Baiklah, kali ini aku sudah kuat.Â
Seingatku (lagi) ada bengkel besar kira-kira lima ratus meter dari tempatku berdiri sekarang. Maka dengan perasaan yang sudah biasa saja –tidak kesal tidak sedih— aku kembali menuntun motorku ke bengkel itu.Â
***
-----------Buka Pukul 09.00------------
Sekarang baru hampir jam delapan. Dan tulisan itu menyambutku sesampainya di bengkel. Tempat ini dicat dominan biru, dengan pintu lipat gesernya yang masih terkunci rapat.Â
Tapi tidak apa.Â
Aku mengeluarkan ponsel. Mengirim pesan pada atasan, memohon ijin bahwa hari ini aku datang terlambat. Satu masalah terselesaikan.
Pelan-pelan, aku mencoba menata isi kepala agar bisa berpikir dengan jernih.Â
***
Sejatinya kantor desa tidak terlalu jauh dari bengkel ini. Jika aku berjalan cepat, mungkin aku bisa sampai ke sana dalam lima belas menit.Â
Maka mengingat aku yang makin bosan menunggu di sini, aku memutuskan untuk meninggalkan motorku di depan bengkel yang belum buka. Sembari menenteng ransel yang sudah turun warna itu, dengan penuh kesabaran dan kesadaran, aku mulai berjalan kaki ke kantor desa.Â