Sebagai bagian dari masyarakat sipil dan juga media, kita mestinya diharapkan aktif memperjuangkan jaminan kebebasan politik (hak atas informasi publik, hak untuk berpartisipasi dan hak untuk berekspresi). Juga di dalam melakukan pengawasan terhadap proses-proses regulasi dan pembuatan kebijakan publik. Itu semestinya. Namun, untuk studi kasus ini, kita tidak dapat.Â
Kita sebetulnya juga terlibat dalam konsultasi terkait pengalokasian sumber daya publik, dan juga didukung dalam mendapatkan perizinan usaha serta dalam perdagangan. Kitapun mestinya memiliki integrasi pendidikan anti korupsi dalam kehidupan bermasyarakat. Kita juga semestinya memiliki kesadaran dan paham apa itu korupsi. Kapan tindakan kita disebut korupsi. Paham bahwa menyuap polisi yang menilang adalah mendorong terjadinya korupsi. Kita juga semestinya paham proses penyidikan kasus korupsi. Itu semua adalah semestinya.Â
Juga, dalam mengahdapi tantangan ke depan, kita sebagai bagian dari masyarakat madani juga memiliki etik yang kita sepakati ketika menggunakan media sosialÂ
Kita juga mestinya menerapkan transparansi media, termasuk media sosial bisa dijaga. Siapa yang akan menjaganya? Pemilik modal dari lembaga mediakah? Atau warga?Â
Kita juga tidak takut dibayangi pengalaman Maria Reyes dari CNN Filipina diperintahkan untuk ditangkap oleh presiden Duterte karena membongkar kasus nepotisme yang telah terjadi.
The World Economic Forum terbitan 2016 menuliskan sesuatu yang menarik tentang demokrasi. Laporan ini mengibaratkan demokrasi seperti Mike Tyson. Ketika Mike Tyson hendak jadi juara, ia berlatih keras. Ini menjadikannya petinju yang tak terkalahkan. Ketika sudah menang, ia menjadi jarang latihan dan malah jadi pemabuk. Demokrasipun demikian.
Proses demokrasi membuat mabuk. Kita berapat dan berdebat, juga melakukan pemilu, bahkan pemilu serentak, dan pilkad serentak. Tetapi, kita tidak pernah mengecek, apakah kita memiliki hasil dari demokrasi yang makin baik?Â
Apakah masing masing pilar demokrasi (parlemen, eksekutif, masyarakat madani) menjadi lebih baik?Â
Kalau dulu kita dipimpin presiden yang otoriter, dengan demokrasi, kita dipimpin presiden yang mendapat legitimasi hasil pemilu untuk  dipimpin presiden yang boleh otoriter dan diwakili oleh parlemen yang boleh korup. Ini realita yang kita hadapi dalam studi kasus ini.Â
Apakah kita hendak melanggengkan penggerogotan demokrasi dan memberikan kekuasaan pada elit tertentu dengan membiarkan korupsi hadir kembali serta melindungi diri dari 'dosa' korupsi yang saat ini ada potensi untuk dibongkar?
Perasaan saya kepada negeri ini sekarang telah berbeda dengan perasaan saya selama beberapa tahun lalu. Juga berbeda dengan perasaan saya pada beberapa hari yang lalu.Â