah merasuki tubuhnya. Benar-benar aneh. Aku tolehkan kembali kearah Rades tadi. Tapi dia sirna, kemana ia, ku balikkan tubuh, mengedar pandang kemana perginya, tapi tak kutemukan ia, apa yang tadi itu nyata ya? Apa aku cuma mimpi? Ah, cuma fantasiku.
      "Pagi Prinsa!" Sapa Adrian dengan senyum ramah membuatku terbangun dari lamunan.
"Pagi!" Kubalas dengan senyum manis. Namun senyum itu segera gugur ketika aku melihat ke arah Rades di tengah lapangan yang sibuk mendribel bola, melayangkan pandang yang jauh dari kata bersahabat. Seolah menghujatku, ini benar-benar meyakinkanku kalau kejadian tadi itu tidak mungkin nyata. Aduh, halu nih, halusinasi.
Istirahat. Aku sengaja ke perpus mencari spot duduk menyendiri untuk membuka amplop yang Radit berikan tadi.
Â
KARENAÂ AKU MENCINTAIMU
Sejuta kasih dan cintaku terurai untukmu
Bayangan senja mulai menyiratkan gundahku
Tentangku yang takut kehilanganmu
Jalan cinta tak pernah mulus
Lelah yang ku kerjakan adalah milikmu
Apa yang harus ku lakukan adalah milikmu
Apa yang aku rasakan adalah untukmu
Dan atas apa yang aku berikan adalah persembahanku
Hati seorang perempuan tak kan berubah
Karena waktu dan musim Â
Jika nanti aku tak bisa temukanmu
Cinta akan menuntunku untuk mencarimu
Karena sesungguhnya cinta adalah rahasia
Yang hanya bisa terpecahkan oleh orang yang merasakan cinta
Aku mencintaimu
Meski abad berlalu
Dan surga meninggalkanku
Aku mencintaimu
Bukan hanya untuk hari ini
Bukan pula hanya untuk esok
Tapi abadi sampai akhir usia bumi
Andai saja kau bisa mengerti
Kata maaf yang tercekat tiada henti
Tak mampu ku lontarkan dari bibir ini
Karena aku mencintaimu
RADIT
Aku terenyuh, air mata menuruni wajahku satu persatu mengiringi kata demi kata yang tertulis dalam surat yang pagi tadi Radit berikan. Apakah benar Radit begitu mencintaiku? Tapi kenapa dia mendiamkanku tapa alasan yang jelas begitu lama? Memang, di samping itu juga aku sendiri merasa tak pantas bersanding denganmu, kau begitu sempurna, ku harap semoga kamu dapat yang lebih baik dariku, tapi jika memang kau adalah jodohku, maka cintalah yang akan menuntunku kembali kepadamu, Radit. Aku sayang kamu, tapi keadaan memaksaku untuk melepaskanmu agar aku tidak mengganggumu lagi. Maaf.
Baca Juga: Trouble Maker (Part 5), Trouble Maker (Part 4), Trouble Maker (Part 3), Trouble Maker (Part 2), Trouble Maker (Part 1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H