Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Brondong Pencari Pohon Tepi Jalan

15 November 2019   16:07 Diperbarui: 17 November 2019   17:05 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Laki Laki dan Pintu Hutan (Foto : backgroundcool.com)

Setelah menggondol gelar sarjana ekonomi, Adimas meneruskan kuliah di Fakultas Pascasarjana Penciptaan dan Pengkajian Seni Urban dan Industri Budaya di suatu Institut Kesenian di Ibukota.

Adimas sangat bahagia. Bagaimana tidak? Mimpinya untuk kuliah di bidang seni budaya akhirnya ada di genggamannya.  

Sesuatu yang ayahnya tak pernah ijinkan. 

Bagi ayahnya, pendidikan harus di bidang yang dianggap 'laku' di pasar kerja. Itu artinya adalah kuliah di fakultas ekonomi atau bisnis dan manajemen.

Namun, itu masa lalu. 

Setelah ia selesaikan S1 nya, ia lebih bebas menentukan hidupnya. 

Apalagi ia mendapat sebagian saham dari perusahaan ayahnya. Juga ayahnya beri sedikit modal untuk Adimas aktif jual beli surat berharga. 

Jadi, ia bisa bermain di pasar modal sambil kuliah S2. "Mimpi jadi kenyataan",  pikir Adimas.

Waktu belajar di Institut Kesenian ia nikmati. Di semester satu ini, Adimas rajin hadir di mata kuliah Semiotik, Seni Urban dan Industri Budaya, Workshop Dasar Penulisan, dan Wawasan Seni Budaya.

Buku Carlo McCormick A History of Uncommissioned Urban Art, tulisan Carlo McCormick, juga buku Rafael Shacter tentang The World Atlas of Street Art and Graffiti jadi bacaan favoritnya. Belum lama ini, ia baca habis Graffiti Kings: New York Transit Art karya Jack Stewart.

Iapun tergila gila pada Sonja Dumpelman atas inspirasi  " Seeing Trees: A History of Street Trees in New York City and Berlin". 

Itu buku tentang sejarah kota yang menanam pohon tepian jalan di kota kota dunia seperti New York dan Berlin di abad 19. Inspirasi tentang pengaruh upaya memberi kesegaran dan jehijauan pohon yang dipengaruhi konteks sosial, budaya dan politik yang berbeda begitu menarik. 

Banyak hal yang selama ini tak terungkap tentang pohon pohon kota itu, dibuka oleh Sonja.  Itu semua menggambarkan hubungan antara manusia dan tumbuhan yang bergerak dalam lingkungan perkotaan.

Adimas menemukan dirinya sendiri di buku buku favoritnya dan di kampus barunya.

Satu hal. Lokasi kampusnya mendukung mimpi dan pemikirannya. 

Warung kopi berderet dan berada di dalam bangunan warisan tempo dulu. 

Mural di trotoar jalanan utama dan juga pepohonan Trembesi yang rindang. 

Belum lama ini kampusnya menggelar berbagai kegiatan seni. Pembacaan seni puisi, drama, dan pameran lukisan seakan jadi pemuas dahaga.

*******

Sore ini mimpinya tampak berantakan.

Adimas dibuat panik ketika jam 4.45 sore ia keluar kampus dan tak menemukan motornya. Ia sedang bersegera karena ia berjanji bertemu kekasihnya, Sri, jam 5 sore ini.

Adimas mencari cari motornya kembali. Ia tak melihat pohon Trembesi tempat ia memarkir motornya pagi tadi. 

Adimas makin hilang kesabaran. Ia heran. Masa ia tak bisa menemukan sepeda motornya?. Bahkan, bang Burhan penjaga parkir tak tampak pula.

Ia memang punya kebiasaan memarkir motornya di bawah pohon Trembesi terbesar dan terindang di depan jalan kampusnya.

Alasannya banyak. 

Motornya tidak terkena panas matahari. 

Pohon Trembesi itu adalah pohon yang ia suka. Besar dan rindang. Juga, bang Burhan sang penjaga parkiran bawah pohon sudah hapal dengannya.

"Aku parkir motorku di depan. Di bawah pohon Trembesi besar", begitu jawab Adimas tiap kali ditanya teman kuliahnya. Ini karena Adimas tak pernah memarkir motor di pelataran kampus. Sesuatu yang mungkin agak janggal. 

Adimas malas memarkir motornya di pelataran parkir di kampus. Pasti akan jadi masalah baginya. Menemukan dan mengenali motornya di antara ratusan motor yang serupa berbaris itu tak mudah baginya. Juga, ia sering tak beruntung mendapatkan tempat parkir yang sama. Ini membuatnya harus pindah ke lokasi parkiran di seberang ruang kuliah pascasarjana.

"Sri, aku akan terlambat", Adimas mengirim pesan melalu WA ke Sri. 

Waktu sudah dekat pukul 6.45 senja. Matahari sudah tak bersisa. Dengan lunglai akhirnya ia meninggalkan area depan kampus dan berjalan menuju warung kopi, tak jauh dari kampus, tempat ia berjanji bertemu Sri.

"Sri, jangan pergi. Aku pasti datang. Aku kehilangan motorku", Adimas mulai gelisah karena ternyata ia tak juga sampai di warung kopi yang ia tuju.

Sebetulnya bukan karena lokasi kafe yang jauh. Ia hanya hapal mural di trotoar di depan warung kopi itu. Mural di depan warung kopi itu adalah patokannya menemukan warung favorit di antara beberapa kafe yang berderet di situ.

Mural itu adalah hasil karya mahasiswa kampusnya yang bekerjasama dengan seniman dan warga beberapa negara yang tinggal di kotanya. 

Jam sudah menunjuk pukul 7.25 malam ketika Adimaspun akhirnya menghubungi telpon Sri. Tapi telpon Sri tidak aktif. "Sri pasti marah", pikir Adimas. 

Setengah putus asa, akhirnya Adimas menelpon Dika, sahabatnya, memberi tahu apa yang terjadi. 

" Lapor saja ke kantor polisi soal motormu. Itu kehilangan besar. Masa cuma kau cari cari", kata Dika. 

Adimas menuruti saran Dika. 

Perlu waktu lama proses pengaduannya dicatat polisi. Rupanya ada beberapa pelapor. Soal kehilangan yang sama. Kehilangan motor yang diparkir di bawah pohon Trembesi besar itu.

Jam telah menunjukkan pukul 10.00 malam ketika Adimas pulang ke rumahnya dengan menumpang taksi.

Iapun gelisah karena ia tak bisa menghubungi Sri.

Mungkin Sri marah. 

Bukan sekali dua kali Sri marah dan ngambek. Bahkan, Sri sudah memberikan ultimatum. 

Ultimatum putus pacaran. Bukan karena soal besar. Selalu soal itu itu saja. 

Soal Adimas terlambat untuk bertemu. 

Soal Adimas terlambat menjemput Sri. 

Adimas paham kemarahan Sri. Bagi Sri, waktu sangatlah berharga. 

Menanti Adimas menjemputnya atau menanti Adimas untuk bertemu adalah kesia-siaan bagi Sri.

"Kalian, orang kaya sama saja. Tidak menghargai waktu orang bekerja", hampir selalu Sri berkomentar soal keterlambatan Adimas. 

Dan, Adimas selalu merasa bersalah karena alasan keterlambatannya itu juga karena soal yang serupa. Ia hampir selalu lupa tempat di mana ia parkir motornya.

Alasan konyol, tapi nyata. 

"Dasar brondong pelupa", suatu kali Sri ngedumel. 

******

Malam itu, Adimas merasa mendapatkan kesialan bertubi. 

Motornya hilang. Janji bertemu dengan Sripun gagal. 

Pasti akan ada berita lebih buruk lagi hari ini. 

Sesungguhnya, Adimas sangat takut diputuskan oleh Sri.

Sri, yang nama lengkapnya adalah Sri Adiati adalah satu satunya perempuan yang membuatnya jatuh cinta. 

Sri adalah perempuan dewasa yang menginspirasinya. Inspirasi tentang kerja keras. Inspirasi tentang kesederhanaan. Inspirasi tentang apa itu keteguhan hati. 

Memang, Sri tak sempat lulus jadi sarjana. Namun, Sri punya wawasan luas. 

Sri membaca hampir semua buku Pram. 

Iapun pecinta novel. Bukan novel picisan, tetapi novel yang masuk 'best seller' penerbit internasional seperti Penguin Random House, Macmillan Publishers, dan Simon Schuster. 

Sri membuat Adimas merasa dalam aura dan alur kimia yang sama ketika berbicara dan ngobrol soal seni budaya. 

Memang bukan tanpa tantangan mencintai Sri. 

Tak pula mudah Adimas meyakinkan orang tuanya. 

Sekarangpun, Adimas harus diam diam dalam percintaannya.

Sementara Adimas adalah anak laki laki tertua dari keluarga pengacara yang serba berkecukupan, Sri adalah kepala keluarga perempuan yang hidupnya bergantung pada bisnis kerajinan tangan skala kecil. 

Usia merekapun berbeda jauh. Sri berusia 5 tahun lebih tua darinya. Tak heran bila Sri menyebut Adimas dengan sebutan "brondong". Adimas cuek saja. Baginya, itu adalah sebutan sayang dan manja. 

*****

Beberapa kali Adimas memeriksa HP nya dengan kecewa. Rupanya, Sri mematikan telponnya.

Sudah habis akal Adimas.  Ia 'nembak' Sri dengan puisi. Ia membuat puisi untuk menghibur Sri ketika gundah. Dan, ia sudah sering membuat puisi untuk meminta maaf. 

Kali ini, ia ragu. Apakah Sri akan  bisa melunak dengan puisi? Alasan kehilangan motor, pohon dan mural pasti tak masuk akal bagi Sri. 

Adimas putus asa. 

Adimas akhirnya tertidur. Meski tidur yang tak nyenyak. 

Adimaspun terbangun ketika dering HP nya berbunyi.

Ia berharap itu dari Sri. Namun, suara Dika yang ada di seberang sana. Bicara cepat, Andika  berkata seperti memberi perintah "Nyalakan televisi di channel berita kota. Soal motormu. Sekarang".

Ia yang belum gosok gigi dan belum ke kamar mandi itupun segera menyalakan televisi. 

Televisi menyiarkan berita tentang kemarahan warga di area dekat kampusnya. 

Warga kota kecewa. Pohon pohon rindang di sepanjang jalan kampusnya ditebangi. Mural di atas trotoar juga dibongkar. 

Rupanya pemerintah kotanya sedang membangun kembali trotoar di sepanjang jalan kampusnya. 

Pohon tua dibongkar hendak dipindahkan. Bahkan sebahian lain ditebangi. Juga trotoar lama, berikut mural favoritnya dibongkar. 

Pantas semalam ia tak bisa temukan pohon Trembesi besar tempat ia memarkir motornya. Juga, ia tak menemukan mural di atas trotoir di depan warung kopi tempat ia berjanji bertemu Sri.

Ini membuat Adimas marah dan penasaran.

Selain telah merusak pohon dan trotoar kenangannya, pemerintah kota telah membuat ia kehilangan motornya. Bukan itu saja. Pemerintah kota merusak mimpinya tentang kota yang rindang bersejarah. Dan, yang paling mengerikan, pemerintah kotapun telah menghancurkan kisah percintaannya dengan Sri.

Memang kesialan sering datangnya beruntun pada orang yang sama. 

Menemukan dan menanam pohon rindang untuk parkir motornya akan perlu waktu. Mural di atas trotoar mungkin bisa dibuat lagi nanti, meski kenangan yang tersisa jadi berbeda. Namun, menemukan perempuan yang ia cintai sekelas jatuh cintanya pada Sri adalah tak gampang dan nyaris tak mungkin terjadi dua kali. 

"Sial. Tuntas sudah", Adimas mengumpat.

Adimas terduduk di kursi kerja di ruang tamunya. Ia akhirnya kembali ke kebiasaan menulis puisi. Ini puisi pendek untuk Sri. Ia tak perduli Sri akan membacanya atau tidak. Ia kirim puisi itu via WA. 

Kali ini terkesan sungguh picisan. 

Ia tulis puisi soal kehilangan. Kehilangan motor, pohon dan mural. Juga soal hatinya yang hilang diambil pencuri secara diam diam. Ia cantumkan pula rasa di dalamnya.  Semuanya untuk Sri. 

Ia tak tahu harus bagaimana. Ia berharap Sri kembali kepadanya. 

TANDA DIAM-DIAM

Telah kuambil kaki langit
milik bumi
kuberikan rasa istimewa
agar bisa mengayuh roda waktu bersama mu

Selalu diam-diam

Mungkin orang akan katakan
"Pencuri!"
"Kau Pencuri!"

Tak apa
Toh hidup ini memang penuh kisah-kisah pencurian

Juga ketika sekelebat kau lewat di depan menara keangkuhan
seluruh diriku
tak bersisa
terbawa tarikan jagatmu

Kau pencuri
diam-diam
dan aku kehilangan
diam-diam

Kita adalah satu pencuri
diam-diam
berpesta kehilangan


*)Cerpen (mungkin picisan) yang muncul di kepala di sepanjang perjalanan kerja. Ya sudah, tak apa 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun