Dan akhirnya pilihan jatuh pada Warung Sate Klatak Pak Pong. Namun berbeda dengan Warung Pak Pong yang dulu.
"Ternyata banyak juga warung Pak Pong ya Per?"
"Mungkin punyanya istri ke dua atau seterusnya Pak. Hehehehe."
"Husss....Kamu sudah ketularan Si Uwak ya?"
"Kan sohibnya Bapak. Qiqiqiqiqiqi"
Setelah makan, kami kembali balik ke arah utara. Aku harus matur dulu sama pemilik pohon Mentaok yang rumahnya persis di utara pohon tersebut. "Mbah, saya yang kemarin ke sini untuk mengambil batang Mentaok."
"Njih monggo le," kata Mbah putri yang hidupnya ditunggui oleh anak ragilnya di rumah dengan halaman cukup luas.
"Maturnuwun njih Mbah. Ini sekedar untuk beli teh dan gula batu Mbah," sambil menyalami Si Mbah yang masih terlihat raut wajahnya dulu waktu masih muda kelihatanya cantik.
"Mugi-mugi iso tukul yo Le."
"Amiin Mbak," sambil berpamitan.
Setelah mendapatkan izin dari pemilih pohon, akami mengeluarkan alat dan bahan. "Ini tidak seperti Timoho Mas. Trubusannya tidak teratur dan pendek-pendek. Jadi tidak bisa untuk perlakuan penelitian seperti Timoho kemarin."