Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Trouble Maker [Part 1]

8 Februari 2019   12:06 Diperbarui: 21 Maret 2019   11:54 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah Novel yang saya tulis 2009 silam saat masih nyantri. Terdapat 8 judul Novel/Novela yang saya tulis tangan dalam 3 tahun mondok. Dari pada lapuk disimpan saja, bahkan beberapa kertasnya ada yang termakan rayap, jadi saya putuskan untuk mengetik ulang dan ngedit dikit (terima kasih 2010 silam ada yang berbaik hati bantu mengetikkan). 

Sebagai bentuk menghargai proses pada saya yang dulu suka menulis meski tulisannya nggak bagus-bagus amat, kadang ngakak juga baca tulisan sendiri yang alay-lebay ala-ala remaja gitu. 

Mengenang pula bagaimana dulu berhemat menyisihkan usang saku demi membeli buku tulis dan bolpoin (terima kasih pada teman yang menyumbang buku tulis kosong agar saya tetap menulis). 

Ah, masa-masa nyantri memang benar-benar masa bertapa ya? Tapi yang namanya remaja, meskipun santri kadang imajinasinya sedikit liar. Jadi, meski ini ditulis saat nyantri, jangan berharap bahwa jalan ceritanya akan islami. Well, selamat membaca. Mohon komentar dan masukannya ya, kompasianers...

1

MANUSIA BATU

KISAH tentang manusia langit, mungkinkan itu nyata?

Tangan-tangan hina manusia bumi yang terus menggapai-gapai impian ditempat pijakannya teruslah bertambah, berjubel, menyeruak. Apa mereka manusia bodoh? Mereka tidak mengakuinya, lagi pula siapa yang mau disebut bodoh? Tapi aku adalah manusia yang mengakui kebodohanku sendiri. 

Bagaimana  tidak? Aku punya mimpi yang besar, aku punya harapan yang kugantungkan di atap langit. Tapi tak sedikitpun aku berusaha meraihnya. Hanya meneriakinya agar menghampiriku. Hanya berani mengumandangkan dengan lantang bahwa itu mimpiku dan suatu saat pasti bisa kuraih. Tapi apa mungkin bisa kuraih?

Setiap kali ditanya apa cita-citaku, spontan kujawab "Mau jadi Astronot luar angkasa". Tapi sejak SD hingga SMA ini, aku belum pernah masuk peringkat 10 besar di kelas. Paling benci ngitung, apalagi Fisika, njelimet. Dan saat ini cita-citaku berubah, aku mau jadi kritikus film saja. 

Kalau ada, dan bayarannya besar aku mau. Apalagi kalau malah diajak jadi pemain film Hollywood, nggak bakal aku tolak deh. Ah, sudahlah. Itu cuma khayalanku saja karena baru selesai nonton film tentang astronot yang kerasa horor berjudul "Apollo 18", menceritakan tentang misi rahasia NASA yang gagal. 

Dua astronot yang diberangkatkan ke Bulan menemukan bahwa ada pendaratan makhluk lain di Bulan. Akhirnya bukan jadi misi eksplorasi malah jadi misi  bunuh diri. Nah lo, serem amat yak jadi astronot kalau harus mati sendirian di luar angkasa.   

Semua itu terasa begitu kontras dengan kakak kelasku yang sudah 5 bulan jadi pacarku, kekasih hatiku, Radit. Dia seumuran denganku, tapi dia ikut akselerasi. Dia tipe pekerja keras dan tidak pernah puas dengan apa yang ia dapat. 

Tidak pernah setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu. Di SMA Pancasila ini siapa yang tak kenal Radit dengan segudang prestasinya. Apalagi bulan kemarin dia baru menyabet jawara olimpiade Fisika tingkat Nasional. 

Beda banget yah sama aku? Aku beruntung punya pacar seperti dia, tapi  kalian pernah dengar kan pepatah  yang bilang "Tak ada gading yang tak retak".

"Sudah lama ya kita tidak jalan-jalan kayak gini," ucapku memanja sambil menggelayuti tangannya.

"Iya."

"Kamu sih sibuk terus."

"Sorry!"

"Kita ke sana yuk. Kayaknya asyik deh," ajakku.

Radit dingin tak menjawabku. Hanya diam menatap langit.

"Tenang saja, langit tidak akan runtuh hari ini kok, Dit." Aku hanya mencoba mencairkan suasana. Tapi gagal. Dia tetap enggan memberikan perhatian lebih.

"Kalau cuma mau diem-dieman begini ngapain kamu mau aku ajak ke sini, Dit." Aku semakin kesal.

"Ya sudah, aku pulang duluan ya." Radit beranjak pergi meninggalkanku.

"Ya udah pergi saja sana, nggak perlu balik lagi. Lupain aja kalo kamu pernah kenal sama aku." Aku marah, kesal. Kok bisa aku punya pacar macam dia.

Dari kejauhan Radit menoleh ke arahku, aku kepalang seneng aja berharap dia akan kembali menghampiriku. Tapi ya, berharapku ketingggian sepertinya. Dia tetap melanjutkan langkahnya menuju sepeda motor matic-nya dan meninggalkan aku sendiri di tepi taman dengan wajah manyun, kesal. Oh, my Godness! Hubungan macam apa ini? 5 bulan menerimanya menjadi pacar dan perlakuannya masih sekaku ini? Dasar manusia batu.

Senja masih indah-indahnya, sayang jika aku lewatkan dan pulang mager gitu saja di rumah. Sembari menikmati pantulan sinar senja pada permukaan air danau, kubuka instagram dengan agak malas. Hanya scroll nggak jelas. 

Sampai pada suatu foto siluet seorang lelaki yang duduk sendiri dengan latar pemandangan di atas gunung  kala senja. Memberi kesan indah namun ekspresi galau yang disertai caption:

Apa itu cinta? Cinta, kenapa bisa meciptakan masalah? Padahal ia tak berwujud. Cinta sering dihubungkan dengan kesetiaan, penghianatan dan kegilaan. Bisakah kau menjelaskan itu semua?

Aku kenal dengan orang ini, namanya Radit. Tapi bukan Radit pacarku, Radit lain dari kota lain yang aku  kenal lewat medsos saja, belum pernah bertemu. Dengan cekatan aku membubuhi komentar pada postingannya.

Tidak perluu dijelaskan. Cukup dirasakan. Sebab cinta tak melulu tentang keindahan. Kadang dingin, kaku dan sunyi adalah bagian dari cinta yang tetap renyah dinikmati.

Tak  berapa lama, Radit memberikan balasan, namun via chat WA. Ya, kami sudah lumayan dekat sampai hampir setiap hari chat dan telfon. Kadang video call juga. Dalam kontakku, Radit yang ini aku beri nama My Prince. Kenapa? Karena selain dia ganteng, dia pandai bikin puisi dan pernah pula mengirimkan 3 eksemplar buku kumpulan puisinya yang baru saja diterbitkan, keren isinya, suka. Jadi ya, nggak salah dong jika aku berharap sebagai princess dan dia prince chraming-nya. Haha.

Aku sendiri tak faham apa itu cinta. Cinta bagiku tak dapat dirumuskan, bukan ilmiah, bukan pula sesuatu. Karena  cinta tak dapat di definisikan, ia sering membuat masalah. Kesetian timbul karena cinta, pengkhianatan timbul karena hilangnya cinta dan kegilaan timbul karena cinta yang tak terkontrol.

"My Prince"

Dan apakah boleh kusebut cinta saat aku merasa gila ketika aku memikirkanmu?

Aku tertegun memandangi balasan dari Radit yang tak biasanya begini.

Jika cinta diibaratkan seruling, maka akan tergantung pada tangan sang peniup yang menutup beberapa lubangnya untuk menghasilkan melodi. Jika engkau mengerti maka kau akan tahu seperti apa sebenarnya itu cinta. Dan cinta tak bisa memilih. Maka kuucapkan terima kasih jika kau mencintaiku. Dan maaf jika aku telah menjatuhkan pilihan pada yang lain. 

"My Prince"

Aku akan mendaftarkan diri untuk jadi pemilikimu setelah orang itu.

Obrolan semakin keluar jalur. Menambah kekesalanku saja. Ah, sudah hampir petang. Mungkin lebih baik aku pulang saja. Senja sudah usai, kau boleh tak mencintaiku lagi, Radit.  

                                                            ***

"Eh! Kamu udah denger kabar belum?"

"Kabar apaan, Prin?"

"Ardi anak XII IPS4 ketangkap sakau di toilet kemarin, Rin! "

"Sumpah?"

"Iya. Terus waktu dia dibawa ke rumah sakit, sejam kemudian meninggal. Kasihan ya, Rin?"

"Kasihan sih kasihan, Prin. Tapi itu kan salahnya sendiri. "

"Eh, Rin! Bukannya Ardi itu mantan kamu ya?"

"Prinsa ..... Cuma deket aja pas SD, bukan pacaran. Jadi nggak bisa dibilang mantan."Rinta kesal, aku ngakak.

Sambil menyusuri koridor menuju kelas, pagi ini aku barsama Rinta membicarakan banyak hal, semacam rumpi no secreet gitu hehe. Rinta adalah sahabat yang paling dekat dengan aku sejak SMP lalu masuk di SMA yang sama pula, bahkan saat MOS kemarin Rinta ngotot diletakkan di kelompok yang sama denganku. Dan hari ini adalah hari pertama masuk setelah liburan semester ganjil di tahun pertama kami jadi si putih abu-abu.  

Rinta tipe orang yang easy going, nggak mau mikir ruwet kalau lagi punya masalah. Makanya, tiap selesai curhat sama Rinta aku jadi lega. Segala rahasiaku, dia tahu. Tapi kalau sudah menyangkut masalah Radit, no coment katanya, Rintalah orang yang membuatku sadar bahwa aku adalah orang bodoh yang mau pacaran sama Radit. Tapi aku selalu melakukan pembelaan yang kalau di fikir-fikir sih nggak logis banget.

Begitu sampai di kelas, aku sudah mendapati Radit duduk di bangkuku. Aneh, ngapain Radit duduk di situ sepagi ini? Rinta segera menyingkir menyuruhku untuk menghapirinya.

"Ngapain di sini?" Sapaku masih kesal sambil meletakkan tas di atas meja.

"Oh yaudah kalau ganggu." Kemudian dia nyelonong pergi begitu saja. Dasar Radit. Nggak ada usaha buat minta maaf, atau basa-basi ngasih penjelasan sejak kejadian kemarin sore. Alamak, tanda-tanda akan berakhir ini hubungan. Hiks.

Hari pertama masuk, pelajaran masih ringan diikuti. Sampai dengan pulang sekolah, aku tidak bertemu Radit. Ada apa lagi dengan manusia batu satu ini? Ah, aku lelah terus bertahan dengan hubungan yang aneh ini. Mungkin benar kata Rinta, aku harus segera melupakannya.

Rinta ikut ke rumahku, sampai sore kami memperbincangkan banyak hal. Termasuk Film Dilan yang akan segera tayang. Aku baru selesai  baca ke-tiga novel karya Pidi Baiq itu sebulan yang lalu, pinjam punya Rinta. Dan bisa ditebaklah, bagaimana hebohnya kami tergila-gila pada Dilan. 

Sehabis ashar, Rinta pamit pulang. Papa dan Mama masih di luar kota hingga tiga hari ke depan, ada workshop katanya. Aku hannya menggeletak bosan di depan televisi dan Si Bibi sedang berisik di dapur nyiapin makan malam.

"Manusia Batu"

Ada waktu?

Huh! Dasar Radit. Irit banget ngomongnya. Aku biarkan saja pesannya. Tak lama, ia menelfon.

"Aku tunggu di sekolah sekarang. Kamu punya waktu 20 menit dari sekarang."

Belum juga aku menjawab, sudah ditutupnya saluran telepon. Perasaan aku kan yang lagi marah sama dia, kenapa galakan dia?

Aku langsung bergegas tanpa pikir panjang, kuambil sepatu dan seperti di kejar pocong, aku lari sekencang-kencangnya menuju ke sekolah yang berjarak sekitar 3 km. Ponsel tulalat -- tulilit tak aku pedulikan.

Bagitu sampai di sekolah, kuatur nafas yang terengah sembari mengedar pandang mencari Radit, peluh semakin mengucur. Detak jantung cepat, keras dan tak beraturan. Tiba-tiba ponselku memekik. "Aku ada di lapangan basket."

Dengan setengah berlari aku langsung menuju lapangan basket, saat tiba dipinggir lapangan, ku lihat ada seorang cowok memakai baju yang biasa di pakai club basket sekolah untuk latihan. Dia duduk bersila dengan memegang bola basket berwarna hitam.

"Radit?" Sapaku sambil melangkah mendekati.

 Dia bangkit, turut berjalan menuju arahku. Dan melempar bola itu padaku sambil berkata, " 18 menit 22 detik. Lumayanlah buat pemanasan."

" Emang mau ngapain?" Aku masih berusaha mengatur nafas.

"Temani aku main basket." Radit langsung mengambil posisi.  Aku tersenyum  tawar.

"Ayo cepat lempar bolanya." Suruh Radit. Aku masih diam enggan.

"Kenapa?" Radit memandang tajam ke arahku.

"Kakiku keseleo pas lari tadi..." Aku merengek sambil menunjuk-nunnjuk kakiku yang sakit.

" Heh... Hahaha." Tanpa ampun Radit tertawa menggelegar seolah membelah langit.

"Terus aja ketawa sampai puas."

Begini banget ya nasibku, punya pacar macam alien begini. Susah ditebak maunya. Tanpa bisa kucegah, air mata meluncur menuruni wajahku, menetes tepat jatuh membasahi lantai lapangan basket. Serupa tetesan-tetesan hujan. Eh, bukan. Itu bukan cuma tetesan air mataku. Ternyata benar-benar gerimis, yang perlahan tetesannya berubah menjadi hujan lebat.

Radit berhenti tertawa, perlahan ia mendekatiku memegang kepalaku dengan kedua tangannya, mengangkat wajahku yang tertunduk menangis. Ia hapus air mataku meskipun itu percuma. Karena  air mataku telah bercampur dengan air hujan. 

Sigap, Radit membungkukkan tubuhnya. Mengurangi tinggi tubuhnya yang sejatinya 32 cm lebih tinggi dariku. Terasa olehku, sesuatu menyentuh bibirku, lembut. Hujan semakin deras.

"Temani aku main." Ucapnya menghentikan suasana romantis itu.

"Tapi hujan tambah deras, Dit."

Radit menyatukan kedua telapak tangannya, memohon dengan wajah sok melasnya. Aduuhhh.... cute banget wajahnya. Oh, Radit. Kau buat hatiku meleleh. Peduli amat deh sama hujan ini. Aku hanya berharap waktu enggan berjalan saat ini. Radit yang begini sudah sangat cukup bagiku. Jangan sampai berubah jadi manusia batu atau alien lagi ya, Raditku sayang.

"Boleh.... " Ku ambil bola basket yang bergelinding sampai tepi lapangan. Segera aku dribel, melakukan sedikit atraksi menggoda Radit untuk mendekat dan berebut bola denganku. Radit merespon mauku, ia tak segera mematahkan langkahku. Tapi masih menurutiku untuk sedikit bermain nakal. Nggak apa-apa meski harus menahan rasa nyeri keseleo tadi, asal bisa berdua sama Radit.

Lama, mungkin sejam telah berlalu. Radit masih memaksaku untuk meladeninya main basket. Hujan mungkin sudah agak reda, tapi gerimis masih ada ssatu dua. Tubuhku menggigil kedinginan. Tapi Radit tak peduli, ia tetap bersih kukuh untuk terus main. Selain sikap cueknya yang nggak ketulungan, satu lagi yang tidak kalah buat kesal, yaitu keangkuhannya. Jadi bukan alasan jika aku menamainnya manusia batu.

Semakin tak kuasa menahan dingin yang kian menggigit dan nyeri yang kian menjadi, ujung jemarikupun mengkerut, kepalaku terasa berat. Mengaduh, aku tak kuat lagi menahan. Tubuhku ambruk tergeletak, terkulai diguyur gerimis.

****

Begitu tersadar, aku sudah terlentang di sebuah ranjang dengan selimut setinggi dada. Ku edarakan pandang, seluruh ruangan ini dipenuhi dengan nuansa hijau. Bagus, kamar ini di tata rapi. Aku bangun, ternyata bajukupun telah berubah dengan piyama yang juga warna hijau. 

Aku duduk, gorden kamar itu masih tertutup tapi jelas diluar terang menandakan telah pagi. Ku lihat jam di meja kecil dekat ranjang telah menunjukkan pukul 07.35. Di dekat jam itu ada pigora kecil yang terisi fotoku dan Radit. Aku yakin ini kamar Radit.

Tiba-tiba ada yang membuka pintu, seorang perempuan setengah baya membawa nampan berisi semangkok bubur dan segelas susu hangat. Aku tahu dia mamanya Radit.

"Sudah bangun, Nak? " Sapanya dengan senyum ramah sambil meletakkan nampan itu di atas meja kecil.

Aku membalasnya dengan senyum pula.

"Sudah mendingan? Ndak panas lagi, Nak?" Ucapnya sambil menyentuh keningku, badanku masih agak panas memang.

"Emang saya kenapa, Tante?"

"Semalam kamu panas. Radit sampai tidak tidur jagain kamu sambil terus ngompres kening dan kakimu yang keseleo. Bahkan tadi pagi Tante bangunin Radit dalam posisi tidur duduk di samping kamu."

"Oh ya, Tan?"

Radit? Benarkah yang tadi aku dengar? Ternyata dia bisa juga kawatirin aku. Coba aja aku tahu, aku pengen lihat wajah Radit yang sekawatir itu. Aku sih, tidurnya kayak orang mati, bisa-bisanya sampai semalaman nggak bangun-bangun. Haha.

"Sekarang Radit mana, Tante?"

"Dia sudah berangkat sekolah, baru aja."

"Kok Prinsa nggak dibangunin, Tante."

"Prinsa tenang aja, lagi pula kamu masih belum sehat betul kan, Nak? Katanya Radit yang bakalan ngijinin kamu. Tadi sebelum ke sekolah juga, Radit mengabari Mama kamu lewat telfon. Biar tidak kawatir katanya. "

Wah!!! Radit, perhatian banget.

"Sudah, kamu istirahat saja dulu. Ini sarapan, terus minum obatnya biar cepat sembuh."

Aku mengangguk.

Aku tak langsung sarapan, tapi aku masih mandi dulu. Menyegarkan badan yang lusuh. Setelah itu kubuka lemari pakaian Radit. Langsung ku ambil T-Shirt warna hijau dan celana jeans. Usai sarapan, kubawa nampan keluar hendak aku letakkan di dapur.

"Sudah sarapannya, Nak?"

"Iya Tante."

"Tadi Radit telfon ke sini. Prinsa jangan kemana-mana sampai dia pulang nanti. Gitu katanya."

"Oh." Aku manggut-manggut saja. "Tante lagi masak apa? Mau Prinsa bantu, Tan? "

"Tidak usah, kamu istirahat aja." Tolaknya dengan senyum ramah. Mamanya baik banget ya, suka heran deh dari mana sikap Radit yang secuek itu.

Aku beranjak lagi masuk kamar Radit. Pasti Radit sudah istirahat sekarang deh. Aku telfon ah.

"Halo....Lagi istirahat kan?"

 "Udah bangun kamu? Masih panas gak? Kakimu masih sakit, Prin?"

 "Udah sehat banget kok. Thanks ya."

 "Buat?"

 "Thanks for everything, for your care, for your nice....... And for your love."

"Don't mention it. I'm glad if you fine!"

"I'm more glad than you, let's go home. I'm wait boredly here."

"Key."

Ehm! Radit... Radit. Kalau saja kamu seperti ini setiap hari, pasti aku makin cinta sama kamu. Yah, dasar perempuan ya. Diperhatiin dikit saja sudah meleleh. Lupa deh ama kesal dan marahnya kemarin. Hehe.

Aku beralih menjelajahi kamar Radit. Banyak hal yang menakjubkan yang aku temukan, selain ratusan buku, ada satu benda yang benar-benar terlihat aneh. It's Diary. Cowok seperti Radit punya buku diary? Jadi penasaran. Awal aku buka, penuh dengan exited-nya pada fisika, itu wajar. Tapi ada beberapa lembar mengisahkan tentang percintaannya.

Kamis, 27 Juni 2017

Ini kisah tentang si genius dan seorang bidadari. Namanya Prinsa, murid baru, dia unik dan entah mengapa aku tertarik padanya.Tapi aku tak punya keberanian untuk hanya berbicara dengannya, itu dulu. Pagi ini, kami tidak sengaja berpapasan di koridor sekolah, dia tersenyum padaku. Senyumnya, serupa rekahan bunga dikesejukan pagi. 

Entah apa yang terjadi dengan diriku. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang, darahku berdesir cepat. Sesuatu itu bereaksi dengan sesuatu lain dalam tubuhku, tapi tak dapat menjelaskan persamaan reaksinya. Apa ini yang namanya jatuh cinta? Aneh.

Dan pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu dia lagi di toko buku. Dia membeli novel. Sedang aku beli Biografi Abraman Lincolm. Di sana, pertama kalinya aku di ajak kenalan olehnya. Tangannya halus, matanya berbinar seperti bintang. Cantik.

Ini beneran tulisan Radit? Benar-benar sulit dipercaya.

Kamis, 29 Juli 2017

Jagad tengah berguncang karena kehilangan bintangnya. Malam sedang menangis karena kehilangan bulan.Tahukah kalian kenapa? Karena saat ini, akulah yang mencurinya, semua itu aku persembahkan untuk bidadariku. Aku telah memilikinya, sejak hari ini. Aku ini lelaki macam apa tak berani mengucapkan perasaannya sendiri. Justru dia yang seorang perempuan yang menyatakan cintanya padaku. 

 

Radit? Ternyata dia duluan yang suka aku? Kenapa aku dulu masang muka besi buat nembak dia. Mana pas jawab iya tetap pasang wajah dingin dan cueknya lagi. Gemes.

"Tidak sopan baca diary orang tanpa seizinnya." Tiba-tiba ada yang mengambil buku itu dari tanganku.

"Radit?" Aku terkejut, "kamu sudah pulang?"

"Udah sejauh mana kamu menjelajah kamarku?" Tukas Radit sambil mengedar pandang. Mungkin ia melihat ada beberapa benda yang letaknya beralih.

"Siap-siap. Aku antar pulang."

"Sekarang?" 

"Bukannya dari tadi  kamu pengen pulang kan?"

Ih! Dasar. Kumat lagi deh penyakitnya.

"Ternyata aku salah yah nembak duluan waktu itu?" Ucapku mengalihkan pembicaraan.

Radit memandangku tajam. Kemudian ia menarik tanganku. "Aku antar sekarang kamu pulang."

Baru aja aku ngarep Radit berubah. Eh, ternyata sama saja. Benar-benar manusia batu. Tapi kenapa ya, justru bikin penasaran gitu. Radit itu misterius. Banyak hal yang ingin aku telusuri dari seorang manusia batu sepertinya.

Baca Juga: Trouble Maker (Part 5),  Trouble Maker (Part 4), Trouble Maker (Part 3), Trouble Maker (Part 2), Trouble Maker (Part 1)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun