Adimas makin hilang kesabaran. Ia heran. Masa ia tak bisa menemukan sepeda motornya?. Bahkan, bang Burhan penjaga parkir tak tampak pula.
Ia memang punya kebiasaan memarkir motornya di bawah pohon Trembesi terbesar dan terindang di depan jalan kampusnya.
Alasannya banyak.Â
Motornya tidak terkena panas matahari.Â
Pohon Trembesi itu adalah pohon yang ia suka. Besar dan rindang. Juga, bang Burhan sang penjaga parkiran bawah pohon sudah hapal dengannya.
"Aku parkir motorku di depan. Di bawah pohon Trembesi besar", begitu jawab Adimas tiap kali ditanya teman kuliahnya. Ini karena Adimas tak pernah memarkir motor di pelataran kampus. Sesuatu yang mungkin agak janggal.Â
Adimas malas memarkir motornya di pelataran parkir di kampus. Pasti akan jadi masalah baginya. Menemukan dan mengenali motornya di antara ratusan motor yang serupa berbaris itu tak mudah baginya. Juga, ia sering tak beruntung mendapatkan tempat parkir yang sama. Ini membuatnya harus pindah ke lokasi parkiran di seberang ruang kuliah pascasarjana.
"Sri, aku akan terlambat", Adimas mengirim pesan melalu WA ke Sri.Â
Waktu sudah dekat pukul 6.45 senja. Matahari sudah tak bersisa. Dengan lunglai akhirnya ia meninggalkan area depan kampus dan berjalan menuju warung kopi, tak jauh dari kampus, tempat ia berjanji bertemu Sri.
"Sri, jangan pergi. Aku pasti datang. Aku kehilangan motorku", Adimas mulai gelisah karena ternyata ia tak juga sampai di warung kopi yang ia tuju.
Sebetulnya bukan karena lokasi kafe yang jauh. Ia hanya hapal mural di trotoar di depan warung kopi itu. Mural di depan warung kopi itu adalah patokannya menemukan warung favorit di antara beberapa kafe yang berderet di situ.