"Sumpah?"
"Iya. Terus waktu dia dibawa ke rumah sakit, sejam kemudian meninggal. Kasihan ya, Rin?"
"Kasihan sih kasihan, Prin. Tapi itu kan salahnya sendiri. "
"Eh, Rin! Bukannya Ardi itu mantan kamu ya?"
"Prinsa ..... Cuma deket aja pas SD, bukan pacaran. Jadi nggak bisa dibilang mantan."Rinta kesal, aku ngakak.
Sambil menyusuri koridor menuju kelas, pagi ini aku barsama Rinta membicarakan banyak hal, semacam rumpi no secreet gitu hehe. Rinta adalah sahabat yang paling dekat dengan aku sejak SMP lalu masuk di SMA yang sama pula, bahkan saat MOS kemarin Rinta ngotot diletakkan di kelompok yang sama denganku. Dan hari ini adalah hari pertama masuk setelah liburan semester ganjil di tahun pertama kami jadi si putih abu-abu. Â
Rinta tipe orang yang easy going, nggak mau mikir ruwet kalau lagi punya masalah. Makanya, tiap selesai curhat sama Rinta aku jadi lega. Segala rahasiaku, dia tahu. Tapi kalau sudah menyangkut masalah Radit, no coment katanya, Rintalah orang yang membuatku sadar bahwa aku adalah orang bodoh yang mau pacaran sama Radit. Tapi aku selalu melakukan pembelaan yang kalau di fikir-fikir sih nggak logis banget.
Begitu sampai di kelas, aku sudah mendapati Radit duduk di bangkuku. Aneh, ngapain Radit duduk di situ sepagi ini? Rinta segera menyingkir menyuruhku untuk menghapirinya.
"Ngapain di sini?" Sapaku masih kesal sambil meletakkan tas di atas meja.
"Oh yaudah kalau ganggu." Kemudian dia nyelonong pergi begitu saja. Dasar Radit. Nggak ada usaha buat minta maaf, atau basa-basi ngasih penjelasan sejak kejadian kemarin sore. Alamak, tanda-tanda akan berakhir ini hubungan. Hiks.
Hari pertama masuk, pelajaran masih ringan diikuti. Sampai dengan pulang sekolah, aku tidak bertemu Radit. Ada apa lagi dengan manusia batu satu ini? Ah, aku lelah terus bertahan dengan hubungan yang aneh ini. Mungkin benar kata Rinta, aku harus segera melupakannya.