Sumber Ilustrasi : goo.gl/images/oiD43s
Ketika hari menjelang sore, Akil seekor anak kelinci jantan sedang kebingungan mencari jalan pulang. Akil hanya mondar-mandir di samping pohon waru besar dan sesekali mengitari pohon waru tersebut. Entahlah, apa yang dilakukannya itu sungguh tidak masuk akal.
Di tengah kegelisahan Akil, tiba-tiba datang si Noya, seekor anak kelinci betina yang cantik dan cerewet. Noya lalu menegur Akil dengan sopan.
"Halo, namamu kamu siapa?" tanya Noya dengan ramah.
"Aku Akil. Kamu siapa?" jawab Akil dengan jujur dan disertai pertanyaan balik.
"Aku Noya. Rumahku di dalam pangkal pohon waru besar ini. Kenapa kamu mondar-mandir di sini, Akil? Ada yang mengejarmu?" tanya Noya yang ingin tahu.
"Tidak ada yang mengejarku. Aku tidak tahu jalan pulang," jawab Akil jujur.
"Kenapa bisa begitu?" Noya pun terus bertanya kepada Akil karena penasaran.
Akil hanya diam dengan nafas yang tersengal-sengal dan muka yang semakin pucat. Sementara Noya langsung beranjak pergi mengambilkan air minum untuk Akil.
"Akil, minumlah. Dan istirahatlah dulu di sini," kata Noya sambil memberikan sebotol air minum kepada Akil.
Akil menganggukkan kepala sambil menerima botol air minum tersebut dan meminumnya dengan perlahan-lahan.
"Tadi aku main petak umpet sama teman-teman. Dan aku sengaja bersembunyi yang jauh supaya susah dicari. Aku melewati padang ilalang dan aku terus berlari. Akhirnya aku sampai di sini. Saat aku mau pulang, aku lupa jalan pulang," Akil pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Apakah kamu tahu nama hutan tempat tinggalmu?" lanjut Noya dengan pertanyaan lagi.
Akil terdiam, lalu mengambil botol air minum kembali untuk diminumnya.
"Aku tidak tahu. Aku lupa, Noya," jawab Akil sambil meneteskan air matanya.
Noya lalu menyeka air mata yang menetes di pipi Akil. Sementara tangisan Akil semakin keras dan tersedu. Noya merasa iba kepada Akil, lalu ikut menangis. Suara tangisan mereka sama-sama keras, sehingga membuat ibu Noya kaget. Lalu menghampiri mereka dengan langkah terburu-buru.
"Noya kamu kenapa, Nak? Siapa dia? Teman kamu?" tanya Ibu Noya dengan penuh kekhawatiran.
Noya dan Akil tetap menangis dan tidak menjawab pertanyaan dari ibu Noya. Hal tersebut justru membuat ibu Noya semakin khawatir.
"Nak, kamu kenapa? Jawab pertanyaan Ibu, Nak. Diamlah kalian!"
"Bibi, aku Akil. Aku tersesat. Aku tidak tahu jalan kembali pulang," jawab Akil dengan tangisan yang pelan.
Lalu Ibu Noya menyeka air mata Akil. Akil terdiam karena malu. Sementara Noya, masih menangis di pangkuan sang Ibu.
"Noya, diamlah. Ayo ceritakan kepada Ibu, apa yang terjadi."
Noya terdiam. Memandangi Akil yang sudah lebih dulu menghentikan tangisannya.
"Akil, kenapa kamu bisa tersesat?" tanya Ibu Noya setelah kedua anak tersebut menghentikan tangisannya.
Akil pun menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Lalu air mata menetes kembali. Dengan sigap dan penuh kasih sayang, Ibu Noya menyeka air mata Akil.
"Akil, ayo masuk ke rumah Noya. Kamu makan dulu ya! Pasti kamu belum makan. Iya kan?" ajak Ibu Noya sambil menggandeng Akil dan Noya menuju rumah.
"Ibu, masih banyak wortel di rumah kan?" tanya Noya dengan suara yang lembut dan manja.
"Masih banyak, Noya. Kalian makan sama-sama ya," jawab Ibu Noya supaya Noya dan Akil makan dengan semangat.
Lalu Ibu Noya menghidangkan banyak wortel dan lobak kepada Akil dan Noya. Tidak lupa juga minuman pun turut dihidangkan.
"Akil, makan yang banyak ya. Berdoa dulu sebelum makan," kata Ibu Noya.
"Baiklah, Bibi. Noya ayo kita berdoa bersama-sama."
"Ya Tuhanku berilah kami makanan dan minuman yang membuat badan kami sehat. Aamiin," Akil dan Noya pun berdoa bersama.
Ibu Noya sangat senang melihat Noya dan Akil makan dengan lahap dan sopan. Dan mereka pun makan dengan tanpa suara. Sungguh, hal tersebut membuat bangga.
Setelah makan, mereka pun berdoa bersama-sama. Lalu merapikan meja makan bersama. Akil kelihatan sangat teratur dan disiplin.
"Akil, kamu anak pintar, sopan dan disiplin. Siapa yang mengajarimu, Akil?" tanya Ibu Noya yang ingin tahu lebih dalam tentang Akil.
"Ayah dan Ibu ku yang mengajari," jawab Akil dengan senang hati.
"Kamu ingat tidak, apa nama hutan tempat tinggalmu?"
"Aku tidak ingat, Bibi. Aku tidak tahu namanya. Ibu ku tidak pernah memberitahu tentang itu," jawab Akil dengan polos.
Ibu Noya lalu mengusap punggung Akil dengan penuh kasih sayang.
"Akil, lain kali minta diajari ibu kamu ya. Alamat kamu di mana. Ibuku selalu mengajari loh. Supaya aku tidak tersesat seperti kamu," kata Noya di sela pembicaraan.
"Iya, benar. Jadi jika suatu saat nanti tersesat seperti ini, warga lain akan mengetahui alamat kamu dan pasti akan mengantarkan kamu pulang," jawab Ibu Noya.
"Berarti aku tidak bisa pulang ya?"
"Bisa, Akil. Tapi akan ada sedikit kesulitan. Percayalah, semua pasti ada jalannya," Ibu Noya pun berusaha meyakinkan Akil.
"Tapi Ibu, bagaimana dengan orang tua Akil? Mereka pasti kebingungan mencari Akil. Lalu mereka sedih dan akhirnya sakit," kata Noya dengan polos.
"Aku tidak mau Ayah dan Ibuku sakit. Ayah dan Ibu pasti sehat dan kuat, karena makannya banyak," teriak Akil sambil memukul bahu Noya.
"Aduh, sakit. Ini sakit, Ibu!" teriak Noya yang hampir menangis.
"Akil, jangan suka memukul ya. Tuhan memberikan tangan kepada kita, supaya digunakan untuk hal yang baik-baik," Ibu Noya menasehati Akil dengan penuh kasih sayang.
"Noya nakal, Bibi. Noya bilang Ayah dan Ibuku akan sakit," jawab Akil sambil menangis pelan.
"Tidak, Akil. Ayah dan Ibumu sehat. Maafkan Noya ya! Noya, ayo minta maaf kepada Akil," lanjut Ibu Noya.
Noya pun akhirnya meminta maaf kepada Akil. Akil juga memaafkan Noya.
"Ini sudah menjelang maghrib. Ayo kita masuk rumah. Nanti kita minta bantuan warga lain di sini untuk mencaritahu tentang alamat tinggalmu, Akil. Jadi Akil jangan khawatir ya," kata Ibu Noya yang langsung membimbing Akil dan Noya untuk masuk ke dalam rumah.
Bersambung...Â
Ditulis oleh Lina WH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H