Bentuk-bentuk Online Child Sexual Exploitation
Eksploitasi seksual terhadap anak dan wanita, dewasa ini menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan. Dari sudut pandang manapun eksploitasi seksual tersebut sangat tidak dibenarkan. Eksploitasi seksual pada anak tersebut semakin hari berkembang semakin banyak dan memprihatinkan. Anak dalam kondisi kekurangmatangan jiwanya, sangatlah membutuhkan perlindungan dari berbagai pihak. Deklarasi Hak Anak yang menjadi instrumen internasional secara prinsip merupakan General Statement atau pernyataan umum mengenai prinsip-prinsip yang diterima oleh internasional. Instrumen internasional berikutnya diwujudkan dalam sebuah Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), yang mengikat secara yuridis dan politis bagi negara-negara pihak. Pada tataran legislasi nasional, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dalam dasar pertimbangannya meletakkan dasar perlindungan dan kesejahteraan bagi anak harus dijamin oleh negara dan harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut sekali lagi karena mengingat bahwa anak adalah merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang tentu saja melekat pula harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara(vide Konsiderans Menimbang Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Namun apa yang terjadi dewasa ini melalui kejahatan-kejahatan yang mengeksploitasi anak secara seksual dan menempatkan anak sebagai korban sesungguhnya menunjukkan bahwasannya terdapat permasalahan dengan konsep perlindungan anak itu sendiri. Menurut laporan dari www.humantrafficking.org mengemukakan fakta sebagai berikut:
Internal trafficking from rural to urban remains a problem in Indonesia, with women and girls exploited in domestic servitude, commercial sexual exploitation, and in forced labor in rural agriculture, mining, and fishing. It is estimated that there are 3.2 million children between age of 10 - 17 years old in Indonesia engaged in employment with some involved in the worst forms of child labor. Some traffickers continue to forge partnerships with school officials to recruit young men and women in vocational programs for forced labor on fishing boats through fraudulent "internship" opportunities.
Bahkan menurut laporan dari Irwanto, Muhammad Farid, dan Jeffrey Anwar menyatakan: "An estimated 30 per cent of women involved in prostitution in Indonesiaare below the age of 18, with between 40,000 and 70,000 Indonesia children being victims of sexual exploitation." Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa tingkat prostitusi anak yang menjadi korban eskploitasi seksual sangatlah tinggi.
Disadari atau tidak angka tersebut akan semakin meningkat mengingat pula dengan kompleksitas jenis eksploitasi seksual yang semakin sering, dan seiiring pula dengan perkembangan teknologi yang dieskploitasi pula oleh orang jahat untuk melakukan perbuatannya dan mencapai apa yang diinginkannya. Â Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini menunjukkan percepatan yang sangat luar biasa, yang mengharuskan setiap orang untuk mampu berpacu dengan teknologi itu sendiri. Hadirnya Internet di tengah kehidupan manusia memberikan dampak yang cukup rumit dan signifikan dalam munculnya berbagai jenis kejahatan yang nampaknya baru, walaupun sesungguhnya tidak, hanya saja memberikan dimensi baru dengan adanya keterlibatan teknologi Internet dalam pelaksanaan dan modus kejahatan.
Kejahatan berdimensi baru ini bermanifestasi menjadi suatu kejahatan yang sangat canggih, yang memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, dan membutuhkan effort besar di dalam penanganannya mengingat terdapatnya kecanggihan teknologi yang dipergunakan. Kejahatan ini disebut dengan Kejahatan Siber (Cybercrime). Clifford, dalam buku Petrus Golosse, menyatakan bahwa Cybercrime adalah berbeda dengan kejahatan komputer lainnya, karena adanya kecepatan cyberspace sehingga terjadi perubahan mendasar mengenai kejahatan tersebut. Hal tersebut adalah:
1. Karena kecanggihan cyberspace, dalam hal ini dimaksudkan bahwa kejahatan dapat dilakukan dengan cepat
2. Karena cyberspace yang tidak terlihat secara fisik, maka interaksi baik individu maupun kelompok terjadi sehingga pemikiran yang dianggap illegal di luar dunia cyber dapat disebarkan ke masyarakat melalui dunia cyber
3. Karena dunia cyber yang universal memberikan kebebasan seseorang idenya termasuk yang illegal seperti muncul bentuk kejahatan baru, seperti cyberterrorism
4. Karena cyberspace tidak dalam bentuk fisik, maka konsep hukum yang digunakan menjadi kabur
5.  Kejahatan cyber bukan merupakan kejahatan domestik, tetapi sudah menjadi masalah internasional, dan sifat kejahatannya transnational.
Lebih jauh Shinder, dalam buku Petrus Golose, menegaskan bahwa kejahatan siber itu dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu cybercrime with violence dan cybercrime without violence. Pornografi anak yang dilakukan secara online oleh Shinder digolongkan sebagai cybercrime with violence karena menimbulkan kekerasan atau potensial kekerasan bagi anak yang menjadi korban.
Berdasarkan penjelasan tersebut sesungguhnya dapat dilihat bahwa dengan kecanggihan teknologi menimbulkan berbagai macam dampak yang sekalipun tidak nampak secara fisik secara langsung, tetapi lama kelamaan menimbulkan kekerasan bagi anak yang menjadi korban. Amalee McCoy dalam presentasinya pada Conference on Sexual Crimes Against Children Online: Law Enforcement & Regional Cooperation di Jakarta pada tanggal 29 - 30 Oktober 2012 yang lalu jelas mengingatkan:
-Â Â Â Â Child victims of sexual or physical abuse =4x increased risk of suicidal thoughts & attempts
-Â Â 2005 study of 7th and 8th grade students in The Republic of Korea: Females who are both victims and perpetrators of bullyingNearly 2x more likely to have attempt suicide or other self-harm
-Â Â 2010 study In Manila, Philippines: Adults with history of child sexual abuse = 5x increased risk of attempted suicide
-Â Â Child victims of sexual abuse = 3x more likely to experience intimate partner violence as an adult
Harga yang sangat mahal yang dipertaruhkan bagi anak, dan kondisi yang sangat memprihatinkan ternyata pihak-pihak yang diberikan tanggung jawab oleh Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berusaha melalaikan dan tidak memperhatikan kepentingan anak.
4 Prinsip perlindungan anak sebagaimana ditegaskan di dalam Konvensi Hak Anak dan juga di dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memberikan ketegasan bahwa anak harus dilindungi, apapun dan dalam kondisi bagaimanapun. Prinsip tersebut adalah: 1. Non Diskriminasi; 2. Yang terbaik bagi anak (best interest of the child); 3. Kelangsungan hidup (survival and development); dan 4. Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child). Prinsip-prinisp tersebut haruslah dipegang teguh demi terwujudnya perlindungan anak yang baik.
Lebih lanjut terkait dengan aktivitas child sexual exploitation, Napolen Bonaparte menunjukkan mengenai kondisi fakta sebagai berikut:
-Â Â Indonesian children were recruited into sex trafficking through Internet, "social networking media".
- Photo sharing technologies are used for the instantaneous and mass dissemination of sexually abusive images of children for personal and commercial reasons.
-Â Â E-commerce tools are used to conduct the financial transactions associated with the sale of images and videos of child exploitation, and the outright sale or rent of victims of human trafficking.
-  Identity theft ( known as "phishing" ).
-Â Â Certain websites pretend to offer "escorts services",
o while actually they are online solicitation for
o sexual activity involving minors.
Sungguh mencengangkan dan menegangkan apabila dipahami bahwa ternyata kegiatan eksploitasi seksual pada anak sering terjadi dan dilakukan di berbagai kota di Indonesia. Parahnya para pelaku mempergunakan fasilitas teknologi Internet yang memang saat ini menjadi the 2nd of life (meminjam istilah dari Petrus Golose) bagi para penggunanya. Media-media social networking, chat room facilities, ataupun fasilitas lainnya yang diberikan melalui internet ternyata menjadi incaran dan sasaran pelaku untuk menemukan dan menjerat korban, khususnya anak.
Berdasarkan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography , menjelaskan bentuk-bentuk eksploitasi pada anak. Yang dimaksud dengan:
Sale of children means any act or transaction whereby a child is transferred by any person or group of persons to another for remuneration or any other consideration
Child prostitution means the use of a child in sexual activities for remuneration or any other form of consideration
Child pornography means any representation, by whatever means, of a child engaged in real or simulatetd explicit sexual activities or any representation of the sexual parts of a child for primarily sexual purposes.
Merujuk pada penjelasan di atas, dapat dipahami sesungguhnya bentuk eksploitasi tersebut selalu melibatkan anak untuk kegiatan-kegiatan seksual dari orang-orang tertentu, baik untuk diri pelaku sendiri maupun untuk orang lain. Pada sale of children dan child prostitution, perbuatan eksploitasi tersebut selalu diikuti dengan pemberian remunerasi (pembayaran) maupun bentuk-bentuk lainnya yang dapat dianggap sama dengan pembayaran tersebut. Child pornography tidak melulu harus berupa diberikannya remunerasi, tetapi tidak menutup kemungkinan aktivitas tersebut juga diikuti oleh remunerasi, walaupun ada juga yang dilakukan karena memang pelaku hanya ingin memenuhi kesenangan dan fantasinya sendiri. Namun demikian sebagaimana dikemukakan oleh Shinder, pada faktanya perbuatan-perbuatan eksploitasi seksual tersebut dapat menimbulkan kekerasan atau potensial kekerasan, karena membawa anak pada situasi yang sangat tidak mengutungkan bagi dirinya dan perkembangannya di kemudian hari.
Muncul aktivitas lainnya yang berupa child sex tourism juga membutuhkan perhatian yang lebih dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah. Sekali lagi dengan mengingat bahwa anak berada pada posisi rentan untuk dieksploitasi dan akhirnya menempatkannya sebagai korban. Yang dimaksud dengan child sex tourism adalah:
Child sex tourism is the commercial sexual exploitation of children by foreigners. It usually refers to:
1. persons who travel from their own country to another to engage in sexual acts with children, or
2. Foreigners who engage in sexual activity with a child while overseas.
It often involves a third party who procures a child from local communities
Merujuk pada pemahaman yang dikemukakan tersebut memberikan makna bahwasanya aktivitas tourism ternyata dapat diikuti pula dengan dilakukannya child sex tourism. Aktivitas ini dikategorikan sebagai eksploitasi seksual komersial karena anak tersebut dieksploitasi secara seksual demi keuntungan orang asing yang menjadi turis di negara yang didatangi tersebut. Pelaku di sini dimaksudkan lebih pada orang asing yang menjadi turis di suatu negara tetapi terlibat dalam aktivitas sesksual dengan anak ketika berada di negara yang didatangi tersebut. Aktivitas ini sering pula melibatkan pihak ke tiga yang merekrut anak lokal daerah tersebut. Hal tersebut yang kemudian ditegaskan oleh Napoleon Bonaparte sebagai berikut:
-  Customers negotiate directly with the child prostitute in order to receive sexual gratification, or through an intermediary (pimp) who controls or oversees the prostitute's activities for profit and deliver those minors to hotels, brothels, villas in some areas: Bali, Lombok, Surabaya, Samarinda, Batam, Bandung, Cianjur, Papua and Jakarta.
-Â Â Many hotels will shamelessly arrange for a young school girl or boy to come to guest room for sex.
-Â Â Some minors found been sent to prostitution areas and brothels abroad.
Hotel dan tempat-tempat pelacuran setempat ternyata juga menjadi pendukung tumbuh suburnya praktik Child sex tourism tersebut. Terkait hal ini tentunya harus diadakan penyuluhan hukum bagi hotel-hotel, motel-motel, maupun tempat-tempat pelacuran mengenai perbuatan yang telah menjadi tindak pidana tersebut, dan atas perbuatan tersebut dapat diancam dengan pidana. Hal tersebut tentunya lebih menekankan pada upaya untuk mengingatkan setiap pihak harus menjamin terpenuhinya hak-hak anak, dan tidak malahan menyesatkan anak-anak korban sexual tourism tersebut.
Susan Song dalam workpaper advokasinya menjelaskan sebagai berikut:
The rapid expansion of the internet has also fueled the sex tourism industry by facilitating the booking of international flights, tours, and accommodations while offering virtual anonymity. Sex tour organizers also use the internet to distribute child pornography and advertise sex tours.
Rumitnya pencegahan dan penanganan Child sex tourism ini haruslah ditambah dengan dukungan fasilitas internet yang dapat menjadi intermediary party dalam aktivtas tersebut. Selanjutnya Susan Song menambahkan:
Although child sex tourism is a complex and difficult issue to solve, one thing is clear: the disturbing practice of child sex tourism will not relent any time soon unless drastic steps are taken and a sustained, coordinated commitment is made by governments, law enforcement agencies, private companies, and all sectors of civil society to galvanize social awareness, strengthen and enforce laws, reach workable solutions, and fight the root causes of child sex tourism. As for the sex tourists with their multitude of excuses - pleading ignorance of local laws and customs, adhering to myths of the "virgin cure," justifying actions based on so-called philanthropic intentions, etc. - the global community must pressure their leaders and hold their governments accountable for acting morally, lawfully, and courageously to punish these offenders and put an end to the crisis. Until then, the millions of children entangled in the global sex trade can only wait in silent hope.
Praktik Child sex tourism bagaimanapun dirasa mengganggu oleh semua orang, bukan semata-mata karena praktik yang menyimpang, tetapi juga karena tereksploitasinya anak, sehingga dapat mengancam masa depan anak itu sendiri, maupun secara luas berdampak pada masyarakat dan negara. Oleh karena itu praktik tersebut harus dicegah dan diberantas dengan cepat dan sampai ke akarnya.
Untuk itu diperlukan keseriusan dan ketanggapan dari Pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan pencegahan dan pemberatasan bagi aktivitas Child sex tourism tersebut. Lebih lanjut orangtua, keluarga, dan masyarakat juga memerlukan komitmen tinggi untuk selalu memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak.
Child Sexual Exploitation dan Pelanggaran Hak Anak
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Optional Protocol on CRC tersebut dan mengundangkan melalui Undang Undang nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optinonal Protocol to The Convention On The Rights Of Child On The Sale Of Children, Child Prostitution, And Child Pornography, yang diundangkan pada 23 Juli 2012 menunjukkan komitmen serius dari Pemerintah Indonesia atas perwujudan permberian perlindungan anak Indonesia, di manapun berada di dalam kondisi tereksploitasi. Pada penjelasan umum alinea 2 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2012 tersebut menjelaskan kembali mengenai kondisi meningkatnya angka eksploitasi anak. Dijelaskan bahwa "dengan meningkatnya penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak dalam lalu lintas internasional, perlu diperkuat penegakan hukum secara nyata dalam mencegah dan memberantas tindak pidana penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak". Menjadi syarat mutlak bahwa pencegahan dan pemberantasan atas tindak pidana tersebut memerlukan good will dari Pemerintah, Aparat penegak hukum, dan juga seluruh lapisan masyarakat.
Selanjutnya dalam pokok-pokok protokol opsional sebagaimana dirumuskan di dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2012 angka 3 huruf f, memantapkan konsep mengenai pemberian perlindungan hukum bagi anak dengan mengingat kepetingan yang terbaik bagi anak. Setiap negara pihak dalam Optional Protocol tersebut harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak-hak dan kepentingan yang terbaik bagi anak yang menjadi korban, termasuk dengan mengakui kebutuhan khususnya, mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh pendapatnya memberikan dukungan yang diperlukan selama dalam proses hukum, dan membebaskan dari segala bentuk ancaman dan balas dendam.
Mengingat hal tersebut, maka sesungguhnya tidak diperkenankan adanya pelanggaran hak anak dalam kondisi apapun, bagaimanapun, dan kapanpun. Terkait dengan hal ini adalah mengenai Hak Anak. Pada hakikatnya Deklarasi Hak Anak memuat 10 asas tentang hak anak (sebagaimana dikutip dari Maidin Gultom), yaitu:
1.     Anak berhak menikmati semua hak-haknya sesuai ketentuan.
2.     Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan, moral, spritual, dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan kebebasan dan harkatnya.
3.     Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan.
4.     Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh kembang secara sehat.
5. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan, dan perlakuan khusus.
6.  Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian.
7.  Anak berhak mendapatkan pendidikan wajib secara Cuma-Cuma sekurang-kurangnya di tingkat Sekolah Dasar.
8.   Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan
9.     Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan, penghisapan.
10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 2 huruf d menegaskan bahwa: "Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar". Merujuk pada asas tersebut, sesungguhnya kejahatan seksual pada anak baik yang dilakukan secara online atau tidak, yang dapat berupa penjualan anak, prostitusi anak, pornografi anak, dan juga child sex tourism telah merampas hak anak, karena anak di tempatkan dalam situasi yang membahayakan bagi perkembangan jiwanya dan mengancam masa depannya juga masa depan bangsa dan negara. Sebagaimana sering dikemukakan bahwasanya faktor penyebab terbesar terjadinya eksploitasi seksual anak ini tidak dipungkiri adalah karena faktor ekonomi dan kemiskinan. Tidak jarang anak dijual dan dieksploitasi seksual oleh orang tuanya sendiri maupun orang lain yang menjerat orangtuanya dengan hutang, balas budi, dan lain sebagainya. Pada kondisi ini anak harus diberikan perlindungan, entahkah dipindahkan dan dijauhkan dari lingkungan yang tidak sehat. Anak harus direlokasi ke tempat yang lebih aman.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak mengatur bahwa hak anak itu, mulai Pasal 4 sampai dengan Pasal 18, yang antara lain meliputi: hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orangtua; dan beberapa hak lainnya. Namun yang terpenting adalah bahwa anak juga berhak memperoleh perlindungan khusus, yaitu ketika anak berada dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, ... anak korban penculika, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental... (vide Pasal 59).
Ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa eksploitasi, kekerasan sesungguhnya merupakan keadaan khusus, di mana anak harus memperoleh perlindungan hukum khusus dari Pemerintah dan lembaga negara lainnya, dan bukan menelantarkannya atau membiarkannya.
Pasal 15 Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi memberikan kewajiban bagi setiap orang untuk melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi. Selain itu Pasal 16 mengenai proses pembinaan, pendampingan, serat pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Dilarang Dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terkait Dengan Child Sexual Exploitation
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur beberapa ketentuan pidana bagi perbuatan-perbuatan pidana, khususnya yang termasuk dalam hal ini adalah terkait dengan masalah eksploitasi anak, penjualan anak, pornografi anak, prostitusi anak, maupun child sex tourism. Jenis perbuatan pidana dan ketentuan pidananya adalah sebagai berikut:
1.  Mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat... anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, ... anak korban kekerasan. (vide Pasal 78 UU No. 23 Tahun 2002). Adapun ancaman pidana yang dapat dikenakan adalah pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta
2.    Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (vide Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002). Ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 300 juta dan paling sedikit Rp. 60 juta.
3.  Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002). Atas perbuatan tersebut dapat diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 300 juta dan paling sedikit Rp. 60 juta.
4.     Memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (vide Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002). Adapun ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 300 juta dan paling sedikit Rp. 60 juta.
Dengan merujuk pada ketentuan tersebut di atas, maka masih ditemukan kesulitan untuk dapat menjerat pelaku pornografi anak, apalagi dengan maraknya penggunaan internet oleh pelaku untuk melakukan pornografi anak.
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi harus dapat dioperasionalisasikan untuk menindak pelaku pornografi anak, yang mengeksploitasi anak sedemikian rupa sehingga menyebabkan anak berpotensi menjadi korban ataupun telah menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh setiap orang. Pasal 27 ayat (1) Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur mengenai perbuatan pidana yang terkait dengan kesusilaan. Makna kesusilaan di sini dapat dirujuk dengan ketentuan Pasal 281 - 283 KUHP, yang pada intinya juga mengatur mengenai delik pornografi. Pengertian pornografi sendiri dapat dipahami dari Undang Undang Noomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang dapat mengganggu rasa susila orang lain, atau dalam arti di sini adalah masyarakat.
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, pada Pasal 52 ayat (1) menegaskan adanya pemberatan tindak pidana sebesar 1/3 apabila perbuatan pidana sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan tersebut atau eksploitasi seksual pada anak. Penjelasan Pasal 27 ayat (1) tersebut menambahkan norma eksploitasi berpadanan dengan kesusilaan. Dengan demikian sepanjang delik kesusilaan (termasuk di dalamnya pornografi) atau eksploitasi seksual dilakukan oleh pelaku terhadap anak, maka akan diberikan pemberatan atas pidana pokoknya.
Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi juga mengatur mengenai perrbuatan yang dilarang, dalam hal ini yang terkait dengan child pornography, yaitu:
-Â Â Pasal 4 ayat (1) Ã perbuatan-perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan memperjualbelikan, menyewakan, menyediakan pronografi yang secara eksplisit memuat: ... pornografi anak.
-Â Â Â Â Â Pasal 4 ayat (2) Ã menyediakan jasa pornografi yang: a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. Menawarakan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
-Â Â Â Â Â Â Â Â Â Pasal 5 Ã meminjamkan atau mengunduh pornografi
- Pasal 6 Ã memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
-Â Â Pasal 7 Ã Mendanai atau memfasilitasi perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 4
- Pasal 8 Ã Dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi
-Â Pasal 9 Ã Menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi
-Â Pasal 10 Ã Mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya;
-Â Pasal 11 Ã Melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9
- Pasal 12 Ã Mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
Peraturan perundang-undangan nasional yang telah dimiliki oleh Indonesia haruslah dapat diimplementasikan dengan baik dan tepat, dengan selalu mengingat bahwa dalam hal cyber child sexual exploitation, entahkah yang berbentuk sale of children, child pornography, child prostitution, dan child sex tourism, benar-benar menempatkan anak sebagai korban, yang harus segera diberikan perlindungan hukumnya. Untuk itu bagi pelaku kejahatan ini haruslah dapat dipidana apabila memang pelaku tersebut memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana.
Bahan Bacaan:
Amalee McCoy, Makalah "Good Practices Supported by UNICEF to prevent & address sexual crimes against children online", 2012
Childsafe International. "Sexual Abuse and exploitation of children". Article. Diunduh dari http://www.childsafe-international.org
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2008
Napoleon Bonaparte, makalah "The effectiveness of Indonesian national legislation in addressing sexual crimes against children online", 2012
UNICEF, Pengertian Konvensi Hak Anak, 2003
Petrus Golose, Seputar Kejahatan Hacking: Teori dan Studi Kasus, 2008
Susan Song, Youth Advocate Program Internation Resource Paper, "Children as Tourist Attractions"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H