Aku mendudukkan diri di kursi teras. Menyandarkan punggung sehingga posisiku lebih santai. Sekarang hampir pukul lima sore. Tirai hujan masih rapat.Â
Aku bisa melihat langit berhias mendung putih, dengan sesekali burung-burung gereja melintas. Gemar sekali mereka bermandi hujan, pikirku.
Jika kuedarkan pandangan ke sekeliling, kudapati dedaunan hijau sedang mengangguk-angguk sebab keberatan menampa air. Jalanan di depan rumah yang mengilap menandai betapa ruah air tumpah dari angkasa sore ini.
Tentang si burung gereja, aku pun pernah hendak menjadi burung. Dulu. Sebab tertarik pada sayapnya.
Kukira menyenangkan sekali dapat terbang bebas ke sana kemari. Singgah sesukanya, pergi sesukanya.Â
Sejenak kemudian, burung-burung gereja itu sudah lenyap. Aku kembali terdiam sembari mendengar bunyi hujan dengan khusyu'. Diam begini membuatku teringat banyaknya peristiwa terjadi beberapa hari terakhir.Â
Sekarang, setelah semua peristiwa itu usai, aku hanya tertawa saja saat teringat olehnya. Mungkin belum tuntas benar, tapi marilah tersenyum sedikit sambil mencoba merunutnya kembali. Siapa tahu selepas itu, semua akan lebih ringan terlewati.Â
***
Pukul tujuh pagi, aku dan motorku sudah meluncur ke jalanan. Kantor masuk pukul delapan, artinya aku punya waktu satu jam untuk perjalanan. Sembari menyetir, terlintas lagi di kepalaku tentang kejadian semalam. Kira-kira menjelang pukul sepuluh malam, aku sedang asyik menyetir pulang. Tiba-tiba ban belakang motorku terasa tak seimbang, seperti mau jatuh, terutama ketika aku hendak berbelok.Â
Buru-buru aku berhenti di pinggir jalan. Tepat di  sebelah pujasera ramai orang.Â
Aih! Ban belakang bocor.