Korupsi di IndonesiaÂ
Indonesia, Â untuk kesekian kalinya turut serta menjadi salah satu negara yang dinilai TI, data menunjukkan adanya penurunan posisi dalam peringkat. Peringkat Indonesia turun dari 86 ke 89, meski skornya meningkat dari 37 menjadi 38. Ini adalah perbandingan CPI tahun 2017 dan 2018. Soal turunnya peringkat dan juga soal korupsi berupa skandal jual beli jabatan diangkat berkali kali dalam debat Capres terakhir. Sayang sekali, diskusi mendalam terkait bagaimana situasi korupsi di negeri ini tidak mendapat sentuhan berarti.
Peneliti TI Indonesia menyampaikan bahwa dari CPI 2018 itu, Indonesia memiliki upaya positif antikorupsi yang telah dilakukan oleh Pemerintah, KPK, kalangan bisnis dan juga masyarakat sipil. Penelitian penelitian yang menjadi dasar penyusunan CPI 2018 mencatat bahwa peringkat Indonesia diuntungkan oleh adanya kemudahan berusaha dan perizinan yang ramah investasi. Kontribusi positif ini dilaporkan oleh Global Insight Country Risk Ratings dan Political and Economy Risk Consultancy. Sementara, maraknya praktik korupsi dalam sistem politik menggerogoti posisi Indonesia dalam CPI.
Terdapat lima dari sembilan aspek yang berkontribusi pada mandegnya indeks adalah dari laporan the World Economic Forum, Political Risk Service, Bertelsmann Foundation Transformation Index, Economist Intelligence Unit Country Ratings, World Justice Project -- Rule of Law Index.Â
Sementara itu, terdapat dua aspek yang berkontribusi pada penurunan indeks, yaitu laporan IMD World Competitiveness Yearbook dan Varieties of Democracy.
Demokrasi Mati Dirongrong Korupsi, Suatu Studi Kasus.Â
Kita baru saja menjadi bagian dari studi kasus terkait demokrasi yang bisa diperjual belikan. Proses demokrasi, berupa Pemilu, selain menghabiskan uang rakyat juga melibatkan transaksi yang dibiayai dari korupsi uang milik rakyat.Â
Lalu, masihkah kita percaya pada DPR?. Masalahnya, korupnya DPR kita melebihi korupsi di masa presiden yang otoriter, yang memperkaya diri untuk kroni dan keluarganya.
Di dalam studi kasus negeri ini, demokrasi tumbuh menjadi cara untuk menjawab kebutuhan pemegang kuasa, yaitu DPR dan para eksekutif, serta yudikatif. Semua pelaku trias politika menggelar transaksi dan kontrak politik.Â
Ini dipertontonkan dalam bentuk pemilu yang kompleks, ribut terus, dan dengan tanpa pembaruan dari sisi substansi. Â
Tindak korupsi terus terjadi. Perlawanan pada upaya anti-korupsi juga terjadi, tetapi dalam enerji yang berbeda. Ini tantangan, karena enerji untuk melawan dan memberantas korupsi muncul dari warga yang tak memiliki kekuasaan. Kesempatan bicaranya juga terbatas, atau malah dibrangus. Â Ya seperti kita sekarang inilah. Â