Tuhan masih memihakku. Tepat pukul 17.30, aku sampai di Sadang. Aku langsung menyebrang menuju arah Cempaka. Angkot masih ada. “Alhamdulillah masih ada angkutan umum”. Sambil masuk angkot aku bertanya, “Sampai ke Cibatu gak, Pak Sopir?” tanyaku ragu.
“Iya, Neng. Mau ke mana sendirian?” sopir angkot balik Tanya.
“Mau ke Cibatu. Sampai jam berapa angkot di sini, Pak Sopir?” untuk menambah ketenangan sok akrab ngajak ngobrol.
“Ya, tergantung gimana penumpangnya. Tapi jam 7 malam juga sudah sepi di sini mah”. Pak sopir menjelaskan sepertinya sudah kelelahan.
“Oh, gitu. Mudah-mudahan masih banyak penumpang ya malam ini. Aamiin”. Kataku supaya lebih tenang lagi mengaminkan doaku sendiri.
Tak berapa lama setelah setengahnya mobil angkot terisi penumpang, kemudian mobil angkot mulai berjalan untuk mengantarkan penumpang ke tempat tujuan masing-masing. Pas di depan kantor kecamatan cibatu, aku melihat dia bersama temannya sehabis main voli kayaknya, karena dia memegang bola voli sambil ngobrol dengan temannya. Kulihat wajahnya bahagia tak tersirat sedikitpun wajah yang bakal membuatku kesedihan sepanjang waktu. Aku gak bisa menerka apa yang akan terjadi setelah ini.
Jantungku berdebar semakin kencang. Perasaanku semakin gak keruan. Grogi kayaknya. Ada rasa senang seakan yakin akan bertemu. Tapi hati kecilku gak bisa dibohongin, ada perasaan kurang yakin kalau dia ada dan akan menemuiku. Akhirnya aku sampai juga di perempatan jalan menuju ke rumahnya. Adzan maghrib sudah berkumandang. Seakan menambah rasa khawatirku semakin kuat. Aku berjalan menuju rumah pamannya, berniat untuk shalat maghrib di rumah pamannya. Barangkali bisa meredakan debaran jantungku yang gak keruan. Dengan shalat maghrib dulu mudah-mudahan mereda.
“Assalamualaikum, Assalamualaikum, Assalamualaiku”. Aku mengetuk pintu sambil mengucapkan salam dengan harapan pamannya ada di rumah.
“Waalaikum salam. Waduh ada Teh Yulis. Mah, ada Teh Yulis. Sendiri? Mana si Aa nya?” Tanya pamannya keheranan sambil mempersilakan masuk.
“Sendiri, Mang. Belum sampai ke sana, baru sampai sini, yah belok aja ke sisi mau numpang shalat maghrib dulu”. Jawabku panjang lebar menerangkan biar pamannya tahu bahwa aku baru saja sampai. Aku melangkahkan kakiku masuk rumah pamannya.
“Oh, iya. Sok mah sediakan mukena sama sajadahnya, di sini saja shalatnya, di kamar depan. Sok Teh, wudlu dulu di sana di belakang sebelah dapur, apal lah, masih di situ belum pindah kamar mandinya juga”. Pamannya menerangkan bahwa rumahnya masih seperti dulu.