Hari ini adalah hari pernikahanku. Tepatnya satu jam sebelum akad. Dadaku berdesir, nafasku terasa pendek, jantungku seolah menggedor-gedor kulit dadaku dengan begitu cepat.Â
Apakah semua perempuan merasakan hal yang sama menyambut pernikahan? Kupejamkan mataku, kurenungi dalam-dalam dan kupastikan pada diriku bahwa hari ini aku bahagia.
Aku berada di ruang tata rias, menunggu seseorang datang menjemputku. Aku serupa barang antik yang disembunyikan dulu di ruang rahasia, ditutup kain, sebelum akhirnya dipamerkan di tempat pelelangan. Aku ditunggu-tunggu.
Kuhadapkan wajahku ke permukaan cermin dengan foundation dan blush on menutupi pori-pori pipiki. Aku harus akui bahwa aku cukup menarik. Kulihat bola mataku yang dilapisi soft lens berwarna coklat dengan bulu mata yang ditambah eyelash extension dan alis digambar agar telihat tebal dan mantap. Mataku Indah. Kuyakin suamiku beruntung. Definisi cantik secara general sudah kumiliki. Ah sepertinya aku terlalu jumawa.
Kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu. Kuambil mahkotaku di muka meja dan kupasang di kepala. Kutarik nafas dalam-dalam sambil melangkahkan kakiku menuju para tamu yang sudah ramai. Langkahku pelan tapi pasti. Bukan disengaja pelan, namun kain yang melingkari pinggang dan sepatu pengantin membuatku sulit bergerak cepat. Kulemparkan senyum pada orang-orang di ruangan. Mereka pun menyambarnya seperti ikan yang hendak diberi umpan oleh petambak.
Calon suamiku duduk dihadapan penghulu dengan gugup. Ya betul, calon suami, karena akad belum selesai bukan? Kupastikan mamahku tersenyum melihatku. Mengangguk seolah sudah beratus-ratus tahun menunggu anak semata wayangnya menikah.
***
Pernikahanku agak dipercepat. "Jangan terlalu lama, kamu sudah berumur 36, Amira," kata mamahku.
Rasanya baru tiga bulan aku mengenal calon suamiku. Tapi tak apa. Selama tiga bulan ini dia sudah menunjukan kelelakiannya. Menjagaku, merangkul, memahami dan satu lagi, membimbingku. Ah, tapi apakah perempuan perlu dibimbing? Padahal perempuan tidak salah jalan. Yang pasti dia laki-laki idaman. Terlebih, dia mapan, religius dan pandai memasak. Masalah tampang, apa laki-laki harus melulu dilihat dari tampang. Bukankah yang penting cara dia berperilaku dan bertanggung jawab atas perkataannya. Ya meskipun, calon suamiku ini memang tampan.
Jika tidak salah ingat, bulan Juni 2019 mamah menyatakan keinginannya agar aku menikah. Aku diberi waktu 6 bulan. Gila bukan. Padahal mencari laki-laki tidak semudah memilih cabai di pasar. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan.
Jadi, waktu itu, ketika sedang bermalas-malas di minggu siang, secara tiba-tiba, mamah menghampiriku dan mengajak bicara. Sebuah keajaiban yang sangat langka dia sengaja datang dan duduk disamping kasurku yang bersprei putih. Beberapa menit kemudian, dia menyatakan keinginannya.
"Jangan terlalu pilih-pilih, jika mencari pasangan ideal menurutmu, kamu tidak akan menemukannya," ujarnya.
"Ya memang belum ketemu saja, mah," kataku
"Sudah 10 tahun, sepengetahuan mamah, kamu tidak punya pasangan. Apa tidak kesepian."
Sial. Aku tak bisa pungkiri bahwa sepuluh tahun tanpa pasangan adalah sepi. Aku selalu mencari kesibukan agar pikiranku terus bekerja dan tidak memikirkan tentang hubungan lawan jenis. Tapi akhir pekan tidak bisa dihindarkan dan selalu kelabu. Ketika aku lelah bekerja dan malas beraktifitas. Aku hanya melamun dan membayangkan alangkah bahagianya jika aku bisa keluar rumah bersama seorang pria. Jika tidak, cukup dirumah menonton film bersama sambil berpelukan, memasak, atau bermalas-malas di atas sofa. Rasanya menyenangkan.
"Coba kamu pikirkan ulang, Amira, apa kamu tidak mau membahagiakan mamah, mumpung mamah masih sehat, mamah punya uang untuk pernikahan kamu. Mamah juga kan mau mengundang, bukan hanya dapat undangan saja," tambahnya.
"Iya mah, aku juga sedang usahakan," ujarku.
"Coba sini, mamah dikirimin foto anaknya teman mamah, laki-laki, coba kamu lihat," ujarnya
"Tidak, Mah, terima kasih,"
"Kamu tahu nggak, mamah sudah bosan ketika tetangga kita, teman-teman mamah, serta saudara-saudara menginginkan mamah jadi calon besannya. Mamah kan jadi bingung mau bilang apa," ujarnya.
Sejak itu, aku mulai paham bahwa, ada satu problem bagi seorang ibu jika belum bisa menikahkan putrinya. Belum sempurna. Terlebih perawan yang hampir tua, sepertiku.
Pernah suatu ketika, mamahku menanyakan keberadaanku di sabtu akhir pekan melalui pesan singkat.
"Amira, kamu dimana?" Tanyanya
Karena takut terjadi apa-apa, aku langsung membalas. "Di rumah kawan, main. Kenapa mah?" Tanyaku
"Jangan main ke rumah kawan melulu, coba kerumah pacar."
Mataku terbelalak. Sebuah pesan jenaka. Sebab dia tahu aku tidak punya pacar.
Namun keadaan ini, semakin hari semakin mengkhawatirkan, saban hari aku didera pertanyaan yang sama. Â Bosan. Seperti halnya seorang pekerja yang melakukan hal repetitif setiap hari. Tanpa ada perkembangan untuk naik jabatan atau tantangan baru.
***
Aku bekerja disebuah konsultan IT. Rasa-rasanya pekerjaan sebagai konsultan IT saat ini seperti perdebatan manakah yang lebih dahulu antara ayam dan telur. Tidak ada habisnya dan menguras energi. Untuk tahun ini, aku tak begitu ambil banyak proyek sebab ingin menuntaskan yang sudah kumulai. Eh tapi, mungkin akan ada satu tambahan proyek untuk tahun ini. Proyek yang harus diselesaikan hanya dalam lima bulan. Kutulis nama proyek itu di catatan laptop agar aku bisa konsisten terhadap waktu.
"Proyek Membahagiakan Mamah"
"Deadline = akhir November"
Sebagaimana sebuah kantor yang baru saja ditinggal resign berjamaah oleh karyawannya, agar cepat mendapat pengganti, kadang kantor akan menghilangkan beberapa syarat penting atau mengurangi tahapan tes dalam proses perekrutan. Tentu saja, agar cepat mendapat pengganti. sebab bisnis harus selalu berjalan dan cash harus diproduksi. Jika aku adalah sebuah kantor, mungkin aku akan mengurangi requirement dan memotong tahapan tes.
Bersyukur, aku cukup cantik sehingga beberapa lelaki menaruh hati padaku. Para lelaki itu mencoba berkenalan dengan pola yang selalu sama. Obrolan di jejaring sosial pun begitu-begitu saja.
Pertanyaan seperti, "Hai, lagi apa?", "Sudah makan belum?", "Hari ini ngapain aja?", "Selamat tidur, selamat Pagi, Selamat bekerja," dan perkataan sejenisnya sudah membuatku jenuh saban hari.
Namun kucoba jalani pelan-pelan. Sampai akhirnya aku menemukan Dony saat berkunjung ke kantor klien di bulan Oktober. Seorang Duda tanpa anak yang ditinggal mati istrinya. Aku tak tahu apakah mamahku akan suka atau tidak. Tapi sejauh ini, dia adalah orang yang paling berpotensi.
Layaknya ABG, kita pergi dan makan bersama. Hampir setiap weekend. Kita berjalan bergandengan di jalur pedestrian. Kita bercanda-canda. Mencolek-colek pipi. Ah, rasanya sudah lama aku tidak merasakan hal-hal seperti ini. Meskipun agak canggung mengingat usiaku bisa dikatakan tak cukup muda.
November datang secara tiba-tiba. Sebagai orang yang taat pada tenggat waktu, aku menyadari bahwa tak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa bahwa Dony  ingin bergerak berjalan menuju status yang sah. Aku tak pernah menanyakan apa-apa, sebab kupikir, dua orang dewasa seperti kita akan tahu kemana langkah selanjutnya akan diambil setelah banyak hal yang telah kita lalui. Tapi apakah Dony yang berumur satu tahun di atasku sudah paham.
Aku bingung. Sampai aku sadari bahwa Dony tidak sedewasa itu. Ia senang bermain-main. Ia sedang berpetualang. Ia senang bertamasya. Aku bukan satu-satunya orang yang ia dekati. Entah, tanpa sengaja, aku melihatnya bersama perempuan. Bajingan memang.Â
Padahal, anganku sederhana. Aku mau hubungan yang hangat, tanpa banyak permasalahan dan drama. Bukah hubungan yang sering aku lalui semasa SMA sampai berumur 20an awal. Sial, sudah tua begini, masih saja ditinggal laki-laki yang bukan suami.
Aku patah hati lagi. Suka melamun lagi. Suka menangis lagi. Aku seperti mayat hidup. Tidak tahu makna dari apa yang aku lakukan. Aku sering terbangun tengah malam. Melihat langit-langit tempat tidur seolah diatas sana adalah layar yang menampilkan kisah-kisahku. Aku teringat bagaimana lelaki itu membuka pintu mobil seolah aku adalah orang paling istimewa. Mengenakan sabuk pengamanku sambil mencolek pipiku. Ah lucu sekali.
Saat kucoba memejamkan mata, aku teringat kembali ketika berkunjung ke apartemennya yang sedikit berantakan. Dia memasak mie instan untukku saat diluar sedang hujan deras. Dia menyuruhku makan dan mengatakan bahwa ia tidak lapar. Namun ketika mie instan hampir tandas, kudengar suara perutnya yang keroncongan. Kutanya mengapa dia tidak memasak dua porsi. Dia bilang itu mie instan terakhir dan belum sempat membeli lagi karena hujan. Ah sial mengapa momen itu manis sekali.
Aku tak sadar bahwa aku selalu menangis ketika membayangkannya. Sering sekali kubuka handphone dan berharap bahwa Dony akan memulai percakapan atau sekadar menelpon seperti yang dilakukan tempo dulu. Namun aku sadar, ketika dia melakukan itu, aku mencabik hatiku lagi.
Hampir setiap malam aku galau. Kembali pada kisah-kisah kecil yang begitu kuat terekam di memoriku. Barangkali, sudah 3 minggu aku tak nyaman menjalani hidup. Galau. Sulit sekali dilupakan. Momen paling sial saat patah hati adalah mengalami hal-hal seperti ini. Ketika terbangun pada malam hari, mengenang apa yang telah kita lakukan bersama bekas pasangan. Kita tahu kita tidak bisa melakukannya lagi. Kita hanya bisa membayangkan. Di sisi lain, esok pagi, dunia nyata menanti yang memaksa kita harus menaruh perhatian lagi pada salah satu sisi kehidupan yang lain.
Hingga pada suatu sabtu yang agak mendung dan sendu di akhir November, Doni kembali berkecamuk di pikiranku. Semakin kucoba membunuh pikiran itu, semakin kuat ingatanku akan hal-hal detail yang begitu manis saat itu dan sangat pahit saat ini. Aku keluar kamar untuk membasuh muka dan kucoba menghapus air mata dengan air keran. Sampai akhirnya aku melihat mamahku sedang menonton televisi sendirian. Kuhampiri dia.
"Mah, aku boleh lihat foto laki-laki yang waktu itu?"
"Yang mana," ujarnya
"Yang mamah mau jodohkan buat aku,"
"Oh, ini."
"Sepertinya aku mau"
"Akhirnya. Kamu akhirnya mau menikah,"
Mamahku kemudian menceritakan semua hal tentang calon suamiku, bagaimana tampannya dia, bagaimana berbaktinya dia, bagaimana cerdasnya dia. Segala hal yang mungkin akan membuatku tertarik.
Aku menikah.
***
Satu tahun berlalu setelah pernikahanku yang mengesankan itu. Aku yakinkan kembali bahwa aku bahagia. Seperti akhir pekan sebelum-sebelumnya, aku berkunjung ke tempat mamahku. Pada suatu kesempatan, ketika suamiku sedang keluar bersama ayah. Mamahku  mengajakku pergi ke dapur untuk membuat makanan.
"Suamimu suka makan apa?"
"Apa saja, Mah, yang penting tidak terlalu asin."
"Oh kalau begitu, ayo kita buat ikan bakar."
"Ayo, Mah,"
"Ngomong-ngomong, kamu apa tidak mau punya anak. Mamah akan sangat bahagia sekali kalau kamu punya anak,"
"Eh iya, Mah, sedang diupayakan,"
"Mamah ingin jadi nenek. Pasti mamah akan sangat bahagia kalau bisa menggendong cucu,"
"Eh iya, Mah"
Setelah makanan selesai dan disajikan dimeja makan. Bapak dan suamiku kembali. Aku duduk beristirahat selepas memasak dengan mamah. Apron masih terpasang di badanku. Kemudian, kutarik kursi dan membuka ponselku. Aku kutulis.
"Proyek membahagiakan mamah jilid II"
"Deadline = Tidak ada, urusan Tuhan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H