Aku terbangun tengah malam dan buang air kecil serta minum segelas air putih. Seperti biasanya, aku buka HP untuk melihat pesan yang masuk. Ternyata ada beberapa, salah satunya dari Peri. "Maaf pak telat ngabari, tagihannya sudah cair jum"at Sore. Kita jadi ke Mbantul Pak?"
Jemariku langsung beraksi."Jadi dong Mas. Kita dah lama menunggu."
Tak lama setelah aku kirim balasan, tanda centang dua warna birupun tampil tanda jawabanku sudah dibaca Peri. "Kamu belum tidur Per?"
"Iya Pak. Ini masih di jalan ngedrop cabe."
Peri ini selain menjadi teknisi juga sudah lama bisnis cabe. Mengumpulkan cabe dari Jogja dan sekitarnya, lalu dikirim ke luar Jawa, terutama Riau tempat asalnya. Kakaknya yang menyalurkan ke pedagang di Riau.
"Kalau besok gimana mas kita ngambil materi stek Mentaok (Wrightia javanica) nya di Wonokromo?"
"Ya gak papa Pak."
"Jam 8 loh Per. Jam 1 aku ada meeting."
"Siap!"
"Gak ngantuk?"
"Dah biasa kok Pak. Tapi Bapak yang nyupir to? Hehehehe."
"Yo."
Pekerjaan pengambilan stek batang Mentaok di Desa Wonokromo, Bantul ini memang tertunda 3 mingguan. Hal ini disamping kesibukan APRS, pembuatan sungkup dan teknik stek batang Timoho yang baru didapatkan dari Kang Hamdan beberapa hari yang lalu.
Pohon Mentaok sudah sangat sulit dijumpai di Jogja. Pohon ini memiliki sifat yang sama dengan Timoho, terutama sprouting ability yang tinggi. Trubusan atau cabang-cabang inilah yang diambil untuk bahan stek batang sebagai salah satu teknik propagasi vegetatif untuk mengatasi kelangkaan pohonnya dan bijinya.
"Aku tunggu di persemaian ya Mas." Pesan WhatsAPPku kirimkan pada Peri sebelum menyirami bibit pada 18 bedengan yang membujur dari utara ke selatan. Tak lama sosok kerempeng berambut kriting sambil merokok terlihat masuk lewat pintu selatan persemaian.
"Bentar ya Mas. Tanggung nih masih dua bedeng lagi."
"Siap!" Sautnya dengan rokok putih menempel di bibirnya.
"Dah lengkap alat dan bahanya Mas?" Sambil aku matikan kran air paling ujung barat persemaian.
"Kurang icebox aja. Ini penting untuk menjaga kesegaran sampai persemaian Pak."
"Ya kita nanti mampir di Toko Progo. Kita harus berangkat sekarang Mas, jam 1 aku dah harus meeting," kembali lagi aku sampaikan ke Peri.
Jarum jam menunjukan pukul 08.00 dan perjalanan ke lokasi sekitar 1 jam, kalau tidak macet. Pohon Mentaok ini salah satu yang ada di Jogja selain di makam Raja di Kota Gedhe. Keberadaannya saat ini sudah sangat sulit ditemukan.
Padahal jenis ini sangat erat kaitannya dengan sejarah cikal bakal Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta di Kota Gede yang konon dulu merupakan Alas Mentaok.
Setelah membeli Icebox di Toko Progo, lalu tancap gas ke TKP. "Kamu gak kecut dari tadi gak ngrokok Per?" AC mobil aku nyalakan karena udara Jogja sangat panas. Jadi Peri gak bisa ngrokok di mobil selama perjalanan.
"Nanti aja Pak sambil ngopi, hehehehehe."
"Emang belum sarapan?"
"Kalau pagi gak selera makan Pak."
"Ya udah kita cari soto aja biar hangat dan tidak terlalu berat. Tapi ini dah lewat jam 9 je Per?"
"Manut Pak."
Setelah cari-cari warung soto gak ketemu-ketemu, atau kalau ketemu pun sering kelewatan akhirnya masuk ke jalan Imogiri Timur. Hal ini menggoyahkan pendirianku untuk mencari warung soto. "Lah kok banyak warung sate klatak nih Per."
"Ya gak papa Pak, wong ini dah hampir jam 10."
"Apa di warung Pak Pong aja?"
"Manut Pak."
"Kamu kok jawabnya selalu monat-manut."
Dan akhirnya pilihan jatuh pada Warung Sate Klatak Pak Pong. Namun berbeda dengan Warung Pak Pong yang dulu.
"Ternyata banyak juga warung Pak Pong ya Per?"
"Mungkin punyanya istri ke dua atau seterusnya Pak. Hehehehe."
"Husss....Kamu sudah ketularan Si Uwak ya?"
"Kan sohibnya Bapak. Qiqiqiqiqiqi"
Setelah makan, kami kembali balik ke arah utara. Aku harus matur dulu sama pemilik pohon Mentaok yang rumahnya persis di utara pohon tersebut. "Mbah, saya yang kemarin ke sini untuk mengambil batang Mentaok."
"Njih monggo le," kata Mbah putri yang hidupnya ditunggui oleh anak ragilnya di rumah dengan halaman cukup luas.
"Maturnuwun njih Mbah. Ini sekedar untuk beli teh dan gula batu Mbah," sambil menyalami Si Mbah yang masih terlihat raut wajahnya dulu waktu masih muda kelihatanya cantik.
"Mugi-mugi iso tukul yo Le."
"Amiin Mbak," sambil berpamitan.
Setelah mendapatkan izin dari pemilih pohon, akami mengeluarkan alat dan bahan. "Ini tidak seperti Timoho Mas. Trubusannya tidak teratur dan pendek-pendek. Jadi tidak bisa untuk perlakuan penelitian seperti Timoho kemarin."
"Mungkin perlakuan dosis pupuk aja Pak?"
"Bisa juga sih."
Materi bahan stek tidak sebanyak Timoho di kantor dari tiga pohon. Namun demikian aku bersyukur telah mendapatkan materi genetik Mentaok untuk dikoleksi dan dirawat di persemaian.
Pohon Mentaok memiliki batang yang lurus dengan banyak cabang. Kulit kayu berwarna coklat gelap dengan retakan pada bagian permukaannya. Bagian kayunya bisa digunakan sebagai alas papan, bahan konstruksi, alat musik, batang pensil, wayang maupun warangka keris. Selain itu menurut beberapa sumber berpotensi sebagai bahan baku obat HIV.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H