Kelana diam cukup lama. Matanya menatap tajam ibunya yang sedari tadi kembang kempis dengan air mata yang masih menetes di depannya. Wanita itu mengepalkan tangan kanannya dan sesekali meninju dadanya yang terasa sesak. Sementara itu, bapaknya duduk di kursi kayu anyaman plastik sekitar dua meter dari keduanya. Sambil mengepulkan asap rokok kreteknya, Sudarto menerawang jauh ke arah halaman rumahnya yang masih basah habis tersiram air hujan. Beberapa gelas kopi yang menyisakan 'letak' masih berserakan di atas meja. Sisa abu rokok pun masih tertumpuk di atas asbak bersama dengan puntung Sukun Putih.Â
"Ibu sudah punya firasat. Ibu sudah mewanti-wanti supaya dia hati-hati, kok malah begini jadinya. Kok bisa-bisanya dia suka sama suami orang. Istrinya bahkan sampai datang ke sini sama mertuanya. Mau ditaruh di mana muka ibu ini. Apa kata orang-orang nanti?"
Kelana diam karena sudah lelah. Sebelumnya, dia mengulang-ngulang kalimatnya supaya ibunya tak berprasangka buruk dulu pada Tari. Lagian Tari juga tidak di rumah. Akan lebih adil kalau pihak keluarga menunggu penjelasanya dia dan kemudian mengambil tindakan. Menilai perkara hanya dari satu sumber saja itu tak pernah membawa keadilan. Dengarkan kedua sisi, baru setelah itu nilai baik dan buruk bisa dijatuhkan.Â
Sambil menghela napas jengah, Kelana berjalan ke arah kursi tempat ayahnya duduk kemudian dia ikut duduk di kursi sebelahnya. Lelaki tua ini terlalu menyukai rokok. Entah sudah berapa puntung yang dia hisab sejak para tamu tadi itu pergi.Â
"Bapak tunggu Tari dulu. Telepon dia. Dengarkan penjelasannya dan setelah itu baru kita bisa tahu duduk perkara yang sebenarnya. Siapa tahu istri Mohari hanya berprasangka. Istri memang kaya gitu. Suami yang nakal yang disalahkan wanita lain."
"Bapak tahu. Nanti bapak akan telepon Tari. Dia sepertinya tidak berani pulang karena perkara ini."Â
Dengan suara yang tak biasanya kalem, lelaki tua ini menyelesaikan hisapan rokoknya dan kemudian menatap Kelana dengan pandangan yang mengisyaratkan banyak makna.Â
"Kamu bagaimana, Nduk? Orang tuamu juga sudah tua begini. Sekarang usiamu sudah sangat pantas untuk menikah atau malah sudah kelewat. Telinga bapak sudah puas mendengar omongan tetangga. Kalau kamu tidak menikah, bagaimana kami? Bagaimana kamu? Bagaimana nasib adikmu? Lagian kemarin Abdul juga datang untuk minta izin pada bapak? Dia itu anak baik, soleh, pekerjaan juga sudah ada. Kalian juga seusia kan? Apa lagi? Jangan terlalu banyak ngejar karir. Sudah saatnya kamu mikir masa depanmu."Â
Kelana hanya diam seribu bahasa. Bukankah hari ini yang sedang menjadi subjek masalah adalah Tari? Tapi, kenapa selalu saja dia yang salah karena memutuskan untuk menunggu lelaki yang tepat untuk dia nikahi.
.......
Skandal Tari dan Mohari, si pegawai kecamatan itu, mulai tersebar keesokan harinya. Banyak tetangga yang sudah mulai berkumpul di dapur-dapur dan bawah pohon bergunjing menyalahkan Tari yang menyukai suami orang. Tari adalah anak gadis dengan karir bagus yang bekerja di sebuah kantor pengacara di kabupaten, lalu kenapa dia masih mengejar lelaki yang sudah beristri. Pihak keluarga tak tahu harus mulai dari mana menghadapi gunjingan-gunjingan negatif ini. Mereka tak mungkin memberikan penjelasan satu per satu kalau Tari sebenarnya tak begitu salah dalam perkara ini. Anak gadis itu hanya mengagumi seorang lelaki yang kata dia "dewasa". Dia hanya berinteraksi secukupnya saja dan sadar tentang posisinya. Hanya saja, Mohari punya terlalu banyak masalah dan tak bisa menumpahkannya pada istrinya. Akhirnya, dia mencari pelarian dan yang dia dapatkan adalah anak gadis dengan segala keluguannya tentang cinta.Â
Entahlah!Â
Sore hari pukul 4 seperti ini, Kelana mengakhiri kelas mengaji yang dia kelola di tanah keluarga sekitar 50 meter dari rumah. Anak-anak kecil yang sudah selesai berdoa berlarian dan berebut ingin keluar kelas lebih dahulu. Para ibu dan beberapa bapak yang menunggu di halaman sekolah tampak tersenyum melihat buah hati kecil mereka saling berlarian ingin segera naik motor. Â Nur Fatimah, salah satu dari 3 guru mengaji, juga ikut bersiap untuk pulang.Â
"Mbak Kelana, malam ini jadi kumpul ndak? Aku sudah bilang sama lima anak gadis tetangga kalau tempat kumpulnya di rumahku," ucapnya sambil merapikan meja kerja kecilnya.Â
"Iya, Nur. minta mereka untuk bawa buku catatan dan HP masing-masing ya?"
Kelana masih sibuk mengisi logbook kerjanya. Dia tak memperhatikan wajah Nur yang tampak sumringah.Â
"Siap."Â
"Mbak, aku pulang dulu ya,"Â
Nur dan Rahima berpamitan untuk pulang. Seperti biasa, Kelana memang pulang paling akhir. Selain karena rumahnya jauh lebih dekat, dia juga merangkap kepala sekolah ngaji ini.Â
Sekitar lima menit kemudian, salah satu wali murid yang juga teman kecil Kelana, Suci, datang tergopoh-gopoh.Â
"Na! Ada yang cari kamu di rumah! cepet pulang!"Â
Kelana terperangah. "Siapa?"Â
"Ndak tahu. Dia nggak mau bilang. Dia hanya bilang kalau kamu ketemu dia, kamu pasti tahu siapa dia? di rumah ndak ada orang. Pakdhe dan Budhe ndak di rumah."
Wajah Suci berkerut-kerut tegang.Â
Karena masih bingung, Kelana tanya lagi,"Perempuan atau lelaki?"
"Perempuan. Dia bawa mobil."Â
"Mobil? platnya?"
"Ndak tahu. Mobilnya bagus. Mobil kota. Pokoknya kamu harus pulang deh. Orang e aneh. Nada suaranya tinggi waktu datang. Apa kamu punya masalah sama dia? Sekarang Pak Lek Jo sedang ada di sana."
Tanpa menjawab, Kelana berdiri kemudian berjalan keluar dengan langkah kaki cepat. Suci sedikit berlari-lari kecil mengejarnya dari belakang. Malam ini Tari belum pulang juga. Tadi malam dia mengirim pesan whatsapp meminta Kelana untuk bilang pada ayah dan ibu supaya tidak termakan gosip di desa. Dia tidak merasa bersalah karena suka dengan suami orang. Katanya rasa suka itu tak bisa dipilih-pilih. Lagian kan dia hanya mengobrol seperlunya dan tidak pernah sengaja berduaan dengan Mohari. Istrinya saja yang terlalu bawa banyak perasaan.Â
Apa pun itu, Kelana berharap perempuan yang datang ke rumahnya ini tidak ada hubungannya dengan Tari supaya beban pikiran ayah dan ibunya tidak bertambah.Â
Begitu langkah kaki Kelana sudah mendekati halaman rumah, mobil bagus berwarna hitam yang Suci ceritakan terparkir di bawah pohon mangga. Sekilas Kelana melihat plat mobil 'L 2345 SAB.' Perempuan ini datang dari Surabaya?Â
Dari kejauhan terlihat Pak Lek Jo sedang mengobrol dengan seorang wanita berbaju gamis krem dan kerudung hitam. Perempuan ini membelakangi halaman rumah, jadi dia tidak tahu kalau Kelana datang.Â
"Pak Lek Jo,"sapa Kelana begitu dia melangkah ke teras rumah.Â
Lelaki itu terperangah melihat Kelana. Dia menoleh ke arah wanita di depannya yang sepertinya belum tahu akan kedatangan Kelana. Perempuan itu memutar kepalanya dan langsung terbelalak begitu matanya beradu pandangan dengan Kelana.Â
Suci benar. Kelana langsung mengenali si wanita ini. Dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan Tari dan Mohari atau siapa pun di desa ini. Wanita ini datang khusus untuk dirinya. Entah masalah apa pun yang dia bawa, Kelana tahu yang jadi subjeknya adalah dia.Â
"Kelana!"Â
Dia berdiri dan mengangkat tangan kanannya. Tanpa basa-basi, dia memberikan tamparan keras di wajah Kelana.Â
"Astagfirullah!" Pak Lek Jo dan Suci kaget. Beberapa orang yang lewat di depan rumah juga ikut berhenti.Â
Kelana merasa terhina diperlakukan oleh orang yang tak dia kenal baik seperti ini dan di rumahnya sendiri. Namun, dia menahan diri untuk berteriak membentak perempuan ini.Â
"Aku memang tidak mengenalmu dengan baik, Kelana. Tapi aku cukup tahu, dalam lima tahun pernikahanku dengan Mas Iqbal, kau selalu menjadi duri dalam pernikahan kami!"Â
Dia berteriak dengan begitu lantangnya seolah Kelana memang patut disalahkan dalam permasalahan rumah tangganya. Â
"Kau pasti tahu kan? kalau aku memiliki dua anak dengan suamiku. Dua anak kami yang cantik. Teganya kau tetap menggoda suamiku meski kau tahu dia sudah menjadi suami dan ayah dari kedua anak kami? Bukankah kau wanita yang pintar. Apa susah bagimu mencari lelaki lain dan sengaja melajang sampai umurmu tiga puluhan seperti ini? Apa kau menungguku mati supaya kau bisa dinikahi oleh Mas Iqbal?"Â
"Ha? Awalnya aku diam saja ketika diam-diam Mas Iqbal masih menyimpan segala kenangannya denganmu. Dia masih menyimpan fotomu, halaman buku di mana kau menulis banyak hal tentang dirimu di sana dan dia juga mengecek sosial mediamu di tengah malam. Kau tahu apa yang aku rasakan? sakit, Kelana! Sakit!"Â
"Hari ini, dia berkeluh kesah pada abangnya tentang perasaannya padamu. Dia bilang bawah sejak malam aku menikah dengannya dia selalu bermimpi bersamamu, bukan dengan diriku. Padahal aku yang setiap hari bersamanya. Aku yang selalu mendampinginya dan memberikannya dua anak. Apa yang kau lakukan sampai suamiku menjadi seperti itu, Kelana?"Â
Teriakan Aminah menjadi semakin kencang. Suaranya bahkan menjadi parau karena dibarengi dengan luluhan air mata dan emosi tinggi. Napasnya naik turun tak karuan.Â
Orang-orang yang tadi berhenti kini sudah datang mengerubungi. Persetan dengan rasa malu, Kelana benar-benar kehilangan muka. Di antara orang-orang, wajah kedua ayah dan ibunya ikut muncul. Keduanya memandangi anak sulungnya ini dengan tatapan syok. Setelah Tari, kini Kelana juga dianggap merebut suami orang? Â Kutukan apa ini, Ya Tuhan.Â
Pak Lek Jo mencoba menenangkan Aminah dengan memberikan beberapa nasehat supaya dia tenang dan memberikan Kelana kesempatan untuk berbicara. Aminah tak menggubrisnya dan terus merancau.Â
"Aku sakit hati, Kelana. Kenapa dulu kalian tidak menikah saja kalau kalian masih saling mencintai. Kenapa kalian berbuat seperti ini di belakangku? Apa kau senang kalau aku mendapati raga suamiku saja tanpa pernah mendapatkan hatinya? dasar wanita kurang ajar kau, Kelana. Kenapa kau tak membunuhku saja daripada aku harus hidup seperti ini?!!"Â
Teriakan keras Aminah semakin mengundang banyak orang untuk datang berkerumun. Bisik-bisik mulai terdengar dari kanan dan kiri. Sudarto dan istrinya sudah menghilang dari hadapan putri sulungnya. Mungkin mereka sangat malu mendapati kedua anak perempuannya menjadi pelakor.Â
Kelana melihat nanar Aminah yang terus sesenggukan. Tanpa menggubris dirinya yang sudah menjadi tontonan, dia mendekati istri Iqbal ini. Perempuan ini sedikit lebih tinggi darinya, jadi Kelana sedikit mendongak ketika berbicara.Â
"Sudah selesai? Puas sekarang?"
Suara Kelana terdengar sedikit serak karena sialnya air matanya juga ikut meleleh keluar. Hanya saja, dia merasa harus mempertahankan harga dirinya. Jadi dia menelan ludahnya berkali-kali supaya suaranya terdengar lebih tenang, tegas dan berwibawa.Â
"Sekarang aku yang gantian berbicara. Dengarkan baik-baik!" Telunjuknya diarahkan ke wajah Aminah.Â
"Aku tidak pernah sekali pun menggoda suamimu. Aku sekali pun tak pernah bertemu dengannya, meneleponanya atau mengirim pesan padanya. Aku berteman dengannya di media sosial jauh sebelum dia bertemu denganmu dan saat dia masih jadi temanku. Dan kamu tidak perlu takut aku akan mendekatinya. Jika dia memikirkanku, memimpikanku atau membicarakanku itu masalah dia, bukan masalahku. Tanyakan pada dia kenapa dia seperti itu? Tanyakan dengan jelas sebelum kamu datang mempermalukan orang lain dan menghinanya seperti ini? tanyakan pada dia apakah dia menikahimu karena cinta atau karena terpaksa? Tanyakan pada dia dengan sejelas-jelasnya. Selesaikan urusan rumah tangga kalian di rumah kalian, dan bukan di sini."
Gigi Kelana bergemerekan. Dia cukup berhasil menjaga ketegasan suaranya meski sesekali suara parau itu meletus keluar. Si Iqbal  itu sungguh sialan! Dia masih saja terus menyeretnya meski urusanya sudah selesai lima tahun yang lalu.
"Kelana, sudah ya, Nduk. Nanti Pak Lek yang akan menenangkan Mbak Aminah ini."
Badan Kelana ditarik mundur, menjauh dari Aminah. Istri Iqbal itu duduk lesu di kursi teras. Orang-orang yang sedari tadi mengerubungi ikut menyuarakan satu dua kalimat nasehat untuk Aminah.Â
"Apa kamu masih mencintai Mas Iqbal?"
Meski pelan, pertanyaan itu terdengar juga oleh kedua telinga Kelana. Dia tidak menjawab karena memang tidak ada gunanya.Â
Dengan merunduk, Kelana mencoba membelah kerumunan manusia untuk masuk ke dalam rumah. Namun, dia terhenti karena terhalang oleh seorang lelaki. Dia mendongak dan samar mendapati wajah lelaki ini tampak familier. Matanya yang teduh, alisnya yang sedikit panjang dan hidungnya yang tampak mancung serta bekas luka di dagunya. Yang berbeda hanya jambang tipis yang kini muncul di area rahangnya.Â
Begitu Kelana sadar kalau dia sedang berhadapan dengan Iqbal, dia mematung.Â
"Maaf, Mbak Kelana," ucap Iqbal dengan suara beratnya.Â
Seketika emosi Kelana memuncak dan ..plakkk! Sebuah tamparan mendarat di wajah Iqbal.Â
"Selesaikan urusanmu dengan istrimu."Â
Kelana melesat masuk ke dalam rumah.Â
Semua orang menoleh ke arah Iqbal.Â
Ternyata ini dia lelaki yang menjadi sumber masalah kedua wanita ini bertengkar.Â
........
Apa itu cinta? Kenapa rasanya seperti ini? Jika dua anak manusia tak ditakdirkan bersama, kenapa keduanya selalu terhubung oleh sebuah garis takdir yang seolah tak mau memisahkan. Entah dalam angan-angan, mimpi dan juga kenyataan. Bahkan tali pernikahan suci pun seolah tak cukup kuat untuk memisahkan hati keduanya. Meski raga tak bersatu, hati selalu mencari jalan untuk bersua.Â
Iqbal menyesali keputusannya tujuh tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Kelana dalam ketidakpastian. Waktu itu hidupnya juga memang masih tak pasti. Dia terhimpit banyak masalah dan berpikir bahwa pernikahannya dengan seorang wanita akan menyelesaikan masalah-masalahnya ini. Untuk sementara waktu, dia benar. Dalam rutinitas hidup bersama Aminah, perlahan dia mendapati solusi-solusi.Wanita ini mencintainya dan dia menganggap bahwa dia juga bisa memberikan cinta yang sama. Toh, dalam 3 tahun awal pernikahannya, mereka mendapatkan dua anak.Â
Sampai pada tahun kelima, dia merasa semuanya terasa mandeg. Hatinya masih terus menyimpan Kelana dalam memori istimewa sehingga hampir tiap malam sejak dia menikah, wanita ini selalu muncul dalam mimpinya. Dia sudah berusaha untuk bertanya kepada sahabat-sahabat dan juga para dokter jiwa supaya kenangan ini hanya menjadi kenangan saja, namun dia gagal. Ada satu pintu yang belum dia tutup dengan kelana dan selama dia belum menutupnya, Kelana akan selalu muncul dari pintu itu. Dia berselingkuh hati dari istrinya dengan bermimpi, diam-diam mengutit sosial media Kelana dan juga  membicarakannya secara sembunyi-sembunyi.Â
Dan ketika seorang dokter jiwa bertanya pada Iqbal tentang pintu apakah gerangan yang belum dia tutup, Iqbal menjawab,"Aku mencintainya. Dan aku belum mengatakan kalimat ini padanya."Â
---THE END--- Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H