Mohon tunggu...
Tantri Liris Nareswari
Tantri Liris Nareswari Mohon Tunggu... Dosen - dosen farmasi di Institut Teknologi Sumatera

suka menulis dan mengamati

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kasus Toksisitas Etilen Glikol dan Dietilen Glikol: Masihkah Ada Celah untuk Perbaikan?

11 November 2022   15:20 Diperbarui: 14 November 2022   00:15 1515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi etilen glikol, fungsi etilen glikol, etilen glikol berbahaya. Ethylene glycol atau etilen glikol adalah zat kimia yang bisa berbahaya jika digunakan dengan cara tidak tepat, keracunan etilen glikol. Ditemukan dalam tubuh pasien, diduga jadi penyebab gagal ginjal akut misterius pada anak. (Shutterstock/sulit.photos via kompas.com)

Kontaminasi obat dengan dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG) yang terjadi baru-baru ini telah menimbulkan ancaman terhadap kesehatan nasional. 

Temuan kasus gangguan ginjal akut (Acute Kidney Injury/AKI) atau gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia masih bertambah. 

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan jumlahnya mencapai 324 kasus per Sabtu (5/11/2022). Kasus ini telah menelan sebanyak 194 korban jiwa anak-anak di 27 provinsi di Indonesia dengan golongan usia pasien terbanyak yakni bayi di bawah lima tahun (balita). 

Gejala yang mengarah pada penyakit ini yaitu diare, muntah, demam, batuk dan pilek, dan sedikitnya jumlah air seni atau bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali.

Darah dari pasien terbukti mengandung senyawa kimia etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil eter/EGBE. Senyawa kimia ini juga ditemukan dalam beberapa obat sirup yang dikonsumsi oleh para pasien.

Bukan Kasus Pertama

Kasus yang berkaitan dengan kontaminasi EG dan DEG bukanlah fenomena baru di dunia. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Centers for Desease Control, CDC) Amerika Serikat menyebut, kasus keracunan DEG akibat kontaminasi obat sebelumnya telah terjadi di AS, Nigeria, Panama, dan negara lainnya. Gagal ginjal akut merupakan wujud keracunan DEG, menurut CDC.

Pada tahun 1937, lebih dari 100 orang meninggal di AS akibat gagal ginjal akut setelah menelan obat sulfanilamid yang terkontaminasi DEG. Dalam kasus keracunan ini, DEG ditambahkan sebagai pemanis cair tanpa mengetahui sifatnya yang sangat beracun. 

Toksikosis yang tidak disengaja ini akhirnya menyebabkan diberlakukannya Undang-Undang Makanan, Obat, dan Kosmetik Federal 1938 yang menyebutkan bahwa obat harus dibuktikan keamanannya sebelum dipasarkan. Meskipun keracunan massal dari DEG tidak terjadi lagi di Amerika Serikat, namun kasus toksikosis DEG terus terjadi di negara berkembang.

Pada akhir 1995 dan awal 1996, lebih dari 100 anak dirawat di rumah sakit di Haiti dengan gagal ginjal akut karena menelan sirup asetaminofen yang terkontaminasi DEG yang diproduksi di Haiti. Dari 109 anak, 99 diantaranya meninggal. 

Antara tahun 1990 dan 1998, wabah keracunan DEG menyebabkan kematian ratusan anak di Argentina, Bangladesh, India, dan Nigeria. Pada tahun 2006, seorang dokter Panama melaporkan jumlah kasus gagal ginjal akut yang tidak biasa pada orang dewasa. 

Dua belas dari 21 pasien meninggal, dimana DEG diidentifikasi dalam sampel sirup obat batuk yang diresepkan. Dalam kasus ini, DEG hadir dalam bahan baku gliserin, pemanis yang biasa digunakan dalam obat-obatan cair. Pada tahun 2008, 84 anak meninggal di Nigeria setelah terpapar campuran gigi yang terkontaminasi DEG.

Si manis yang berbahaya, bagaimana bisa masuk ke obat?

DEG dan EG adalah cairan manis tidak berwarna dan tidak berbau yang ditemukan dalam produk komersial seperti resin, antibeku, tinta, dan lem. 

EG dan DEG tidak diizinkan sebagai bahan dalam produk farmasi dan makanan, tetapi batas maksimum diperbolehkan untuk residu, karena zat ini dapat ditemukan sebagai kontaminan di berbagai produk konsumen (1 mg/g menurut FDA dan 620 g/g menurut Konvensi Farmakope AS tahun 2007). 

Dosis toksik minimum dietilen glikol adalah 0,14 mg/kg berat badan (BB) dan dosis mematikan adalah 1 g/kg BB (diibaratkan 10 gram untuk orang dengan berat badan 10 kg). 

Sehingga konsentrasi pengotor yang biasa ada di gliserin atau propilen glikol, yaitu 0,1% dietilen glikol atau etilen glikol dalam cairan sebenarnya dapat dianggap aman.

Investigasi pada wabah gagal ginjal karena DEG tahun 2006 di Panama menemukan bahwa bahan baku impor berlabel gliserin yang digunakan oleh produsen farmasi dalam formulasi sirup obat batuk mengandung 22,2% DEG. 

Demikian pula, gliserin impor yang mengandung 24 % DEG menyebabkan wabah gagal ginjal tahun 1995 di Haiti. Dalam kedua kasus, gliserin yang mengandung DEG diimpor dari Cina melalui perantara Eropa.

Kasus toksisitas dapat terjadi secara sengaja maupun tidak disengaja. Toksisitas secara tidak disengaja merupakan kejadian yang kompleks, melibatkan sinergisme antara kontaminan yang relatif tidak beracun. 

Toksisitas tidak disengaja dapat terjadi karena proses pembuatan yang menghasilkan toksin, tidak sesuai dengan standar mutu, interaksi antara bahan dengan lingkungan, atau karena perubahan sifat fisika kimia yang terjadi selama penyimpanan. 

DEG dapat muncul pada saat proses pembuatan bahan baku pelarut misalnya gliserin. Penelitian menemukan beberapa proses pembuatan bahan baku berpotensi membentuk DEG sebagai kontaminan, karena jenis kontaminan terbentuk bergantung dari bahan baku dan metode yang digunakan.

Kontaminan juga dapat terbentuk dari bahan baku dengan kualitas rendah, lemak non-food- grade yang terhidrolisis, terjadinya saponifikasi; atau alkoholisis untuk menghasilkan gliserin. 

Bahan baku obat sendiri memiliki kualitas khusus yaitu pharmaceutical grade. Hidrogenolisis karbohidrat dalam produksi gliserin, dapat menghasilkan produk sampingan seperti DEG, produk sampingan yang harus dihilangkan untuk membuat bahan baku pharmaceutical-grade.

Di sisi lain, beberapa kontaminasi terbukti ditambahkan secara sengaja. Hal ini terjadi pada kasus keracunan sulfanilamid di AS pada tahun 1937, serta kasus keracunan DEG di Haiti, Panama, Argentina, Bangladesh, India, dan Nigeria antara tahun 1995-2008. 

Pemalsuan bahan baku gliserin dengan DEG dan EG yang disengaja mungkin terjadi karena motif finansial, mengingat DEG dan EG adalah bahan baku yang murah dibandingkan propilen glikol (PG) atau gliserin. 

PG dan gliserin sendiri merupakan kosolven dan pemanis yang umum pada sirup obat, dan telah terbukti keamanannya (bila menggunakan pharmaceutical grade). 

Praktik kontaminasi yang disengaja mungkin terjadi pada bahan baku obat dan mungkin telah tersebar luas, namun luput karena tidak mengalami kejadian pada pasien. 

Jika kontaminasi yang disengaja ini dimotivasi oleh keuntungan finansial pribadi, maka kemungkinan besar akan terulang kembali.

Upaya Pencegahan

Upaya pencegahan sebenarnya telah dilakukan oleh Indonesia, khususnya, dan dunia internasional. Wabah gagal ginjal akut tahun 2009 di Panama yang berkaitan dengan sirup obat batuk yang terkontaminasi DEG sebenarnya telah ditangani oleh FDA. 

Dalam semua kasus, produsen farmasi tidak menguji DEG, melainkan mengandalkan sertifikat analisis (certificate of analysis/ COA) yang diberikan oleh pemasok, suatu sertifikat yang menjamin mutu dari bahan baku. 

Selain itu, asal mula dan jalur sintesis tidak terlihat dari COA. COA yang diperoleh oleh produsen farmasi seringkali merupakan salinan COA pada kop surat distributor dan bukan COA yang diberikan oleh produsen gliserin. Rantai pengawasan atau sejarah distribusi gliserin juga tidak diketahui karena gliserin mungkin telah dijual beberapa kali antara pembuatannya.

FDA kemudian memberi peringatan kepada produsen farmasi, pengemas ulang, dan pemasok, mengenai dengan potensi bahaya pemalsuan gliserin dan merilis 4 rekomendasi yang dirancang untuk menghindari keracunan DEG di masa depan. 

Rekomendasi ini menyarankan produsen produk obat untuk menguji DEG pada semua bets gliserin, menyarankan bagi bagi produsen untuk "mengetahui rantai pasokan untuk gliserin", mensosialisasikan ke produsen dan semua personel untuk menyadari pentingnya pengujian gliserin, dan uji DEG oleh pihak pengemas ulang atau pihak yang mendistribusikan gliserin.

Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh kepala BPOM Republik Indonesia tahun 2018 pun sebenarnya telah mengatur dengan jelas tata cara pembelian bahan baku dari vendor, yaitu pada Bab 8 Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit & Persetujuan Pemasok. 

Isi Bab ini meliputi bahwa Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) hendaklah bertanggung jawab bersama bagian lain yang terkait untuk memberi persetujuan pemasok yang dapat diandalkan memasok bahan awal. 

Evaluasi hendaklah dilakukan sebelum pemasok disetujui dan masuk ke dalam daftar pemasok resmi, dengan mempertimbangkan riwayat pemasok dan sifat bahan yang dipasok. 

Kemudian jika audit diperlukan, audit tersebut hendaklah menetapkan kemampuan pemasok dalam pemenuhan standar CPOB.  Selain itu, semua pemasok yang telah ditetapkan hendaklah dievaluasi secara teratur.

Dengan adanya aturan ini, sebenarnya mutu diharapkan dapat dipastikan dari pengiriman bahan baku. Namun menjadi rumit bila proses bahan baku diimpor dari negara lain, yang pastinya memerlukan biaya audit secara langsung cukup besar. 

Integritas dari data yang dikeluarkan juga perlu dipastikan sesuai dengan data integrity, sehingga data yang diberikan oleh pemasok merupakan data yang valid. 

Pada kasus keracunan EG dan DEG di Indonesia yang sedang terjadi, badan regulasi (BPOM) beserta Kementrian kesehatan pun telah berusaha melakukan investigasi dan mencari root cause dari kasus ini dan bergerak cepat untuk mencegah terjadinya kasus lain, seperti menghentikan sementara penjualan obat sirup, melakukan pengujian terhadap pasien, serta mencari antidote-nya.

Opini dan Saran Pencegahan Masa Depan

Toksin dari obat-obatan yang terkontaminasi seringnya baru diidentifikasi hanya ketika mempengaruhi sejumlah besar orang, dan/ atau menyebabkan banyak kematian, atau adanya orang yang menyadari ini. 

Oleh karena itu, sangat masuk akal bahwa kasus dan kontaminasi kecil mungkin telah terjadi sehari-hari dan mengakibatkan penyakit ringan, namun tidak kita sadari. 

Populasi yang paling berisiko tentunya adalah orang yang berulang kali terpapar suatu produk. Kita tentunya perlu menunggu hasil investigasi, namun beberapa hal mungkin dapat ditingkatkan dalam upaya peningkatan keamanan dan mutu obat.

Sebagaimana Menteri Riset dan Teknologi mengatakan bahwa 95% bahan baku obat masih diimpor, maka industri farmasi di Indonesia tentunya akan terus mencari bahan baku dari negara lain. 

Namun saat ini regulasi mutu bahan baku belum diterapkan secara internasional, namun masih secara regional, sehingga meskipun produksi obat (finished goods) di Indonesia dilakukan di bawah pedoman yang diregulasi secara ketat, bahan baku baku yang digunakan mungkin berasal dari negara dengan regulasi buruk. 

Memperoleh bahan baku obat dari negara-negara dengan regulasi rendah memberikan manfaat ekonomi bagi negara-negara pengekspor dan pengimpor dan membantu membina hubungan internasional yang positif. 

Sayangnya, bersama dengan manfaat ini, ada resiko yang berkaitan dengan penggunaan bahan baku yang mungkin tidak aman.

Bahan baku dari dengan regulasi ketat tentunya memiliki jaminan kualitas lebih baik dibandingkan bahan baku dari negara dengan regulasi rendah. 

Bahan baku obat terkontaminasi yang diproduksi di negara dengan regulasi buruk dapat melintasi batas nasional dan digunakan dalam proses manufaktur obat di negara dengan regulasi ketat. Bila bahan baku sudah masuk ke rantai produksi, bahan baku yang terkontaminasi dapat menyebar.

Tampaknya tidak mungkin membatasi akses ke pasar lokal, karena tentunya akan menurunkan ekonomi. Kekuatan pasar global juga telah mencapai keberhasilan dalam meningkatkan keselamatan, walaupun masih terdapat kasus toksisitas. 

Dengan adanya ancaman toksin atau praktik berbahaya, maka pengujian produk, pemastian produk, dan quality-by-design memiliki peran yang sangat penting.

Belajar dari kasus ini, badan regulasi tentunya perlu mengatur kembali aturan untuk mengidentifikasi dan menetapkan kadar kontaminan berbahaya. 

Untuk kontaminan yang diketahui, seperti DEG, badan regulasi perlu berusaha untuk menghilangkan motivasi pemalsuan dan memiliki metode uji yang spesifik yang dapat mencegah pemalsuan. 

Produsen bahan baku dan pembuat produk obat juga perlu disosialisasikan akan pentingnya penyediaan produk yang murni dan aman serta potensi konsekuensi kesehatan berbahaya yang disebabkan oleh pemalsuan produk apa pun. 

Di samping itu, sangat ironis bahwa pasar bersifat global, namun regulasi bersifat lokal, sehingga penyediaan sumber daya tambahan untuk upaya regulasi internasional yang terkoordinasi menjadi penting untuk diupayakan.

Komunitas medis, bekerja sama dengan badan pengawas, perlu mengembangkan program kerja sama untuk mengidentifikasi rantai toksisitas. Populasi yang berpotensi berisiko, seperti bayi atau lansia, perlu diidentifikasi dan dipelajari lebih mendalam. 

Organ target utama untuk banyak toksin adalah ginjal dan hati. Dokter dan ahli patologi di komunitas kedokteran hewan dan medis, bersama dengan badan regulasi, dapat menggunakan daftar bersama penyakit ginjal dan hati yang tidak diketahui penyebabnya untuk lebih efektif mengidentifikasi toksin. 

Selain itu, masyarakat sebaiknya menunggu hasil investigasi dan menghindari obat dengan bahan yang terkontaminasi tersebut (gliserin, propilen glikol, sorbitol, dsb.).

Oleh karena itu, terlepas dari usaha keras yang telah dilakukan semua pihak untuk menjaga mutu dan kualitas obat, masih banyak upaya dan celah untuk berbenah diri. 

Mencegah keracunan di masa depan tentunya membutuhkan kerja sama berbagai antar pihak dan instansi, seperti badan regulasi, komunitas ilmiah, dan masyarakat dalam upaya peningkatan regulasi demi mewujudkan keamanan obat dan kesehatan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun