Dia bangkit, turut berjalan menuju arahku. Dan melempar bola itu padaku sambil berkata, " 18 menit 22 detik. Lumayanlah buat pemanasan."
" Emang mau ngapain?" Aku masih berusaha mengatur nafas.
"Temani aku main basket." Radit langsung mengambil posisi.  Aku tersenyum  tawar.
"Ayo cepat lempar bolanya." Suruh Radit. Aku masih diam enggan.
"Kenapa?" Radit memandang tajam ke arahku.
"Kakiku keseleo pas lari tadi..." Aku merengek sambil menunjuk-nunnjuk kakiku yang sakit.
" Heh... Hahaha." Tanpa ampun Radit tertawa menggelegar seolah membelah langit.
"Terus aja ketawa sampai puas."
Begini banget ya nasibku, punya pacar macam alien begini. Susah ditebak maunya. Tanpa bisa kucegah, air mata meluncur menuruni wajahku, menetes tepat jatuh membasahi lantai lapangan basket. Serupa tetesan-tetesan hujan. Eh, bukan. Itu bukan cuma tetesan air mataku. Ternyata benar-benar gerimis, yang perlahan tetesannya berubah menjadi hujan lebat.
Radit berhenti tertawa, perlahan ia mendekatiku memegang kepalaku dengan kedua tangannya, mengangkat wajahku yang tertunduk menangis. Ia hapus air mataku meskipun itu percuma. Karena  air mataku telah bercampur dengan air hujan.Â
Sigap, Radit membungkukkan tubuhnya. Mengurangi tinggi tubuhnya yang sejatinya 32 cm lebih tinggi dariku. Terasa olehku, sesuatu menyentuh bibirku, lembut. Hujan semakin deras.