Teriakan Aminah menjadi semakin kencang. Suaranya bahkan menjadi parau karena dibarengi dengan luluhan air mata dan emosi tinggi. Napasnya naik turun tak karuan.Â
Orang-orang yang tadi berhenti kini sudah datang mengerubungi. Persetan dengan rasa malu, Kelana benar-benar kehilangan muka. Di antara orang-orang, wajah kedua ayah dan ibunya ikut muncul. Keduanya memandangi anak sulungnya ini dengan tatapan syok. Setelah Tari, kini Kelana juga dianggap merebut suami orang? Â Kutukan apa ini, Ya Tuhan.Â
Pak Lek Jo mencoba menenangkan Aminah dengan memberikan beberapa nasehat supaya dia tenang dan memberikan Kelana kesempatan untuk berbicara. Aminah tak menggubrisnya dan terus merancau.Â
"Aku sakit hati, Kelana. Kenapa dulu kalian tidak menikah saja kalau kalian masih saling mencintai. Kenapa kalian berbuat seperti ini di belakangku? Apa kau senang kalau aku mendapati raga suamiku saja tanpa pernah mendapatkan hatinya? dasar wanita kurang ajar kau, Kelana. Kenapa kau tak membunuhku saja daripada aku harus hidup seperti ini?!!"Â
Teriakan keras Aminah semakin mengundang banyak orang untuk datang berkerumun. Bisik-bisik mulai terdengar dari kanan dan kiri. Sudarto dan istrinya sudah menghilang dari hadapan putri sulungnya. Mungkin mereka sangat malu mendapati kedua anak perempuannya menjadi pelakor.Â
Kelana melihat nanar Aminah yang terus sesenggukan. Tanpa menggubris dirinya yang sudah menjadi tontonan, dia mendekati istri Iqbal ini. Perempuan ini sedikit lebih tinggi darinya, jadi Kelana sedikit mendongak ketika berbicara.Â
"Sudah selesai? Puas sekarang?"
Suara Kelana terdengar sedikit serak karena sialnya air matanya juga ikut meleleh keluar. Hanya saja, dia merasa harus mempertahankan harga dirinya. Jadi dia menelan ludahnya berkali-kali supaya suaranya terdengar lebih tenang, tegas dan berwibawa.Â
"Sekarang aku yang gantian berbicara. Dengarkan baik-baik!" Telunjuknya diarahkan ke wajah Aminah.Â
"Aku tidak pernah sekali pun menggoda suamimu. Aku sekali pun tak pernah bertemu dengannya, meneleponanya atau mengirim pesan padanya. Aku berteman dengannya di media sosial jauh sebelum dia bertemu denganmu dan saat dia masih jadi temanku. Dan kamu tidak perlu takut aku akan mendekatinya. Jika dia memikirkanku, memimpikanku atau membicarakanku itu masalah dia, bukan masalahku. Tanyakan pada dia kenapa dia seperti itu? Tanyakan dengan jelas sebelum kamu datang mempermalukan orang lain dan menghinanya seperti ini? tanyakan pada dia apakah dia menikahimu karena cinta atau karena terpaksa? Tanyakan pada dia dengan sejelas-jelasnya. Selesaikan urusan rumah tangga kalian di rumah kalian, dan bukan di sini."
Gigi Kelana bergemerekan. Dia cukup berhasil menjaga ketegasan suaranya meski sesekali suara parau itu meletus keluar. Si Iqbal  itu sungguh sialan! Dia masih saja terus menyeretnya meski urusanya sudah selesai lima tahun yang lalu.