"Woooo....wedhus tenan ik. Dienteni malah ninggal," gerutu Rohman.
Setelah sampai ke rumah Sinta yang ternyata tidak jauh dari Mesjid Pathok Negoro, Nanok, Hendro dan Danang sudah bercengkrama dengan Suami Sinta yang berpenampilan sederhana memakai blangkon seperti Gus Miftah.
Di dalam rumah yang berbentuk Joglo dengan bahan baku kayu Nangka ini, ada beberpa alat perang pasukan Kerajaan Mataram seperti tombak dan keris yang ditaruh di salah satu sakanya. Tikar sudah dibentangkan, jajanan pasar, godokan serta teh anget sebagai hidangan obrolan pagi di rumah yang sekitarnya dinaungi pohon-pohon besar sehingga rindang dan sejuk.
Cristiana yang dulu waktu SMA bertubuh bongsor, Prihatni dan Sinta sedang asyik ngobrol ngalur-ngidul mengenang masa lalu saat di SMA. Tak lama HP Hendro berdering yang ternyata dari Mbah Slamet.
 "Halooooo...wis tekang ngendi koe Mbah?"
Kelihatanya Hendro tidak paham ketika ditanya ancer-ancer rumah Sinta, dan Ia segera menyerahkan pada Suami Sinta yang tidak jauh dari sisi nya.
 "Aku gak dong je cah," kata Hendro sambil ketawa-ketawa sendiri, seperti biasanya.
 "Koe ki ketua, uo kudu ngerti sak kabahane," ujar Rohman
"Woooo.....wedhus koe Man. Hahahaha."
Tak lama kemudian Slamet datang mengendarai motor dengan membawa beberapa bungkus tiwul yang dipesan teman-temannya.
 "Gak bareng Masrukan po Mbah?" Tanya Nanok.