“Assalamualaikum!” salam yang kedua aku ucapkan agak lebih keras sedikit, siapa tahu yang tadi kurang kedengaran.
“Waalaikum salam warohmatullahi Wabarokatuh.” Jawab dari dalam rumah. Ternyata adiknya yang bungsu.
“Aih, Teh Yulis, apa kabar Teteh?” tak lupa sambil salam cium tangan cipika-cipiki.
“Silakan masuk, Teteh sama siapa, sendiri? Ya ampun, malem begini, masih ada angkot tah?” Tanya adiknya seperti tidak percaya kalau aku yang ada di hadapannya. Aku sudah lama nggak ke rumahnya, entah berapa puluh bulan purnama kulewati tanpa dia.
Kemudian aku dipersilakan duduk di kursi tamu yang memang sudah aku kenal sejak lama. Kuatur nafasku yang agak tersengal, bukan karena capai, tapi entahlah aku sendiri tak mengerti dengan agak sesek tiba-tiba. Dalam keadaan seperti ini kadang aku sendiri tidak mengerti. Kenapa gemuruh dalam dada semakin kuat, dan seperti tak ingin berhenti. Aku berusaha menarik nafas, buang nafas perlahan-lahan agar tidak ketahuan sama yang punya rumah.
“Teh, janjian sama si Aa?” Tanya adiknya penuh selidik.
“Iya Neng, ada gak?” tanyaku penasaran.
“Ada. Tapi kayaknya mau pergi.” Jawab adiknya jujur.
“Oh gitu? Katanya ada yang pengen dibicarakan sama Teteh.” Jawabku agak gondok.
“Tapi, gak tahu ya. Kali kalau ada Teteh mah gak jadi pergi.” Adiknya sok tahu.
Lagi asyik ngobrol sama adiknya, eh tiba-tiba dia nongol. Sudah rapi siap pergi. Tapi sayang dia sama sekali gak peduli padaku. Aku baru tahu jawabannya kenapa selama di perjalanan aku merasa bakal ada sesuatu yang terjadi. Firasat itu muncul dan benar adanya. Bahwa aku akan mengalami suatu peristiwa yang betul-betul di luar dugaan. Dia pergi tanpa menyapa sepatah katapun, kayaknya aku ini seperti asap yang hanya muncul bagai bayang-bayang. Tidak kelihatan. Tak ada sapaan apa pun, apalagi sapaan sayang yang biasa orang-orang pakai dalam bertegur sapa dengan kekasihnya. Blank, sama sekali ngeblank. Hitam, gelap gulita. Aku merasa dunia ini gelap dan sempit membuat sesak nafasku semakin menjadi. Yang tadi sudah diuapayakan melonggar kini sesak nafasku hampir terasa mencekik leherku. Untungnya aku punya Tuhan. Istighfar kuucapkan berkali-kali. Kukuatkan hatiku, kusabarkan perasaanku, kujanjikan pada hatiku sendiri bahwa mungkin nanti malam sepulang dia dari acara, akan ada peristiwa yang kunanti-nanti selama ini, sesuai yang dia janjikan di surat yang dikirim untukku. Nanti akan ada jawaban yang akan membuat hatiku bahagia. Berkali-kali kusampaikan pada diriku sendiri bahwa nanti sepulang dia dari acara akan ada kata-kata yang dapat menguatkan ikatan ini dengannya. Terus dan terus seperti itu yang kuucapkan pada hatiku agar hatiku lebih tentram.