Setelah makan, mereka pun berdoa bersama-sama. Lalu merapikan meja makan bersama. Akil kelihatan sangat teratur dan disiplin.
"Akil, kamu anak pintar, sopan dan disiplin. Siapa yang mengajarimu, Akil?" tanya Ibu Noya yang ingin tahu lebih dalam tentang Akil.
"Ayah dan Ibu ku yang mengajari," jawab Akil dengan senang hati.
"Kamu ingat tidak, apa nama hutan tempat tinggalmu?"
"Aku tidak ingat, Bibi. Aku tidak tahu namanya. Ibu ku tidak pernah memberitahu tentang itu," jawab Akil dengan polos.
Ibu Noya lalu mengusap punggung Akil dengan penuh kasih sayang.
"Akil, lain kali minta diajari ibu kamu ya. Alamat kamu di mana. Ibuku selalu mengajari loh. Supaya aku tidak tersesat seperti kamu," kata Noya di sela pembicaraan.
"Iya, benar. Jadi jika suatu saat nanti tersesat seperti ini, warga lain akan mengetahui alamat kamu dan pasti akan mengantarkan kamu pulang," jawab Ibu Noya.
"Berarti aku tidak bisa pulang ya?"
"Bisa, Akil. Tapi akan ada sedikit kesulitan. Percayalah, semua pasti ada jalannya," Ibu Noya pun berusaha meyakinkan Akil.
"Tapi Ibu, bagaimana dengan orang tua Akil? Mereka pasti kebingungan mencari Akil. Lalu mereka sedih dan akhirnya sakit," kata Noya dengan polos.