Sekarang, s=Saya tidak berharap banyak kepada negara. Apalagi negara yang mengaku sebagai negara demokrasi.
Lupakan DPR. Lupakan eksekutif. Lupakan Yudikatif. Masyarakat sipilpun sudah terpecah belah.Â
Dengan studi kasus seperti ini, kita cukup hidup dalam basis keluarga seperti di masa sebelum ada socrates.Â
Untuk apa kita bicara demokrasi? Demokrasi kita yang masih muda ini telah mati.Â
Kalaupun mau bangkit, bersiap siaplah untuk terus mengayun pedang melawan penyamun. Tiadanya KPK dan bobroknya lembaga parlemen, eksekutif serta yudikatif tidak usah disesali. Mungkin hidup kita malah lebih sederhana. Tidak usah menghitung  pajak dari gaji kita.Â
Kita pikirkan keluarga masing masing saja.Â
"Home schooling" untuk anak cucu. Atau kirim anak belajar ke luar negeri. Kalau tidak sekolah ya sudah kita suruh ke sawah, bila ada. Bila tak ada ya main main nonton kebakaran hutan. Siapa tahu menemukan ular bakar. Atau ya ikut pencoleng itu.Â
Kita simpan pedang untuk melawan penyamun yang masuk ke rumah kita. Tentulah kita golput saja.Â
Kita boleh akui kantor penghulu saja. Kan perlu buat menikahkan anak. Itu cukup.Â
Eh kalau nulis di Kompasisna di kolom masak memasak dan berkebun saja. Aman.Â
Yang jelas, Laporan CPI 2019 akan menarik. Akan ada studi kasus yang dimasukkan dalam 'box' sebagai contoh matinya demokrasi di negeri pencoleng dan pemerkosa. Tolong tidak usah lagi sebut Indonesia negeri ramah dan penuh orang jujur. Ga penting!