Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Studi Kasus Demokrasi yang Mati di Negeri Pencoleng dan Pemerkosa

18 September 2019   21:20 Diperbarui: 15 Januari 2020   12:24 4203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demokrasi di Negeri Maling (fot : mediaoposisi.com)

" Kegagalan sebagian besar negara untuk mengendalikan korupsi telah terbukti berkontribusi pada krisis demokrasi di seluruh dunia" (Patricia Moreira, Direktur Pelaksana TI)

Studi Kasus Demokrasi Jelang Sidang Paripurna DPRRI 2019 

Jelang Paripurna DPRRI 2019 pada bulan Oktober nanti, DPRRI dan Pemerintah 'ngebut' melakukan beberapa perubahan terkait perundangan. 

Sayangnya, apapun alasannya, perubahan perundangan yang diusulkan dan diterapkan ternyata merongrong demokrasi. 

Proses revisi undang undang no 30, 2002 tentang KPK yang hanya dilakukan selama 12 hari setelah rencana revisi ditetapkan, telah diketok palu kemarin 17 September 2019. Perubahan ini merupakan kejutan bagi hampir semua pihak. Kitapun dipertontonkan suatu teka teki, apakah Presiden terkejut dengan rencana DPRRI, karena Presiden nampak tidak konsisten dan berubah ubah dalam mengomentari rencana revisi UU KPK. Revisi ini sebetulnya hanya menambahkan isu keputusan pansel capim KPK yang memilih mereka yang di dalamnya terdapat calon yang memiliki rekam jejak tidak etis. Dan ternyata, calon itu pulalah yang dimenangkan menjadi Ketua KPK. 

Gelombang protes dan deklarasi dari berbagai pihak, baik guru besar, dosen dan civitas akademica lebih dari 30 universitas di Indonesia terjadi. 

Surat KPK yang dilayangkan kepada Presiden untuk meminta waktu bertemu dan berkonsultasi dengan Presiden tidak ditanggapi. Tanggapan berupa komentar barulah ada ketika tiga dari lima pimpinan KPK, termasuk Ketua KPK mengundurkan diri. 

Banyak pihak memberikan tanggapan dan mencoba menengahi ketegangan yang ada. Namun toh revisi UU KPK telah diketok palu, setelah melalui proses penggodokan dalam ruang hotel. 

Bisa dikatakan bahwa revisi ini tidak demokratis. Tidak melibatkan konsultasi publik. Publik kecewa dan protes terus mengalir hingga kini.  

Walaupun Presiden berjanji bahwa revisi akan memperkuat KPK, perubahan yang terjadi bahkan menggerogoti KPK. Ini makin menjadi nyata, ketika semua pihak, termasuk KPK dan masyarakat baru mengetahui pasal pasal perubahannya, setelah semua terjadi. 

Ini preseden super buruk dalam sejarah demokrasi kita. Perubahan UU KPK itu, antara lain :

  • Korupsi bukan lagi menjadi kejahatan luar biasa. Ia kembali menjadi kejahatan biasa, dengan tanpa melalui prosedur khusus, yang ada dalam pemeriksaan tersangka yang sebelumnya. Perubahan ini tidak lagi merujuk pada  UU KPK, tetapi kembali mengikuti prosedur hukum acara pidana;
  • Kewenangan Pimpinan KPK yang sebelumnya memuat sebagai penyidik dan penuntutu umum dihapus;
  • Kewenangan untuk menggeledah, menyita dan menyadap harus meminta persetujuan tertulis Dewan Pengawas;
  • Kewenangan merekrut penyidik independen dicabut;
  • Pegawai KPK tunduk pada UU ASN (tertera pada pasal 24) yang berpotensi mengganggu kemandirian pegawai KPK;
  • Dewan Pengawas KPK mengawasi dan mengevaluasi kerja staf, pejabat dan komisioner dan pimpinan KPK dan turut serta dalam persoalan keseharian pelaksaan teknis penanganan perkara (pasal 37);
  • KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan dengan batas 2 tahun (Pasal 40). Ini membatasi gerak KPK untuk mengembangkan penyelidikan. Artinya, perkara besar sulit dicakup;
  • Revisi UU KPK langsung berlaku setelah diundangkan (pasal 70 c). Saat ini KPK mrnangani kasus E-KTP yang telah memakan waktu 3 tahun. Artinya ada potensi tersangka E-KTP di SP3 kan. Juga, kasus kasus seperti BLBI akan berpotensi menguap. 

Revisi ini di'claim' telah divalidasi oleh banyak pihak, dan dengan berbagai metode, termasuk dalam bentuk studi. 

Penolakan dan protes terus terjadi. Kita tidak tahu ini akan terjadi sampai kapan. 

Jangan dikira, cobaan hanya di UU KPK.  

Revisi Undang Undang KUHP telah pula diproses. Disebutkan oleh DPRRI bahwa RKUHP akan disahkan pada 24 September. 

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) memerinci pasal-pasal yang berpotensi memperlemah demokrasi. Beberapa pasal itu, misalnya pasal 281 RKUHP tentang penghinaan terhadap pengadilan. Pasal ini dinilai berpotensi dapat memidanakan jurnalis dan media yang menulis putusan pengadilan. Abdul, wakil dari AJI menuntut agar DPR dan  pemerintah menyabut pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan. Pasal itu dengan mudah bisa dipakai untuk menjerat jurnalis dan media yang selama ini kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan. (CNN Indonesia, 16 September 2019). 

Media mudah dibungkam bila memberi kritik terkait perilaku penegak hukum yang tak patuh undang undang. Masih terdapat 9 pasal lain yang berpotensi mengganjal demokrasi pada usulan revisi ini, termasuk diantaranya kriminalisasi hak privat warga. 

Revisi UU MD3.  Usulan revisi adalah termasuk, antara lain menambah jumlah ketua DPRRI dari 5 menjadi 10. Ini artinya hanya merupakan upaya pembagian (baca rayahan) kekuasaan.

Bayangkan, kita akan punya 3 orang Setnov, 3 Orang Fadlizon dan 3 orang Fahri Hasan. Anda boleh pilih 1 lagi. Bebas. 

Saya tak hendak mendiskusikan panjang lebar tentang melemahnya pilar demokrasi yang lain, baik itu lembaga eksekutif, mapun masyarakat sipil, termasuk media di dalamnya, karena saya telah menuliskannya pada bulan September ini. 

RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Ini punya cerita lain. RUU sudah diusulkan sejak lama. Sudah bolak balik masuk Prolegnas. Sempat ditolak dan sampai MK pun ditolak. Saat ini sedang dalam posisi tinggal ketok tapi dicuekin DPRRI. Ini untuk merespon kebutuhan karena tingkat perkosaan meningkat sementara korban dan penyintas tidak terlindungi. Kalau ini didiamkan, Indonesia jadi tanah pemerkosa. Mengerikan. 

Jadi, studi kasus revisi UU KPK yang baru terjadi telah menggelar habis contoh tentang perilaku eksekutif dan legislatif yang berkonspirasi merusak demokrasi, melalui perilaku koruptif, dengan cara menghancurkan lembaga anti korupsi. Sementara, masyarakat sipil compang camping, lemah tanpa daya. Masa Indonesia akan jadi tanah subur bagi maling, garong , koruptor, pemerkosa. Apa lagi? 

Korupsi di Indonesia 

Indonesia,  untuk kesekian kalinya turut serta menjadi salah satu negara yang dinilai TI, data menunjukkan adanya penurunan posisi dalam peringkat. Peringkat Indonesia turun dari 86 ke 89, meski skornya meningkat dari 37 menjadi 38. Ini adalah perbandingan CPI tahun 2017 dan 2018. Soal turunnya peringkat dan juga soal korupsi berupa skandal jual beli jabatan diangkat berkali kali dalam debat Capres terakhir. Sayang sekali, diskusi mendalam terkait bagaimana situasi korupsi di negeri ini tidak mendapat sentuhan berarti.

Peneliti TI Indonesia menyampaikan bahwa dari CPI 2018 itu, Indonesia memiliki upaya positif antikorupsi yang telah dilakukan oleh Pemerintah, KPK, kalangan bisnis dan juga masyarakat sipil. Penelitian penelitian yang menjadi dasar penyusunan CPI 2018 mencatat bahwa peringkat Indonesia diuntungkan oleh adanya kemudahan berusaha dan perizinan yang ramah investasi. Kontribusi positif ini dilaporkan oleh Global Insight Country Risk Ratings dan Political and Economy Risk Consultancy. Sementara, maraknya praktik korupsi dalam sistem politik menggerogoti posisi Indonesia dalam CPI.

Terdapat lima dari sembilan aspek yang berkontribusi pada mandegnya indeks adalah dari laporan the World Economic Forum, Political Risk Service, Bertelsmann Foundation Transformation Index, Economist Intelligence Unit Country Ratings, World Justice Project -- Rule of Law Index. 

Sementara itu, terdapat dua aspek yang berkontribusi pada penurunan indeks, yaitu laporan IMD World Competitiveness Yearbook dan Varieties of Democracy.

Demokrasi Mati Dirongrong Korupsi, Suatu Studi Kasus. 

Kita baru saja menjadi bagian dari studi kasus terkait demokrasi yang bisa diperjual belikan. Proses demokrasi, berupa Pemilu, selain menghabiskan uang rakyat juga melibatkan transaksi yang dibiayai dari korupsi uang milik rakyat. 

Lalu, masihkah kita percaya pada DPR?. Masalahnya, korupnya DPR kita melebihi korupsi di masa presiden yang otoriter, yang memperkaya diri untuk kroni dan keluarganya.

Di dalam studi kasus negeri ini, demokrasi tumbuh menjadi cara untuk menjawab kebutuhan pemegang kuasa, yaitu DPR dan para eksekutif, serta yudikatif. Semua pelaku trias politika menggelar transaksi dan kontrak politik. 

Ini dipertontonkan dalam bentuk pemilu yang kompleks, ribut terus, dan dengan tanpa pembaruan dari sisi substansi.  

Tindak korupsi terus terjadi. Perlawanan pada upaya anti-korupsi juga terjadi, tetapi dalam enerji yang berbeda. Ini tantangan, karena enerji untuk melawan dan memberantas korupsi muncul dari warga yang tak memiliki kekuasaan. Kesempatan bicaranya juga terbatas, atau malah dibrangus.  Ya seperti kita sekarang inilah.  

Sebagai bagian dari masyarakat sipil dan juga media, kita mestinya diharapkan aktif memperjuangkan jaminan kebebasan politik (hak atas informasi publik, hak untuk berpartisipasi dan hak untuk berekspresi). Juga di dalam melakukan pengawasan terhadap proses-proses regulasi dan pembuatan kebijakan publik. Itu semestinya. Namun, untuk studi kasus ini, kita tidak dapat. 

Kita sebetulnya juga terlibat dalam konsultasi terkait pengalokasian sumber daya publik, dan juga didukung dalam mendapatkan perizinan usaha serta dalam perdagangan. Kitapun mestinya memiliki integrasi pendidikan anti korupsi dalam kehidupan bermasyarakat. Kita juga semestinya memiliki kesadaran dan paham apa itu korupsi. Kapan tindakan kita disebut korupsi. Paham bahwa menyuap polisi yang menilang adalah mendorong terjadinya korupsi. Kita juga semestinya paham proses penyidikan kasus korupsi. Itu semua adalah semestinya. 

Juga, dalam mengahdapi tantangan ke depan, kita sebagai bagian dari masyarakat madani juga memiliki etik yang kita sepakati ketika menggunakan media sosial 

Kita juga mestinya menerapkan transparansi media, termasuk media sosial bisa dijaga. Siapa yang akan menjaganya? Pemilik modal dari lembaga mediakah? Atau warga? 

Kita juga tidak takut dibayangi pengalaman Maria Reyes dari CNN Filipina diperintahkan untuk ditangkap oleh presiden Duterte karena membongkar kasus nepotisme yang telah terjadi.

The World Economic Forum terbitan 2016 menuliskan sesuatu yang menarik tentang demokrasi. Laporan ini mengibaratkan demokrasi seperti Mike Tyson. Ketika Mike Tyson hendak jadi juara, ia berlatih keras. Ini menjadikannya petinju yang tak terkalahkan. Ketika sudah menang, ia menjadi jarang latihan dan malah jadi pemabuk. Demokrasipun demikian.

Proses demokrasi membuat mabuk. Kita berapat dan berdebat, juga melakukan pemilu, bahkan pemilu serentak, dan pilkad serentak. Tetapi, kita tidak pernah mengecek, apakah kita memiliki hasil dari demokrasi yang makin baik? 

Apakah masing masing pilar demokrasi (parlemen, eksekutif, masyarakat madani) menjadi lebih baik? 

Kalau dulu kita dipimpin presiden yang otoriter, dengan demokrasi, kita dipimpin presiden yang mendapat legitimasi hasil pemilu untuk  dipimpin presiden yang boleh otoriter dan diwakili oleh parlemen yang boleh korup. Ini realita yang kita hadapi dalam studi kasus ini. 

Apakah kita hendak melanggengkan penggerogotan demokrasi dan memberikan kekuasaan pada elit tertentu dengan membiarkan korupsi hadir kembali serta melindungi diri dari 'dosa' korupsi yang saat ini ada potensi untuk dibongkar?

Perasaan saya kepada negeri ini sekarang telah berbeda dengan perasaan saya selama beberapa tahun lalu. Juga berbeda dengan perasaan saya pada beberapa hari yang lalu. 

Sekarang, s=Saya tidak berharap banyak kepada negara. Apalagi negara yang mengaku sebagai negara demokrasi.

Lupakan DPR. Lupakan eksekutif. Lupakan Yudikatif. Masyarakat sipilpun sudah terpecah belah. 

Dengan studi kasus seperti ini, kita cukup hidup dalam basis keluarga seperti di masa sebelum ada socrates. 

Untuk apa kita bicara demokrasi? Demokrasi kita yang masih muda ini telah mati. 

Kalaupun mau bangkit, bersiap siaplah untuk terus mengayun pedang melawan penyamun. Tiadanya KPK dan bobroknya lembaga parlemen, eksekutif serta yudikatif tidak usah disesali. Mungkin hidup kita malah lebih sederhana. Tidak usah menghitung  pajak dari gaji kita. 

Kita pikirkan keluarga masing masing saja. 

"Home schooling" untuk anak cucu. Atau kirim anak belajar ke luar negeri. Kalau tidak sekolah ya sudah kita suruh ke sawah, bila ada. Bila tak ada ya main main nonton kebakaran hutan. Siapa tahu menemukan ular bakar. Atau ya ikut pencoleng itu. 

Kita simpan pedang untuk melawan penyamun yang masuk ke rumah kita. Tentulah kita golput saja. 

Kita boleh akui kantor penghulu saja. Kan perlu buat menikahkan anak. Itu cukup. 

Eh kalau nulis di Kompasisna di kolom masak memasak dan berkebun saja. Aman. 

Yang jelas, Laporan CPI 2019 akan menarik. Akan ada studi kasus yang dimasukkan dalam 'box' sebagai contoh matinya demokrasi di negeri pencoleng dan pemerkosa. Tolong tidak usah lagi sebut Indonesia negeri ramah dan penuh orang jujur. Ga penting!

Semua ditulis dalam "past tense". Sudahlah, tak ada demokrasi. Kita sudah mati sejak kemarin. 

*) Untuk tidak menyinggung orang dan lembaga tertentu, saya harus abstrak. Untuk abstrak, saya harus samar dan tak jelas. Karena tidak jelas, tulisan saya menulis sesuatu yang basi, membosankan dan melelahkan. Saya memang sudah mati.  

Pustaka :  Satu, Dua, Tiga, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun