Bersyukur, aku cukup cantik sehingga beberapa lelaki menaruh hati padaku. Para lelaki itu mencoba berkenalan dengan pola yang selalu sama. Obrolan di jejaring sosial pun begitu-begitu saja.
Pertanyaan seperti, "Hai, lagi apa?", "Sudah makan belum?", "Hari ini ngapain aja?", "Selamat tidur, selamat Pagi, Selamat bekerja," dan perkataan sejenisnya sudah membuatku jenuh saban hari.
Namun kucoba jalani pelan-pelan. Sampai akhirnya aku menemukan Dony saat berkunjung ke kantor klien di bulan Oktober. Seorang Duda tanpa anak yang ditinggal mati istrinya. Aku tak tahu apakah mamahku akan suka atau tidak. Tapi sejauh ini, dia adalah orang yang paling berpotensi.
Layaknya ABG, kita pergi dan makan bersama. Hampir setiap weekend. Kita berjalan bergandengan di jalur pedestrian. Kita bercanda-canda. Mencolek-colek pipi. Ah, rasanya sudah lama aku tidak merasakan hal-hal seperti ini. Meskipun agak canggung mengingat usiaku bisa dikatakan tak cukup muda.
November datang secara tiba-tiba. Sebagai orang yang taat pada tenggat waktu, aku menyadari bahwa tak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa bahwa Dony  ingin bergerak berjalan menuju status yang sah. Aku tak pernah menanyakan apa-apa, sebab kupikir, dua orang dewasa seperti kita akan tahu kemana langkah selanjutnya akan diambil setelah banyak hal yang telah kita lalui. Tapi apakah Dony yang berumur satu tahun di atasku sudah paham.
Aku bingung. Sampai aku sadari bahwa Dony tidak sedewasa itu. Ia senang bermain-main. Ia sedang berpetualang. Ia senang bertamasya. Aku bukan satu-satunya orang yang ia dekati. Entah, tanpa sengaja, aku melihatnya bersama perempuan. Bajingan memang.Â
Padahal, anganku sederhana. Aku mau hubungan yang hangat, tanpa banyak permasalahan dan drama. Bukah hubungan yang sering aku lalui semasa SMA sampai berumur 20an awal. Sial, sudah tua begini, masih saja ditinggal laki-laki yang bukan suami.
Aku patah hati lagi. Suka melamun lagi. Suka menangis lagi. Aku seperti mayat hidup. Tidak tahu makna dari apa yang aku lakukan. Aku sering terbangun tengah malam. Melihat langit-langit tempat tidur seolah diatas sana adalah layar yang menampilkan kisah-kisahku. Aku teringat bagaimana lelaki itu membuka pintu mobil seolah aku adalah orang paling istimewa. Mengenakan sabuk pengamanku sambil mencolek pipiku. Ah lucu sekali.
Saat kucoba memejamkan mata, aku teringat kembali ketika berkunjung ke apartemennya yang sedikit berantakan. Dia memasak mie instan untukku saat diluar sedang hujan deras. Dia menyuruhku makan dan mengatakan bahwa ia tidak lapar. Namun ketika mie instan hampir tandas, kudengar suara perutnya yang keroncongan. Kutanya mengapa dia tidak memasak dua porsi. Dia bilang itu mie instan terakhir dan belum sempat membeli lagi karena hujan. Ah sial mengapa momen itu manis sekali.
Aku tak sadar bahwa aku selalu menangis ketika membayangkannya. Sering sekali kubuka handphone dan berharap bahwa Dony akan memulai percakapan atau sekadar menelpon seperti yang dilakukan tempo dulu. Namun aku sadar, ketika dia melakukan itu, aku mencabik hatiku lagi.
Hampir setiap malam aku galau. Kembali pada kisah-kisah kecil yang begitu kuat terekam di memoriku. Barangkali, sudah 3 minggu aku tak nyaman menjalani hidup. Galau. Sulit sekali dilupakan. Momen paling sial saat patah hati adalah mengalami hal-hal seperti ini. Ketika terbangun pada malam hari, mengenang apa yang telah kita lakukan bersama bekas pasangan. Kita tahu kita tidak bisa melakukannya lagi. Kita hanya bisa membayangkan. Di sisi lain, esok pagi, dunia nyata menanti yang memaksa kita harus menaruh perhatian lagi pada salah satu sisi kehidupan yang lain.