[caption caption="basreng"][/caption]
Beberapa hari setelah pembagian raport kenaikkan kelas, tepatnya dua hari jelang “munggahan” Ramadhan tahun ini, aku dan kakang di jemput ayah untuk sekedar bermain. Sudah takdir kami merasakan indahnya berorang tua tunggal. Aku dan kakang selama ini tinggal dan di asuh oleh ibu yang selalu hadir untuk kami, hatiku senang-senang saja ketika ayah menjemput di rumah nenek, meskipun itu bukan atas kemauanku entah perasaan kakang aku tidak tahu. Kakang lebih mengerti sifat dan karakter ayah yang seringkali lebih mempedulikan kegiatan sosialnya daripada anak-anaknya, hingga ia seringkali enggan jika harus bertemu dengannya.
Yamaha matic biru ber-sasis pendek kepunyaan ayah telah menunggu depan rumah nenek,
“Adik duduk di depan aja, kakang di belakang! “ seru ayah. Seakan mengerti jok motor nya terlalu sempit untuk kami bertiga.
Sepanjang perjalanan tak ada satu orangpun yang membuka obrolan, hingga tiba di salah satu ujung jalan dimana motor ayah siap memasuki jalan kecil menuju rumah abah dan umi.
“Bener kan kata kakang juga, pasti kesini!” seru kakang setibanya di rumah abah dan umi.
“ Emang gak ada tempat lain ya selain ini!” tambah kakang kesal namun ia tak berani berucap langsung pada ayah.
Selepas kami turun, ayahpun turut berpamitan untuk mengajar anak-anak di sekolah.
Aku dan kakang lantas menemui abah dan umi,
“mana ayahnya?” Tanya umi, yang kami temui di warung.
“ayahnya pergi lagi, katanya mau ngajar.” Jawab kakang, setelah mencium tangan umi segera menemui sepupu-sepupu lain yang telah lebih dulu berada disini.
“Yan, Yanti … “ teriak umi memanggil adik dari ayah yang sedang asyik dengan gadget nya.
“yaa,, bentar “ seru Bi yanti dengan langkah gontai menghampiri umi.
“Beli Daging sapi 3 kilo sama bumbu rendangnya sekalian, ke pasar.!” Pinta umi.
“Buat munggah?” Tanya bi Yanti
“iya … ni uangnya “ tambah umi sembari menyodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu.
***
Satu sore satu hari jelang hari berpuasa,
Bau bumbu rendang menyeruak dari arah dapur kulihat bi Yanti menghangatkan daging rendang yang dari kemarin ia masak. Menciumnya membuat air liur ku menetes membayangkan lezatnya daging rendang yang selalu ibu bawakan selepas ia pulang kerja. Sudah dua hari ini aku dan kakang makan hanya dengan telur ceplok buatan kakang. Dan dua hari itu pula kami belum bertemu lagi dengan ayah, entah dimana dia.
“kalian makan dengan telur aja ya … ni daging rendangnya sedikit, buat besok sahur!” seru bi yanti was-was, ketika mendapati kakang berada di dapur untuk mengambil bola bekel yang terlempar kesana dan sempat melirik wajan besar berisi penuh dengan daging rendang.
Kakang hanya membalasnya dengan senyum sambil melengos ke luar dapur setelah berhasil mendapatkan bola bekelku.
***
Hari pertama puasa tiba, pukul tiga dini hari kami sudah bangun karena memang sudah tiga hari ini kami tak bisa tidur. Menuruni anak tangga satu persatu setelah mendengar teriakan abah membangunkan dari arah bawah.
Setelah membersihkan tangan dan cuci muka, kami berempat aku, kakang dan kedua sepupu duduk lesehan depan piring kami masing-masing.
Tiba-tiba terdengar suara motor yang sudah tak asing lagi.
“motor ayah!” teriakku girang
Tanpa menyapa dan ingin tahu kabar kami, ayah menghampiri, duduk dan mengambilkan kami nasi dan satu buah sosis yang terhidang sambil sesekali menyuapiku.
Setelah selesai sahur sebelum terdengar adzan subuh, ayah berpamitan kembali
“ayah ke masjid dulu ya, gak ada orang yang adzan!”. Jelas ayah singkat.
Sesaat kemudian terdengar suara gerungan motor berlalu menjauh.
***
Hari pertama aku berpuasa terasa sangat lama dan badanku terasa lemas sekali, ingin rasanya memejamkan mata namun tak bisa, perutku terasa pedih sekali selama tiga hari ini tidak bernafsu makan karena menu yang di masakin kakang hanya telor ceplok dan terakhir tadi sahur nasi dengan sebuah sosis.
Tak terasa adzan maghrib hampir berkumandang, namun sepertinya belum terhidang apa-apa di meja makan. Dengan sisa sedikit uang bekal dari ibuku tiga hari yang lalu sebelum di jemput ayah, kakang berinisiatif membeli satu cup sop buah yang kami makan berdua.
Yang kami heran kenapa orang-orang di rumah ini saat maghrib mereka hanya minum air putih dan kembali ke kamarnya masing-masing, sedangkan kami kebingungan mau berbuka dengan apa?. Untungnya kakang berinisiatif untuk membeli mie gelas dan menyeduhkannya untukku dan membeli jajanan baso ikan goreng atau biasa kami sebut “basreng” berbumbu pedas.
“ayo sholat taraweh!” ajak abah saat keluar dari kamarnya.
Segera kami mengikuti untuk taraweh berjamaah.
Pulang dari traweh, aku dan kakang berharap menemukan nasi dan rendang itu terhidang dimeja karena perutku terasa sangat perih sekali. Namun lagi-lagi yang kami bisa hanya menuruti apa kata abah dan umi untuk naik kembali ke lantai atas untuk bergegas tidur karena takut bangun kesiangan untuk makan sahur. Tak lama aku dan kakang berada di atas, di lantai bawah terdengar suara bunyi piring tanda orang-orang sedang sibuk makan.
Menahan perutku yang teramat perih, aku coba untuk tidur dan berhasil!. Beberapa jam kemudian tiba - tiba terdengar suara kakang membangunkanku.
“dik , kakang di telpon ayah, ayah marah-marah!” seru kakang wajahnya terlihat cemas
“kenapa ayah bisa marah?” tanyaku sambil mengucek-ngucek mata,
“Tadi ibu sms kakang nanyain kakang sama adik makan buka puasa pake apa? Terus kakang jawab aja sama mie gelas dan basreng” lanjut kakang.
“Taunya ibu mungkin sms ayah, protes masa anak-anaknya buka puasa dengan basreng dan mie gelas”. Tukas kakang cemberut
“tapi kakang udah bilang ke ibu gak usah sms ayah, tapi taunya malah sms … jadinya kakang di marahin sama ayah!”. Lanjut kakang masih dengan muka cemberut.
***
Hari kedua ramadhan, seperti hari kemarin kami hanya bertemu dengan ayah saat sahur saja itupun dengan suasana yang tidak nyaman karena “tragedi basreng dan mie gelas kemarin”. Seisi rumah abah dan umi membahas soal sms ibuku yang bernada tidak terima anak-anaknya berbuka hanya dengan basreng dan mie gelas, namun aku tidak tahu apa yang harus kami lakukan.
Siang menjelang ashar, kami bertemu dengan ibu untuk menjemput paksa karena kekhawatirannya terhadap kami. Rupanya kakang sudah bersms ria dengan ibu sebelumnya.
Hhhhhh …. Legaaa rasanya saat bertemu dengan ibuuu … dan kulihat wajah kakang sangat sumringah ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H