Namun, memang aku ditakdirkan untuk tidak berjodoh dengannya. Sepulang acara pun dia sama sekali tidak peduli dengan kedatanganku. Entah apa yang salah. Apa akunya yang keganjenan barang kali, baru dikirim surat segitu aja sudah serasa dilamar barang kali. Atau karena mungkin hatiku yang sudah tidak sabar karena sudah terlalu lama menunggu satu keputusan yang bisa membuat hatiku bahagia. Aku yang terlalu dibiarkan liar dengan hayalanku tentang bahagia di masa depan. Yang kesepian sekian lama tanpa siraman kasih sayang dari seseorang yang sungguh-sungguh kuharapkan. Selalu dibiarkan tanpa sentuhan mesra yang dapat mengelola rasa cinta yang segar agar tetap berbunga dengan indah. Padahal dengan kata-kata pun masih bisa memelihara itu semua, apalagi dengan sentuhan cinta yang mesra dan romantis pastinya hubungan akan abadi.
Tepat pukul 24.00 WIB, acara di tv yang hitam putih sudah berakhir, dia datang, baru pulang dari acara bareng temen-temen katanya. Eh, Lagi-lagi aku dianggap patung. Dianggap tidak ada. Atau mungkin dikira surat yang dikirimnya belum kuterima. Jadi aku datang ke rumahnya itu mungkin menurut dia bukan karena undangannya. Bukan karena isi suratnya. Aku mulai merasa “Da aku mah apa atuh” Betapa kecilnya aku di matanya. Tak ada harga sepeserpun buat pengorbananku selama ini dan sesakit ini. Tapi memang bukan lelaki namanya kalau tidak mampu membuat seorang perempuan jatuh tersungkur. Jatuh sejatuh jatuhnya. Sia-sia sudah perjuanganku, Tiada lagi harapanku untuk dapat melanjutkan hubungan ini. Diupayakan dengan sepenuh hatipun tidak ada upah sedikitpun buat melegakan hati ini. Hatiku seakan robek tercabik-cabik, robek serobek-robeknya. Bukan retak seribu tetapi hatiku hancur berantakan. Tak ada yang tersisa. Musnah.
Aku buru-buru masuk kamar memaksakan untuk dapat tidur supaya pagi bisa bangun subuh dan pulang ke Bandung. Itu tekadku dalam hati.
“Tak ada lagi rasa yang selama ini kupelihara, buat apa aku ada di sini kalau hanya rasa sakit yang menemaniku. Padahal aku sudah berandai-andai jika memang dia akan mengatakan sesuatu tentang hubungan kita, aku akan menerima dengan sepenuh hati dan akan menetapkan bahwa hidupku harus bersama dia.” Itu dan itu saja yang kuucapkan dalam hati
Tapi aku ternyata hanya manusia biasa, yang lemah tak berdaya. Mataku gak bisa merem. Malah rembeslah airmataku. Aku menangis sekuat-kuatnya dengan ditutupi bantal biar adiknya gak sampai tahu kalau aku menangisi kelakuan kakaknya. Dan aku tertidur dengan sendirinya, mungkin capainya menangisi kepedihan hati sendiri.
Tiba-tiba aku terbangun, kulihat jam tanganku, sudah pukul 04.30. kedengaran adzan sedang dikumandangkan.
“Waduh, sudah subuh.” Dengan penuh rasa syukur aku bangun dan baru sadar kalau aku ada di rumahnya. Bergegas aku ke kamar mandi. Kutahu, ibunya sudah duduk siap di atas sejadah segera akan melaksanakan shalat subuh.
Aku buru-buru mandi. Kemudian dandan untuk melaksanakan shalat subuh. Karena pikirku akan lebih baik selesai shalat subuh aku langsung pulang biar sekalian gak ketemu dia. Setelah selesai menunaikan shalat subuh, kemudian aku keluar kamar untuk berpamitan kepada ibunya.
“Mau ke mana, sudah siap wayah gini?” Tanya dia bikin aku kaget. Rupanya dia sudah bangun duluan karena memang dia berangkat kerjanya sehabis shalat subuh.
“Mau pulang!” jawabku ketus.
“Besok aja pulangnya.” Katanya sambil pergi berlalu begitu saja. Gak punya tatakrama. Nggak ada tanda-tanda dia merindukan aku apalagi untuk bicara empat mata, sapaannya saja kurasa kasar, nggak ada sentuhan cinta dan kasih sayang sedikit pun.