Mohon tunggu...
Lilis Edah Jubaedah
Lilis Edah Jubaedah Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMPN 1 Cilegon

Saya Lilis Edah Jubaedah, Lahir di Purwakarta, 26 Agustus 1965. Pekerjaan saya Guru di SMPN 1 Cilegon. Hobby saya menulis, walapun belum mahir. Konten yang saya sering tulis apa saja yang berhubungan dengan rasa kekhawatiran diri terhadap lingkungan sekitar. Jenis tulisannya ada puisi, cerpen, opini, esai, atau apa saja yg menurut saya cocok dengan kontennya. Tapi hanya sekadar menulis saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Tak Berbalas

24 Oktober 2022   15:00 Diperbarui: 24 Oktober 2022   15:18 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seakan aku tak pernah punya rasa malu sebagai perempuan karena sering mengunjungi rumah ‘pacar khayalan’. Setiap aku ingat dia, pasti aku menyempatkan diri untuk datang ke rumahnya. Walaupun aku tahu dan yakin pasti gak akan ketemu dengannya. Karena memang aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa-apa. Dia sudah mengatakan bahwa aku hanya pantas menjadi adiknya. Tapi hatiku gak mau terima. Aku sangat memelihara perasaanku untuknya. Jadi aku selalu mengikuti kata hatiku apapun itu. Siapa tahu ketemu. Selalu seperti itu harapanku. Tapi, gak ada, gak akan pernah ada perasaan itu dari dia. Aku tahu dan aku sadar sepenuhnya kalau aku ke rumahnya hanya akan menyakiti perasaanku saja, itu pasti. Tapi, dasar bodoh, dasar konyol, dasar nggak tahu malu, selalu dan selalu saja datang menemuinya. Padahal tahu persis setiap aku datang ke rumahnya, nggak pernah disuguhi keramahan walaupun hanya sedikit saja, Entahlah perasaan itu sangat menyakitkan. Tak dapat dipungkiri, memang hati hanya berisi dia satu-satunya, hatiku sudah terjerat cintanya yang palsu. Tapi aku sendiri, sekian tahun lamanya, gak pernah menyadari itu. Entahlah, kenapa aku nggak pernah mengerti tentang ini.

“Yulis, bisa gak minggu ini ke rumahku, kita harus bicara tentang kita, empat mata.” bunyi surat yang dia kirim untukku.

Entah ada setan apa dan dari mana, tiba-tiba ada sepucuk surat melayang ke alamat kostku di Bandung, padahal sekian lama dia tidak pernah menanyakan kabar apapun tentangku. Dasar memang hatiku yang selalu mengharapkan dia, gak pake pikir panjang. Kebetulan malem natalan. Berarti besok libur. Jadi kuputuskan untuk segera datang memenuhi undangannya. Apalagi isi suratnya menjurus ke hal yang selalu kutunggu “kita bicara tentang kita, empat mata saja”. Kata-kata itu membuat aku berbunga-bunga. Harapan yang selama ini telah bersemayam di dalam sanubariku, mendapat angin segar, seolah-olah ketika dibangunkan dari tidur sudah disiapkan teh manis hangat dan goreng pisang yang menarik karena warnanya coklat keemasan. Betapa bahagianya hatiku saat itu. Serasa dunia akan menjadi milikku dan akan kugenggam selamanya.

“Teh Yos, aku ada perlu, mau pulang dulu ya. Ada yang harus diurus dulu. Penting.” Kataku ke temen sekamarku.

“Oh, gitu. Ya boleh. Tapi jangan lama-lama, ya!”. Pesen Teh Yos padaku.

“Oke, sip.” Jawabku singkat.

“Ada apa nih beda, kok lebih ceria kelihatannya. Ayo isi surat yang tadi ada hubungannya dengan ini ya? Ledek Teh Yos, membuat aku malu-malu.

“Nggak, gak ada hubungannya. Ini mah cuma pengen pulang saja. Udah ah, udah sore takutnya kemaleman ke sananya. Ntar nggak dapat angkot.”,  jawabku menghindar.

Setelah berpamitan, aku buru-buru menuju terminal, kebetulan terminalnya memang deket kostanku. Jadi, ya tinggal jalan kaki saja.

Matahari sudah mulai condong ke barat, walaupun cerah secerah hatiku, tapi waktu sore itu tetep menyiratkan warna yang kurang terang seperti sinarnya di pagi hari. lama kelamaan sinarnya meredup. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 16.30. kendaraan yang kutumpangi sudah mulai melaju menuju arah Kebon Kalapa atau terminal Abdul Muis. Tapi aku berpikir gak usah naik bis, aku naik mobil Elp saja biar lebih cepet. Jadi kuputuskan turun di jalan Asia Afrika untuk melanjutkan naik bis kota yang menuju Cibeureum. Di Cibeureum biasanya sudah ada mobil-mobil Elp yang ngetem. Turun dari bis kota, aku langsung menuju mobil Elp tersebut supaya dapat tempat duduk yang kupikir nyaman, tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang. Di tengah memang cukup nyaman.

Sebentar-sebentar, aku lihat jam tanganku, waktu terus berkurang. Perasaanku mulai terganggu. Mulai khawatir kemaleman. Gimana kalau kemaleman khawatir tidak ada kendaraan lagi. Tapi ada yang lebih mengganggu lagi. Bayangan dia yang seperti mengikutiku sepanjang perjalanan. “Ah, kenapa bayangannya gak bisa hilang. Apakah aku masih mengharapkannya?” gumamku tak berjawab.

Tuhan masih memihakku. Tepat pukul 17.30, aku sampai di Sadang. Aku  langsung menyebrang menuju arah Cempaka. Angkot masih ada.  “Alhamdulillah masih ada angkutan umum”. Sambil masuk angkot aku bertanya, “Sampai ke Cibatu gak, Pak Sopir?” tanyaku ragu.

“Iya, Neng. Mau ke mana sendirian?” sopir angkot balik Tanya.

“Mau ke Cibatu. Sampai jam berapa angkot di sini, Pak Sopir?” untuk menambah ketenangan sok akrab ngajak ngobrol.

“Ya, tergantung gimana penumpangnya. Tapi jam 7 malam juga sudah sepi di sini mah”. Pak sopir menjelaskan sepertinya sudah kelelahan.

“Oh, gitu. Mudah-mudahan masih banyak penumpang ya malam ini. Aamiin”. Kataku supaya lebih tenang lagi mengaminkan doaku sendiri.

Tak berapa lama setelah setengahnya mobil angkot terisi penumpang, kemudian mobil angkot mulai berjalan untuk mengantarkan penumpang ke tempat tujuan masing-masing. Pas di depan kantor kecamatan cibatu, aku melihat dia bersama temannya sehabis main voli kayaknya, karena dia memegang bola voli sambil ngobrol dengan temannya. Kulihat wajahnya bahagia tak tersirat sedikitpun wajah yang bakal membuatku kesedihan sepanjang waktu. Aku gak bisa menerka apa yang akan terjadi setelah ini.

Jantungku berdebar semakin kencang. Perasaanku semakin gak keruan. Grogi kayaknya. Ada rasa senang seakan yakin akan bertemu. Tapi hati kecilku gak bisa dibohongin, ada perasaan kurang yakin kalau dia ada dan akan menemuiku. Akhirnya aku sampai juga di perempatan jalan menuju ke rumahnya. Adzan maghrib sudah berkumandang. Seakan menambah rasa khawatirku semakin kuat. Aku berjalan menuju rumah pamannya, berniat untuk shalat maghrib di rumah pamannya. Barangkali bisa meredakan debaran jantungku yang gak keruan. Dengan shalat maghrib dulu mudah-mudahan mereda.

“Assalamualaikum, Assalamualaikum, Assalamualaiku”. Aku mengetuk pintu sambil mengucapkan salam dengan harapan pamannya ada di rumah.

“Waalaikum salam. Waduh ada Teh Yulis.  Mah, ada Teh Yulis. Sendiri? Mana si Aa nya?” Tanya pamannya keheranan sambil mempersilakan masuk.

“Sendiri, Mang. Belum sampai ke sana, baru sampai sini, yah belok aja ke sisi mau numpang shalat maghrib dulu”. Jawabku panjang lebar menerangkan biar pamannya tahu bahwa aku baru saja sampai. Aku melangkahkan kakiku masuk rumah pamannya.

“Oh, iya. Sok mah sediakan mukena sama sajadahnya, di sini saja shalatnya, di kamar depan. Sok Teh, wudlu dulu di sana di belakang sebelah dapur, apal lah, masih di situ belum pindah kamar mandinya juga”. Pamannya menerangkan bahwa rumahnya masih seperti dulu.

Aku hanya melangkahkan kaki menuju dapur, dan menenangkan perasaan yang terus gelisah. Kayak tahu apa yang akan terjadi. Setelah berwudlu, kemudian menuju kamar depan untuk melaksanakan shalat maghrib. Gak pernah menduga kalau doa pada akhir shalatku mampu meneteskan air mata. Entah firasat apa yang akan kualami nanti ketika aku sampai di rumahnya.

Setelah selesai shalat, aku keluar dari kamar, kemudian duduk di kursi tamu. Gak lama tantenya, istri pamannya datang membawa segelas air minum, teh manis anget.  Setelah dipersilakan, aku meminum teh tersebut dengan penuh penghayatan, nikmatnya luar biasa. Tapi itu tidak dapat meredam kegelisahanku. Biasanya kalau perasaanku seperti ini bakal ada yang keluar dari mataku, pipiku bakal basah.

“Teh, mau jam berapa ke rumahnya Aa? Sekarang atau besok?” Tanya pamannya seperti menyelidiki.

“Sekarang saja, karena besok mah sudah pulang lagi”. Jawabku singkat.

“Oh gitu, kok gak lama?” Tanya pamannya.

“Masih banyak kerjaan, ini saja ngebelain bolos.” Jawabku sedikit berkelit.

“Waduh segitunya. Ya udah atuh, mau dianter atau sendiri?” lagi-lagi pamannya memberikan perhatian.

“Sendiri saja, gak apa-apa, berani kok, sudah deket kan?” jawabku sok berani.

Aku langsung pamitan untuk meneruskan perjuangan yang entah akan seperti apa jadinya.

Aku berjalan sendiri di malam hari. tahu sendiri di kampung kan listrik ja belum begitu terang seperti sekarang. Tapi karena jalannya jalan desa lumayan lebar dan beraspal, jadi ya mudah saja. Tidak ada rasa takut sama sekali. Yang kutakutkan bukan hal yang seperti itu. Yang kutakutkan adalah apa yang akan terjadi kalau aku ketemu dengan dia.

“Assalamualaikum!” aku dengan setengah menahan rasa gemuruh di dada, mengucapkan salam harap-harap cemas.

“Assalamualaikum!” salam yang kedua aku ucapkan agak lebih keras sedikit, siapa tahu yang tadi kurang kedengaran.

“Waalaikum salam warohmatullahi Wabarokatuh.” Jawab dari dalam rumah. Ternyata adiknya yang bungsu.

“Aih, Teh Yulis, apa kabar Teteh?” tak lupa sambil salam cium tangan cipika-cipiki.

“Silakan masuk, Teteh sama siapa, sendiri? Ya ampun, malem begini, masih ada angkot tah?” Tanya adiknya seperti tidak percaya kalau aku yang ada di hadapannya. Aku sudah lama nggak ke rumahnya, entah berapa puluh bulan purnama kulewati tanpa dia.

Kemudian aku dipersilakan duduk di kursi tamu yang memang sudah aku kenal sejak lama. Kuatur nafasku yang agak tersengal, bukan karena capai, tapi entahlah aku sendiri tak mengerti dengan agak sesek tiba-tiba. Dalam keadaan seperti ini kadang aku sendiri tidak mengerti. Kenapa gemuruh dalam dada semakin kuat, dan seperti tak ingin berhenti. Aku berusaha menarik nafas, buang nafas perlahan-lahan agar tidak ketahuan sama yang punya rumah.

“Teh, janjian sama si Aa?” Tanya adiknya penuh selidik.

“Iya Neng, ada gak?” tanyaku penasaran.

 “Ada. Tapi kayaknya mau pergi.” Jawab adiknya jujur.

“Oh gitu? Katanya ada yang pengen dibicarakan sama Teteh.” Jawabku agak gondok.

“Tapi, gak tahu ya. Kali kalau ada Teteh mah gak jadi pergi.” Adiknya sok tahu.

Lagi asyik ngobrol sama adiknya, eh tiba-tiba dia nongol. Sudah rapi siap pergi. Tapi sayang dia sama sekali gak peduli padaku. Aku baru tahu jawabannya kenapa selama di perjalanan aku merasa bakal ada sesuatu yang terjadi. Firasat itu muncul dan benar adanya. Bahwa aku akan mengalami suatu peristiwa yang betul-betul di luar dugaan. Dia pergi tanpa menyapa sepatah katapun, kayaknya aku ini seperti asap yang hanya muncul bagai bayang-bayang. Tidak kelihatan. Tak ada sapaan apa pun, apalagi sapaan sayang yang biasa orang-orang pakai dalam bertegur sapa dengan kekasihnya. Blank, sama sekali ngeblank. Hitam, gelap gulita. Aku merasa dunia ini gelap dan sempit membuat sesak nafasku semakin menjadi. Yang tadi sudah diuapayakan melonggar kini sesak nafasku hampir terasa mencekik leherku. Untungnya aku punya Tuhan. Istighfar kuucapkan berkali-kali. Kukuatkan hatiku, kusabarkan perasaanku, kujanjikan pada hatiku sendiri bahwa mungkin nanti malam sepulang dia dari acara, akan ada peristiwa yang kunanti-nanti selama ini, sesuai yang dia janjikan di surat yang dikirim untukku. Nanti akan ada jawaban yang akan membuat hatiku bahagia. Berkali-kali kusampaikan pada diriku sendiri bahwa nanti sepulang dia dari acara akan ada kata-kata yang dapat menguatkan ikatan ini dengannya. Terus dan terus seperti itu yang kuucapkan pada hatiku agar hatiku lebih tentram.

Namun, memang aku ditakdirkan untuk tidak berjodoh dengannya. Sepulang acara pun dia sama sekali tidak peduli dengan kedatanganku. Entah apa yang salah. Apa akunya yang keganjenan barang kali, baru dikirim surat segitu aja sudah serasa dilamar barang kali. Atau karena mungkin hatiku yang sudah tidak sabar karena sudah terlalu lama menunggu satu keputusan yang bisa membuat hatiku bahagia. Aku yang terlalu dibiarkan liar dengan hayalanku tentang bahagia di masa depan. Yang kesepian sekian lama tanpa siraman kasih sayang dari seseorang yang sungguh-sungguh kuharapkan. Selalu dibiarkan tanpa sentuhan mesra yang dapat mengelola rasa cinta yang segar agar tetap berbunga dengan indah. Padahal dengan kata-kata pun masih bisa memelihara itu semua, apalagi dengan sentuhan cinta yang mesra dan romantis pastinya hubungan akan abadi. 

Tepat pukul 24.00 WIB, acara di tv yang hitam putih sudah berakhir, dia datang, baru pulang dari acara bareng temen-temen katanya. Eh, Lagi-lagi aku dianggap patung. Dianggap tidak ada. Atau mungkin dikira surat yang dikirimnya belum kuterima. Jadi aku datang ke rumahnya itu mungkin menurut dia bukan karena undangannya. Bukan karena isi suratnya. Aku mulai merasa “Da aku mah apa atuh” Betapa kecilnya aku di matanya. Tak ada harga sepeserpun buat pengorbananku selama ini dan sesakit ini. Tapi memang bukan lelaki namanya kalau tidak mampu membuat seorang perempuan jatuh tersungkur. Jatuh sejatuh jatuhnya. Sia-sia sudah perjuanganku, Tiada lagi harapanku untuk dapat melanjutkan hubungan ini. Diupayakan dengan sepenuh hatipun tidak ada upah sedikitpun buat melegakan hati ini. Hatiku seakan robek tercabik-cabik, robek serobek-robeknya. Bukan retak seribu tetapi hatiku hancur berantakan. Tak ada yang tersisa. Musnah.

Aku buru-buru masuk kamar memaksakan untuk dapat tidur supaya pagi bisa bangun subuh dan pulang ke Bandung. Itu tekadku dalam hati.

“Tak ada lagi rasa yang selama ini kupelihara, buat apa aku ada di sini kalau hanya rasa sakit yang menemaniku. Padahal aku sudah berandai-andai jika memang dia akan mengatakan sesuatu tentang hubungan kita, aku akan menerima dengan sepenuh hati dan akan menetapkan bahwa hidupku harus bersama dia.” Itu dan itu saja yang kuucapkan dalam hati

Tapi aku ternyata hanya manusia biasa, yang lemah tak berdaya. Mataku gak bisa merem. Malah rembeslah airmataku. Aku menangis sekuat-kuatnya dengan ditutupi bantal biar adiknya gak sampai tahu kalau aku menangisi kelakuan kakaknya. Dan aku tertidur dengan sendirinya, mungkin capainya menangisi kepedihan hati sendiri.

Tiba-tiba aku terbangun, kulihat jam tanganku, sudah pukul 04.30. kedengaran adzan sedang dikumandangkan.

“Waduh, sudah subuh.”  Dengan penuh rasa syukur aku bangun dan baru sadar kalau aku ada di rumahnya. Bergegas aku ke kamar mandi. Kutahu, ibunya sudah duduk siap di atas sejadah segera akan melaksanakan shalat subuh.

Aku buru-buru mandi. Kemudian dandan untuk melaksanakan shalat subuh. Karena pikirku akan lebih baik selesai shalat subuh aku langsung pulang biar sekalian gak ketemu dia. Setelah selesai menunaikan shalat subuh, kemudian aku keluar kamar untuk berpamitan kepada ibunya.

“Mau ke mana, sudah siap wayah gini?” Tanya dia bikin aku kaget. Rupanya dia sudah bangun duluan karena memang dia berangkat kerjanya sehabis shalat subuh.

“Mau pulang!” jawabku ketus.

“Besok aja pulangnya.” Katanya sambil pergi berlalu begitu saja. Gak punya tatakrama. Nggak ada tanda-tanda dia merindukan aku apalagi untuk bicara empat mata, sapaannya saja kurasa kasar, nggak ada sentuhan cinta dan kasih sayang sedikit pun.

Aku gak pedulikan omongan dia. Aku bergegas menuju pintu depan untuk berpamitan kepada ibunya. Biar gak keburu ibunya pergi. Karena ibunya kalau abis shalat subuh sudah pasti berangkat ke pasar.

“Bu, aku pulang dulu, karena masih banyak kerjaan gak bisa lama-lama di sini.” Pamitku pada ibunya dengan sedikit bergetar karena sebenarnya berat banget kalau aku harus meninggalkan keluarga itu. Tapi apalah aku yang sudah tidak ada harganya. Buat apa lama-lama di rumahnya kalau hanya akan menambah kepedihan hati.

“Teteh mau ke mana? Teteh ke sini di suruh Si Aa? Kenapa Teteh nangis?” tanyanya penasaran. Mungkin lihat mataku sembab.

“Iya, Bu. Tadinya Teteh pikir karena dia yang ngirim surat, makanya Teteh segera datang memenuhi undangannya. Tapi, ya mungkin Teteh salah.” Jawabku setengah bingung.

 Aku bagai jalangkung yang datang tanpa diundang dan pulang gak dianter. Malah lebih dari jalangkung karena aku merasakan sakitnya dalem banget.

“Pamit ya, Bu. Mohon maaf bila ada salah.” Salam tak lupa cium tangan.

“Sudah begini saja, sekarang mah Teteh nyari saja yang lain, yang lebih baik segalanya dari anak ibu. Ibu juga jengkel melihatnya, bikin Teteh sedih terus. Sudah biarin saja anak ibu mah.” Kata ibunya menyemangati.

“Ya sudah, hati-hati di jalan ya.” Kata ibunya sambil memandangku kasihan.

“Ya udah, Assalamualaikum.” Pamitku. Kemudian aku pergi meninggalkan semua kenangan yang selama ini selalu menemani kesepianku.

Udara masih sangat sejuk, hari masih gelap, matahari baru sedikit mengeluarkan cahayanya, seperti membiarkan seseorang yang lagi bersedih bersembunyi di balik gelapnya matahari subuh, membiarkan yang bersedih tidak diketahui orang lain yang terlewatinya. Masih pada sibuk di dapurnya masing-masing.

Dengan menundukkan kepala aku melangkah gontai pergi meninggalkan harapanku di Cibatu. Biarlah semua pupus. Kudoakan semoga dia bahagia dengan siapapun nanti. Aku sudah tak mungkin mengharapkannya lagi. Aku merasakan sendiri betapa dia tidak pernah mencintaiku selama ini, dia tidak pernah menyayangi sedikitpun, dan betul aku hanya pantas sebagai adiknya.

Padahal dulu ketika masih bareng, kayaknya nggak ada hari tanpa dia, di mana ada aku pasti ada dia. Walaupun cara kita bercinta berbeda. Tidak pernah pergi ke mana-mana selain belajar di meja belajar dengan model bercinta yang unik. Tapi kami menikmati itu. Kami bisa saling menatap seperti sedang berpikir menemukan cara menyelesaikan tugas, padahal kami menikmati tatapan mata masing-masing.

Kalau sedang nonton tv, pasti tangannya menggenggam tanganku sampai abis film, baru dia lepas. Walaupun kadang-kadang, pulang nonton tv kalau hanya berdua, aku pasti dihadang di lorong, hanya untuk pelukan hangat ucapan selamat tidur, dan tak lupa kecupan tipis yang manis sebagai rasa cinta yang dalam. Kadang-kadang kalau lagi belajar hanya berdua, kakiku diapit dengan kakinya, penuh kehangatan. Itu yang membuat hatiku sakit sesakit-sakitnya. Kenangan itu yang selalu menghantuiku bertahun-tahun lamanya. Tak bisa kugambarkan sakitnya hatiku. Sampai akhirnya dia mengatakan kalau aku pantas menjadi adiknya.

Aku ingat, suatu waktu dia mengatakan bahwa dia ingin kembali menjalin hubungan deganku, ketika itu aku ke rumahnya karena memang adiknya mengirim surat menyuruh datang karena mereka pindah rumah. Waktu selesai makan, dia menyatakan bahwa dia akan kembali padaku.

“Yulis, setelah aku berjalan jauh, ibarat orang berpetualang, berjalan jauh melewati beberapa ‘saung’, tapi aku tidak merasa nyaman di ‘saung-saung’ yang aku lewati, dan yang aku rasa nyaman hanya ‘saung’ yang pertama, yaitu kamu. Bisa kan kita kembali seperti dulu?” katanya waktu itu.

“Maksudnya?” aku pura-pura nggak paham. Hanya ingin dia bicara lebih jelas tentang hubungan kita.

“Ya, maksudnya, aku ingin kita kembali menjalin hubungan seperti dulu. Karena aku hanya merasa nyaman denganmu. Bisa kan?” ucapnya meyakinkan.

“Ya, terserah. Aku ikutan saja.” Jawabku kurang semangat.

“Jangan terserah, setuju nggak?” tanyanya lagi penasaran.

“Ya, kalau memang aku masih berarti di hatimu, aku setuju.” Jawabku datar.

Dari sejak itu, mungkin kita jadi pasangan kekasih lagi. Tapi dia tidak pernah melakukan komunikasi apa pun denganku, dan aku pun tidak begitu memprioritaskan dia lagi. Tugas kuliahku banyak menyita waktu. Hingga aku sudah jarang pergi mengunjungi rumahnya. Selain itu aku sendiri merasa dia tidak sungguh-sungguh padaku. Menurut perasaanku, ketika cinta dibiarkan tumbuh tanpa disiram, pastinya kerdil. Hatiku yakin kalau dia tidak serius, tidak pernah ada perjuangan dari dirinya buat aku. Kenapa harus aku terus yang berjuang mempertahankan cinta ini.  Cintaku diambilnya. Tapi dia hanya ingin menyakitiku.  Tak terasa air mataku menetes hangat dipipi. Hemmm … cintaku hilanglah sudah.

Selama perjalanan menuju Bandung yang memenuhi pikiranku hanyalah rasa penyesalan yang dengan sia-sia mengunjungi rumahnya untuk menuruti keinginan hati tanpa memikirkan perasaan. Sepanjang perjalanan aku tidak menyadari sudah sampai mana atau berada di jalan mana, aku hanya merenungkan tentang nasib cintaku yang bertepuk sebelah tangan. Aku sadar betul kalau cintaku tak berbalas.

    

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun